SANKI SERTIFIKASI HALAL : SPIRIT KEPENGURUSAN ATAU PEMALAKAN?


Oleh : Safina Zuhairoh

Keputusan Kemenag sontak membuat waspada para pelaku usaha dengan mewajibkan sertifikasi halal. Produk masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024. Setelah itu, semua produk harus sudah bersertifikasi halal. Jika tidak, kemenag akan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang menjual produknya tanpa sertifikat halal. (CNN Indonesia 3/1/2023)
Label halal jadi komoditas
Potensi pasar produk halal Indonesia tak perlu diragukan. Melihat performa pasar yang menjanjikan, pemerintah tak akan melewatkan dimana uang umat berputar. Maka wajar, sertifikasi halal kini menjadi komoditas yang juga diseriusi dan dikapitalisasi.
Melihat sikap politik pemerintah, saya yakin umat mengetahui standar ganda penguasa. Arus narasi anti islam sangat kental di era rezim ini. Stigmatisasi terhadap syariat Islam dan para pejuangnya begitu nyata. Namun, jika berhubungan dengan dana, maka lain cerita. Mereka akan serius dan membuat regulasinya.
Yang dikritisi disini adalah spirit pemerintah dalam menjalani program ini yang cenderung materialistik. Sudah menjadi maklumat umum, proses sertifikasi bukanlah hal sederhana dan butuh modal. Dengan tarif yang telah ditentukan, dorongan program sertifikasi sangat kental syarat keuntungan. Jelas bukan keuntungan bagi rakyat, namun penguasa. Meski pembiayaan katanya diturunkan atau bahkan ada masa gratis, tetapi wajibnya penggunaan logo halal akan menjadikan program sertifikasi ini menjadi bisnis tersendiri yang beromzet besar. Aliran dana sertifikasi halal pun entah kemana bermuara. Transparasi bermasalah. Intinya citra korup memang sudah melekat kuat dalam para pejabat kita, termasuk pejabat agama.
Inilah wajah asli kapitalisme. Meski negeri ini mengaku berprinsip ekonomi pancasila, namun pada prakteknya sangat kental dengan prinsip kapitalisme. Liberalisasi aset rakyat, swastanisasi sumber hajat publik dan juga perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa yang begitu vulgar menjadi cukup bukti bahwa negeri ini masih malu-malu kucing mendeklarasikan sebagai negara kapitalis liberal.
Berbagai pemungutan harus ditanggung rakyat. Relasi antara penguasa dan rakyat pun terasa gersang. Tingkat trust masyarakat jatuh jomplang. Saya memahami mengeluhnya masyarakat dalam program sertifikasi ini. Logikanya mereka seharusnya antusias, karena produk halal adalah kebutuhan mereka. Namun, karena riwayat pengelolaan penguasa kini penuh syarat keuntungan dan materialistik, ditambah kinerja yang kurang profesional dan proses yang lemot, rakyat pun cenderung ogah-ogahan. Seharusnya spirit program ini dibangun atas dasar iman, tetapi kini jadi lahan mendulang cuan. Ini yang sangat disayangkan.
Jaminan halal adalah hak rakyat
Jaminan produk halal sejatinya adalah hak rakyat yang wajib diakomodir oleh negara. Maka negara harus memastikan kehalalan barang yang dikonsumsi rakyat, termasuk melalui regulasi sertifikasi. Alih-alih membebani dan menjadikannya lahan bisnis, negara harus memberi kemudahan termasuk dalam hal regulasi dan pendanaan. Karena pengawasan produk halal sejatinya harus dijiwai mandat mengurusi dan menjaga rakyat.
Maka solusinya adalah kembali kepada prinsip sistem Islam yang hanya bisa direalisasi dengan al-Khilafah ar-Rasyidah. Konsekuensi absennya kepemimpinan Islam adalah adanya disfungsi peran negara pada persoalan sentral umat. Meski program sertifikasi terkesan islami, namun dorongannya tidak berdasarkan prinsip Islam. Seharusnya penyelenggara negeri ini kembali kepada aturan islam secara menyeluruh, bukan parsial. Berusaha mengakomodasi produk halal untuk rakyat, namun menjadikannya lahan mendulang cuan? Jelas ini menyalahi prinsip Islam. Bagaimana keberkahan dan rahmat bisa turun jika kita masih prasmanan terhadap aturan Allah? Bukankah itu zalim?
_____
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di

Posting Komentar

0 Komentar