Oleh Anggun Mustanir
#Analisa - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana melaksanakan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar elektronik. Dalam Pasal 10 Ayat (1) dalam draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLE) disebutkan bahwa kebijakan tersebut akan dilaksanakan di beberapa ruas jalan setiap hari dimulai pukul 05.00 WIB sampai 22.00 WIB. Dishub DKI Jakarta mengusulkan besaran tarif antara Rp5.000 sampai Rp19.900 untuk sekali melintas (cnnindonesia.com, 9/1/2023).
Sedangkan menurut laman berita antaranews.com, 19/1/2023, Regulasi terkait ERP masih dibahas bersama DPRD DKI Jakarta dan ditargetkan selesai tahun ini. Pricing (ERP) akan diberlakukan secara bertahap di 25 titik di ruas jalan di Ibu Kota Jakarta sepanjang 54 kilometer. Pengecualian diberikan untuk sepeda listrik serta kendaraan dinas operasional instansi pemerintah dan TNI/Polri selain berpelat hitam. Kemudian, kendaraan korps diplomatik negara asing, ambulans, kendaraan jenazah dan kendaraan pemadam kebakaran.
Sebenarnya, penerapan jalan berbayar di Jakarta sudah sempat dibahas sejak masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Hal itu dilakukan sebagai salah satu upaya Pemprov DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan Ibu Kota. Namun, tingginya penolakan masyarakat terhadap aturan itu membuat ERP sulit diimplementasikan. Apalagi, menurut berita yang ditulis kompas.com, 19/1/2023, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Syarif Liputo mengatakan bahwa sistem ERP juga akan diberlakukan untuk sepeda motor.
Dikutip dari laman kompas.com, 18/1/2023, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno menilai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memperbaiki sistem dan pelayanan transportasi publik terlebih dahulu. Karena menurutnya, ERP adalah sistem yang dikembangkan untuk pembatasan kendaraan pribadi yang merupakan turunan dari manajemen permintaan perjalanan (transport demand management/TDM). ERP atau congestion charging adalah metode pengendalian lalu lintas yang bertujuan untuk mengurangi permintaan penggunaan jalan sampai pada suatu titik di mana permintaan penggunaan jalan tidak lagi melampaui kapasitas jalan.
Dari pendapat tersebut, idealnya pemerintah membuat solusi dengan melihat akar masalah kemacetan lebih dalam. Kemacetan hanya bisa diatasi apabila seluruh faktor penyebabnya dihilangkan. Jika melihat fakta saat ini, produksi kendaraan bermotor untuk pasar dalam negeri yang naik tiap tahunnya, hingga salah kelola tata ruang erat kaitannya dengan kemacetan Ibu kota.
Berdasarkan data badan pusat statistik (BPS) tahun 2021, jumlah kendaraan mobil penumpang yang melintas di jalan di Ibu Kota sebanyak 3.548.304, bus 36.486, dan sepeda motor 16.734.986 unit. Belum lagi kendaraan yang keluar-masuk ibu kota setiap harinya dari berbagai wilayah satelit. Tentunya, kemacetan terutama di jam kerja tidak dapat dihindari, sementara ruas jalan tidak banyak mengalami perluasan. Menurut Ketua Majelis Kode Etik IAP Bernardus Djonoputro, restrukturisasi fungsi jalan provinsi dan jalan nasional perlu diperhatikan agar pola perjalanan masyarakat lebih memilih menggunakan transportasi publik daripada personal transport.
Namun hal itu sepertinya sulit diwujudkan di sistem ekonomi pembangunan yang diadopsi saat ini yakni kapitalisme. Dalam paradigma pembangunan kapitalistik, infrastruktur berupa jalan dan sistem transportasinya dibangun sesuai dengan kepentingan bisnis. Warga dianggap sebagai konsumen, bukan masyarakat yang harus dilayani. Kenyamanan dan keamanan bukan yang utama, kalaupun diberikan ada harga yang harus dibayar oleh rakyat. Walhasil, warga kelas menengah ke bawah sulit mengakses dan level menengah ke atas lebih suka menggunakan kendaraan pribadi ketimbang angkutan umum.
Dalam hal buruknya tata ruang Jakarta, jika melihat massif-nya pembangunan ibu kota saat ini, sistem tata ruang yang karut-marut membuat Jakarta tidak pernah istirahat. Hal ini tidak lain akibat desain pembangunan ala sistem kapitalisme yang bersifat komersial. Menurut Bernardus Djonoputro, kompleksnya masalah Jakarta adalah karena persoalan penataan kota yang perlu dibenahi.
Dalam sistem kapitalisme, pemilik modal-lah yang memiliki andil dalam pembangunan, pemerintah hanya sebagai regulator. Faktanya, Ibu Kota didominasi bangunan perkantoran, pusat bisnis, pusat perbelanjaan, permukiman elit dan tempat hiburan. Gencarnya pembangunan itu menarik masyarakat dari luar Jakarta untuk mengadu nasib dan bermukim di sana. Pada akhirnya masyarakat berbondong-bondong hijrah ke Ibu Kota yang tentunya membuat Jakarta semakin sesak dan padat.
Sayangnya, bertahan hidup di Ibu Kota tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak hanya perihal cuan, godaan keimanan banyak membuat manusia terjerumus dalam kehinaan. Biaya hidup mahal hingga jalan pun berbayar.
Miris, biaya infrastruktur dibangun berasal pajak yang ditarik dari masyarakat oleh pemerintah. Namun, mengapa rakyat harus bayar lagi? Jalan merupakan fasilitas publik dan hak semua masyarakat. Mengatasi kemacetan tidak bisa diselesaikan dengan solusi parsial dan temporal. Sinergi antara pemprov dan pemerintah pusat sangat diperlukan karena mobilitas warga dari dan ke ibu kota sangat tinggi saat hari kerja maupun akhir pekan. Tapi apa mau dikata, kondisi seperti saat ini adalah konsekuensi logis mengambil kapitalisme sebagai sistem hidup.
Lantas, masihkah kita rela terus hidup diatur sistem demokrasi kapitalisme yang jelas menimbulkan kerusakan? Tidak inginkah kita kembali pada aturan Allah SWT yang membawa keberkahan dan terbukti selama 13 abad menorehkan kegemilangan? Padahal dalam buku The Miracle of Islam Science, 2nd Edition, Dr Kasem Ajram (1992) menulis pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi dan jalan yang dilakukan di zaman kekhalifahan Islam. Jalan-jalan sudah dilapisi aspal dimulai ketika Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M.
Sangat ironi memang, Indonesia yang notabene adalah negara dengan penganut muslim terbesar tidak paham bahwa Islam adalah sistem hidup. Masyarakat pada umumnya hanya meyakini Islam sebagai agama ritual semata. Padahal, Islam juga mengatur sistem pemerintahan yang di dalamnya mengatur arah pembangunan yang membawa maslahat tidak hanya untuk manusia tapi semesta.
Allah Swt. berfirman dalam Al Quran yang artinya: "Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan" (Q.S. Al-A’raf: 96).
Dalam aturan Islam, negara berperan sebagai penanggung jawab, bukan sekadar regulator atau fasilitator. Pemimpin negara dalam sistem Islam melayani rakyat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Sedangkan pada sistem kapitalisme saat ini, tumbuh subur korporasi yang melahirkan pemimpin gagap nirsolusi.
Oleh karena itu, bersegera kembali pada aturan Islam sebagai konsekuensi syahadat kita merupakan jalan terbaik untuk menyudahi problematika di Ibu Kota dan negeri tercinta. Namun, maukah kita berlari menuju keberkahan yang dijanjikan itu? Wallahu alam bishawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar