Oleh Suriani, S.Pd.I
#Analisis - UU Ciptaker kembali menjadi buah bibir khalayak setelah Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Melalui Perppu ini Presiden Jokowi menghapus aturan libur pekerja dua hari dalam seminggu.
Mengutip dari laman CNNIndonesia.com (02/01), penghapusan hak libur dua hari bagi pekerja telah diatur dalam pasal 79 ayat 2 huruf b. Dalam pasal tersebut, Presiden mengurangi hak libur atau waktu bekerja kepada pekerja atau buruh. Hal itu tertuang pada pasal 79 ayat (1) huruf a bahwa waktu istirahat wajib diberikan kepada pekerja atau buruh paling sedikit meliputi:
Pertama, istirahat antara jam kerja yang jumlahnya paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Kedua, istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu.
Selain itu, Perppu Cipta Kerja ini juga tidak membahas mengenai cuti panjang dua bulan yang diberikan untuk pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut. Meski pada pasal 79 ayat 5 tetap disebutkan adanya istirahat panjang, namun ketentuan teknisnya tidak diatur secara terperinci dan hanya berdasar pada kesepakatan dalam perjanjian kerja.
Perppu Cipta Kerja ini terang saja bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di mana pada pasal 79 disebutkan tentang pengaturan istirahat mingguan yang harus diberikan kepada pekerja selama 2 hari bagi yang bekerja 5 hari dalam seminggu dan 1 hari bagi yang bekerja 6 hari dalam seminggu (jdih.kemnaker.go.id).
Narasi berbeda disuarakan Indah Anggoro Putri selaku Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan sebagaimana dikutip pada laman Merdeka.com (02/01). Indah menegaskan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2022 tidak memuat pasal penghapusan libur 2 hari bagi para pekerja.
Menurutnya pasal 79 ayat (2) huruf b, tidak serta merta hanya dimaknai untuk yang waktu kerja 6 hari saja. Sehingga, jika perusahaan menggunakan waktu kerja 5 hari dalam seminggu otomatis ada 2 hari libur dalam seminggu.
Sementara itu, alasan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja yakni untuk memberikan kepastian hukum kepada investor baik di dalam maupun luar negeri. Pasalnya, saat ini dunia tengah dilanda ancaman ketidakpastian global. Ekonomi Indonesia tahun 2023 pun mungkin akan bergantung kepada investasi dan ekspor.
Sementara menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, penerbitan Perppu Cipta Kerja ini menjadi langkah cepat pemerintah untuk mengantisipasi kondisi global baik terkait kesiapan ekonomi Indonesia dalam menghadapi resesi global, peningkatan inflasi juga ancaman stagflasi (Liputan6.com, 02/01/2023).
Namun di sisi lain, Pakar Hukum Bivitri Susanti beranggapan bahwa ketentuan libur sebagaimana yang tercantum dalam Perppu Cipta Kerja rentan dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Sebagaimana diwartakan CNNIndonesia.com (03/01), bersandar pada prinsip ekonomi Bivitri mengatakan bahwa perusahaan akan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ia juga menyebut bahwa dalam hubungan industri dan hukum ketenagakerjaan, terdapat terdapat tiga aktor yang terkait di dalamnya yaitu pengusaha/industri, pekerja/buruh dan pemerintah/negara.
Dari sisi pemerintah/negara dengan fungsinya menjembatani antara pengusaha dan pekerja harus membuat regulasi yang adil serta tegas dalam menetapkan kebijakan. Namun kebijakan dalam pengaturan libur kerja dalam Perppu Cipta Kerja ini menguntungkan satu pihak saja yakni pihak pengusaha/industri.
Dengan kata lain, kehadiran Perppu Cipta Kerja ini memberikan keleluasaan bagi pengusaha/industri untuk menetapkan libur kerja bagi para pekerjanya dan tidak lagi mengikuti standar baku yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana tertuang dalam UU No.13 Tahun 2003.
Kebijakan pemerintahan demokrasi yang bernafaskan kapitalisme lagi-lagi menunjukkan wajah aslinya melalui kebijakan di atas. Berpihak pada pemilik modal dan elit kapital lantas abai dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Laman news.uniar.ac.id mewartakan bahwa meski waktu istirahat kerja telah ditetapkan namun seringkali tidak cukup dan tidak tersedia tempat yang layak bagi para pekerja/buruh untuk beristirahat. Termasuk tidak digunakan secara efektif waktu istirahat karena masih banyak pekerja yang bekerja di jam istirahat atau di hari libur dengan berbagai alasan.
Padahal, pemberian waktu istirahat dan libur/cuti bagi pekerja bertujuan untuk mengembalikan kesegaran dan kesehatan fisik, mental dan sosial tenaga kerja. Waktu istirahat adalah waktu untuk pemulihan setelah melakukan pekerjaan untuk waktu tertentu. Jika pekerja tidak mendapat waktu istirahat dan libur maka dampak secara langsung yang akan dirasakan oleh para pekerja adalah kelelahan. Selain akan mengganggu pekerjaan, kelelahan juga menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja.
Keberadaan negara sebagai penanggungjawab bagi rakyatnya seharusnya hadir untuk memastikan keadilan didapatkan oleh para pekerja dan tidak mendapat perlakuan zalim atas peraturan kerja yang ditetapkan oleh pihak perusahaan. Bahkan negara dalam hal ini pemerintah bahkan wajib memberikan sanksi bagi perusahaan yang gagal dalam mewujudkan keadilan bagi para pekerjanya.
Namun alih-alih melindungi, pemerintah justru menunjukkan ketidakberpihakannya pada pekerja bahkan dengan dalih perbaikan ekonomi dan kepuasan para investor. Sangat obyektif jika akhirnya disimpulkan jika pemerintah hari ini gagal dalam menjalankan fungsinya melindungi serta mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.
Buruknya peranan pemerintah di atas tidak akan dijumpai dalam sistem pemerintahan Islam. Khilafah sebagai kekuasaan politik dalam Islam menjadikan hukum-hukum Allah Yang Maha Adil sebagai satu-satunya asas dalam mengurusi rakyat. Penetapan undang-undang, keputusan serta kebijakan yang dibuat oleh Khalifah sebagai kepala negara dalam khilafah dibangun di atas prinsip dirinya sebagai khadimatul ummah (pelayan umat) yang dibebankan tugas oleh Allah SWT untuk melayani rakyatnya dengan sebaik-baiknya dan wajib berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi mereka.
Dari sisi ketenagakerjaan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Dalam Islam, meski negara tidak terlibat langsung dalam akad ijarah (sewa jasa) antara ajir (pekerja) dan musta’jir (atasan) namun khalifah harus memastikan kedua pihak menjalankan akad tersebut dengan menjadikan hukum-hukum Islam sebagao landasan. Dalam hal ini, negara tidak kut andil dalam penentuan besaran upah misalnya, termasuk penetapan waktu kerja dan jenis pekerjaan yang diakadkan. Hal itu karena Islam menyerahkan hal itu kepada kedua belah pihak yang berakad (pekerja dan atasan). Jika terjadi selisih antar keduanya terkait besaran upah/gaji misalnya, keduanya wajib menghadirkan seorang khubara’ (seseorang yang ahli dalam menakar upah/gaji).
Pun jika terjadi kezaliman di mana pekerja tidak mendapatkan haknya sebagaimana mestinya atau menerima perlakukan zalim selama bekerja maka kasus mereka akan ditangani oleh Qadhi (hakim) yang akan memutuskan perkara keduanya sesuai dengan ketetapan syariat. Di sinilah peranan penting negara untuk memastikan hukum-hukum Allah terterapkan secara menyeluruh sehingga mampu mengatasi berbagai persoalan yang di hadapi masyarakat termasuk dalam hal ketenagakerjaan. Semuanya dalam satu tujuan yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat secara keseluruhan, tanpa berpihak pada satu pihak lalu merugikan pihak lain sebagaimana yang kerap terjadi dalam pemerintahan demokrasi hari ini, wallahualam bishawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar