#EDITORIAL — “Kami tidak ingin demokrasi mundur!” Demikian kata Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Minggu (08-01-2023). Penegasan ini ia sampaikan pada acara Pernyataan Sikap 8 Parpol menolak pemilihan umum (pemilu) dengan menggunakan sistem proporsional tertutup. Kedelapan parpol tersebut adalah Partai Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP.
Wacana soal sistem pemilu ini memang kian santer beberapa hari terakhir ini. Hal ini terkait munculnya gugatan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyoal penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka atau berdasar suara terbanyak yang disampaikan sejumlah warga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Konon penggugat terdiri dari dua kader partai politik dari PDI-P dan Nasdem, serta empat perseorangan warga negara. Namun, belakangan Nasdem membantah bahwa kadernya ikut terlibat. Bahkan, partai besutan Surya Paloh ini termasuk dalam barisan para penolak uji materiil UU Pemilu ke MK dan turut menyampaikan Pernyataan Sikap.
Dasar Kontroversi
Argumentasi para pemohon uji materiil UU Pemilu ini dapat dilihat dalam salah satu artikel yang dirilis situs resmi Mahkamah Konstitusi. Mereka menyebut, sistem pemilu proporsional terbuka atau berdasar suara terbanyak yang diatur dalam UU Pemilu, selain berbiaya sangat mahal, juga sangat rentan dibajak oleh para caleg pragmatis, yakni caleg yang hanya bermodal popularitas, tanpa ada ikatan ideologis dengan struktur partai politik. Juga tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Selain itu, mereka beralasan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka telah menimbulkan individualisme para politisi, sekaligus melahirkan liberalisme politik dengan menempatkan kemenangan individual total dalam kontestasi. Dengan demikian, seseorang yang terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seakan-akan bukan mewakili organisasi partai politik, melainkan mewakili diri sendiri. Akibatnya, muncul berbagai konflik internal, bahkan praktik kanibalisme di tubuh partai politik itu sendiri.
Adapun pihak yang menolak gugatan, justru melihat bahwa sistem proporsional terbuka yang sudah digunakan sejak era reformasi ini merupakan hasil kemajuan demokrasi. Dengan sistem ini, rakyat bisa memilih langsung calon anggota legislatif (caleg) sesuai yang mereka kehendaki. Sementara itu, dalam sistem pemilu proporsional tertutup, rakyat hanya dapat memilih parpol dengan mencoblos gambar parpol. Calegnya sendiri ditunjuk oleh partai sehingga mereka yang terpilih nanti bertindak sebagai petugas partai, bukan wakil rakyat sebagaimana diinginkan demokrasi.
Sistem tertutup ini sendiri pernah berlaku pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Saat itu, jumlah lembaga peserta pemilu hanya ada dua parpol (PDI dan PPP), ditambah dengan Golongan Karya. Jadi saat pemilu, rakyat hanya mencoblos lambang lembaga. Setelah itu, lembagalah yang akan menentukan para anggota MPR/DPR.
Tidak Ada Beda
Polemik tentang plus minus kedua sistem ini memang cukup tajam. Namun, bagi parpol, tampak bahwa pro kontra tentang ini hanya dilandasi kepentingan pragmatis kaum elitis semata. Lihat saja, mereka yang pro maupun kontra, sejatinya sedang kompak memperjuangkan kepentingan bagi partainya. Sedangkan terhadap UU yang merugikan rakyat, suara mereka kerap berbeda-beda.
Oleh karenanya, bagi rakyat jelata, sistem apa pun yang diterapkan, hasilnya akan sama saja. Terbukti, saat Indonesia menerapkan sistem proporsional tertutup pun, peran DPR dan MPR nyatanya tidak merepresentasikan kehendak rakyat. Fungsi parpol lemah karena hanya jadi batu loncatan para pencari kursi kekuasaan dan para kapitalis yang berburu jatah proyek serta sumber-sumber perekonomian. Bahkan, keberadaan parpol hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Jadi, perhelatan pemilu lima tahunan hanya menjadi cap stempel bagi demokrasi yang dicanangkan. Siapa yang akan menang, sudah bisa dipastikan. Bahkan, anggota parlemen dan parpolnya tampil sebagai entitas elite baru yang posisinya sulit dijamah kalangan rakyat jelata.
Budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) begitu kental dalam kancah perpolitikan. Tiga lembaga kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif), malah menjadi tri tunggal dalam melanggengkan kezaliman.
Sepanjang Orde Baru, pemerintahan di semua level kerap membuat aturan dan kebijakan yang menguntungkan penguasa dan kroninya. Yayasan bisa berdiri atas Keputusan Presiden, padahal yang dikelola adalah anggaran dari APBN atau BUMN.
Pemberian konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar pun lazim dilakukan. Kompensasinya, saham gratis atau jabatan komisaris diberikan pada para penguasa dan kroninya. Di luar itu, hak monopoli anggaran dalam proyek-proyek pengadaan barang pun kerap jadi bancakan para pemilik cuan.
Namun, setali tiga uang, saat reformasi dicanangkan dan sistem pemilu proporsional terbuka diterapkan, bukan berarti keburukan terentaskan. Cengkeraman rezim Orba yang berlangsung sedemikian lama, nyatanya telah berhasil mendistribusikan kekuasaan di berbagai lini dan tempat. Meski sistem berbeda, aktivis parpol, para penguasa, dan anggota parlemen, orangnya nyaris itu-itu juga. Mental dan paradigma berpikir mereka tidak bisa berubah begitu saja.
Tidak heran jika praktik KKN tetap mewarnai jalannya kekuasaan. Undang-undang pro pengusaha dan asing bahkan kian deras diproduksi para wakil rakyat pada era pembaharuan. Kebijakan-kebijakan antirakyat pun, seperti kapitalisasi kesehatan, pendidikan, kebijakan pajak dan energi, dan sebagainya terus dikeluarkan hingga kehidupan rakyat terasa makin sempit dan tertekan.
Belum lagi kerusakan di bidang sosial, budaya, serta hukum, semuanya dibiarkan atas nama jaminan hak asasi dan kebebasan. Dengan demikian, mimpi hidup sejahtera, aman, dan damai pun kian jauh dari kenyataan.
Demokrasi, Langgengkan Kerusakan
Mirisnya, banyak kalangan yang berpikir, kondisi zaman sekarang jauh lebih parah dari saat Soeharto duduk di kursi kekuasaan. Padahal, sejatinya semua orde punya saham besar bagi hancurnya pilar-pilar kehidupan. Termasuk orde lama yang dengan sadar mengadopsi asas sekularisme saat “kemerdekaan” dicanangkan.
Lebih dari itu, liberalisasi yang kini makin parah pun tidak mungkin bisa tegak jika tidak dimulai pada era awal tujuh puluhan. Saat itu, pemerintahan Soeharto yang menganut sistem pemilu proporsional tertutup, justru membuka celah lebar bagi kapitalis asing menguasai aset strategis perekonomian. Lalu atas nama menggenjot pembangunan, keuangan negara pun mulai bergantung pada utang.
Wajar jika negeri Indonesia yang kaya raya, harus kehilangan harta benda. Bahkan negara, kian tergadai akibat jeratan utang luar negeri yang berbasis riba. Namun, alih-alih berjuang melepaskan diri dari cengkeraman wajah baru penjajahan, tegaknya rezim pada era reformasi yang menganut sistem pemilu terbuka justru kian menyempurnakan proses sekularisasi dan liberalisasi di semua bidang.
Semua proses ini terjadi di bawah payung sistem politik demokrasi, sebuah sistem yang dianggap sebagai sistem politik terbaik karena disebut-sebut mengakomodasi hak politik rakyat banyak. Padahal, melalui demokrasilah asas sekularisme liberalisme beserta aturan hidup rusak yang dilahirkannya terus dipertahankan. Jargon “suara rakyat suara tuhan” sejatinya menyingkirkan peran Tuhan atau agama dalam mengatur kehidupan. Sementara itu, manusia bebas melakukan apa yang diinginkan.
Adapun pesta demokrasi yang lima tahunan dilaksanakan, nyatanya hanya menjadi alat melanggengkan kekuasaan para pemilik cuan. Maklum politik demokrasi diakui berbiaya sangat mahal. Untuk maju ke kursi kekuasaan, para kandidat atau kontestan harus menyediakan dana kampanye dan pencitraan yang super besar. Kalau bukan dari pribadi, tentu harus disponsori oleh para pemilik modal.
Wajar jika setengah periode kekuasaan nyaris habis digunakan untuk membayar utang jasa dukungan. Sedangkan setengah periode berikutnya digunakan habis-habisan untuk berjuang agar kembali menang.
Praktik korupsi pun mewarnai karir para pemangku kekuasaan. Aktornya meluas, kasusnya pun kian beragam. Tidak kurang-kurang, mantan menteri, gubernur, walikota/bupati, pejabat eselon I/II/III, kepala lembaga, anggota parlemen, komisioner, pengacara, penegak hukum hingga pihak swasta banyak yang terlibat tindak korupsi.
Pada 2022 yang lalu, KPK berhasil mencokok tidak kurang dari 1.400 orang. Mereka adalah para pejabat pemerintah, baik dari lembaga eksekutif, legislatif, maupun oknum lainnya. Tercatat pula di antaranya, 23 gubernur, 44 bupati dan walikota, serta sejumlah anggota dewan yang terjerat kasus korupsi.
Hanya Islam
Sayangnya masyarakat masih saja berharap demokrasi bisa menjadi jalan perubahan, sedangkan kerusakannya tidak bisa diabaikan. Berulang kali mereka terjebak dalam konflik berkepanjangan. Terbelah dalam pandangan politik yang penuh kesia-siaan. Sementara itu, di level elite, kekuasaan politik menjadi ajang bancakan. Mereka yang bermusuhan, ujung-ujungnya bagi-bagi kue kekuasaan.
Dalam Islam, politik tidak dimaknai sempit sebatas cara berebut kekuasaan. Politik dalam pandangan Islam memiliki kedudukan yang sangat mulia. Ini karena makna politik adalah pengurusan urusan umat dengan aturan-aturan Islam saja.
Politik Islam tegak di atas asas keimanan dan ketundukan. Standar aktivitasnya tidak lain adalah halal/haram atau syariat Islam. Adapun pelakunya adalah seluruh entitas umat, mulai dari rakyat, wakil rakyat (disebut Majelis Umat) hingga negara atau penguasa mulai level bawah hingga khalifah.
Dalam Islam, pemilihan khalifah bukan semata untuk memilih orang, tetapi bertujuan agar kepemimpinan berdasar syariat Islam tegak dengan sempurna. Adapun teknisnya, bisa dengan cara apa pun yang mubah. Yang terpenting syarat calon pemimpin terpenuhi seluruhnya, lalu kekuasaan rakyat terepresentasi saat proses pemilihan, dan setelahnya, baiat syar’i benar-benar terlaksana.
Islam tidak alergi dengan parpol. Bahkan, ada atau tidak ada negara yang menegakkan syariat Islam, keberadaan parpol Islam wajib adanya. Hanya saja fungsinya berbeda jauh dengan parpol seperti dalam sistem sekarang. Parpol Islam bukan alat memenangkan kursi kekuasaan, tetapi berfungsi sebagai wadah dakwah amar makruf nahi mungkar.
Fungsi politik Majelis Umat (MU) juga berbeda dengan anggota parlemen dalam sistem sekarang. Dalam Islam, MU tidak memiliki fungsi legislasi, tetapi hanya alat kontrol sekaligus penyambung lidah rakyat ke hadapan penguasa. Merekalah yang memastikan agar negara berjalan on the track, sedangkan rakyat dalam posisi siap taat dan turut bertanggung jawab dalam menjaga kekondusifan penegakan syariat Islam.
Oleh karenanya, dalam Islam posisi penguasa atau rakyat bukan posisi istimewa. Keduanya dipandang sama-sama mulia. Yang membedakan adalah seberapa besar tanggung jawab dalam pelaksanaan fungsi dan peran masing-masing yang semuanya akan ditanya saat hari penghisaban.
Dalam kehidupan Islam, tidak pernah ditemukan suasana persaingan berebut kekuasaan, kecuali pada sedikit masa saat kemunduran Khilafah Islam. Seluruh komponen umat bersatu padu mewujudkan ketaatan hingga masyarakat Islam pun mampu tampil sebagai umat unggulan, pioner peradaban.
Khatimah
Sudah terlalu lama umat hidup dalam suasana yang jauh dari tenteram, di tengah polah para elit politik dalam sistem demokrasi yang hanya sibuk dengan ikhtiar melanggengkan kursi kekuasaan. Sudah saatnya umat bangun dan menularkan kesadaran bahwa sistem yang layak mereka perjuangkan hanyalah sistem yang berasal dari Allah Swt., yakni sistem Islam. [MNews/SNA]
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar