“Kalau mau awet muda, jangan punya anak”. Kurang lebih intinya begitu, kata seorang influencer Gita Savitri, yang kemudian trending di media sosial Twitter. Karena katanya, dengan memilih untuk tidak punya anak, atau istilah kekiniannya ‘childfree’, perempuan akan terbebas dari segala kerepotan mengurus anak. Kemudian ketika tua, uang yang ada bisa untuk perawatan wajah, agar awet mudanya tadi tetap terjaga. Mengapa pemikiran seperti ini bisa muncul?
Rasa ingin memiliki anak adalah bagian fitrah manusia, yang lahir dari naluri mempertahankan jenis atau ghariza nau’. Ghariza nau’ ini tidak bisa dihilangkan sampai kapanpun. Bahkan akan terus menuntut untuk di penuhi. Ketika tidak dipenuhi, memang tidak sampai menimbulkan kematian, namun akan membuat manusia menjadi gelisah atau tidak tenang.
Manifestasi dari ghariza nau’ sebenarnya umum, yaitu berupa rasa kasih sayang pada sesuatu atau seseorang. Maka kemudian muncul dalam diri manusia rasa sayang kepada orangtua, anak, benda-benda tertentu, termasuk kepada lawan jenis, bahkan sesama jenis. Yang kemudian menentukan pemenuhan rasa sayang ini benar atau salah tidak lain adalah syariat Allah.
Ketika rasa sayang dibiarkan liar, tak ditundukkan pada syariat, muncullah penyimpangan-penyimpangan. Seperti memenuhi hasrat seksual dengan berzina, bahkan dengan sesama jenis. Padahal Allah telah memberikan rambu-rambu untuk memenuhi hasrat ini dengan menikah.
Sementara itu, konsep childfree sendiri sebenarnya muncul dari kalangan feminis yang pemikirannya telah teracuni pemikiran Barat yang liberal. Di mana perempuan merasa memiliki otoritas atas diri dan tubuhnya, hingga menyimpulkan bahwa perempuan bebas memilih untuk punya anak atau tidak. Padahal secara kodrat, perempuan Allah tetapkan memiliki rahim yang menjadi perantara dalam menjaga kelangsungan generasi.
Dampaknya, kehidupan manusia menjadi rusak dan kacau. Diantaranya rusaknya nasab atau garis keturunan akibat zina, hingga ancaman punahnya generasi, konsekuensi dari maraknya pernikahan sesama jenis dan childfree. Dan ini sudah di alami negara-negara Barat yang terancam kekurangan generasi penerus.
Pemenuhan naluri rasa sayang secara liar ini terjadi akibat pemikirannya telah teracuni virus sekularisme. Konsep yang ngotot memisahkan aturan agama dari kehidupan. Agama dan kehidupan dianggap dua hal yang berbeda. Agama adalah urusan akhirat, yang dapat diraih dengan ibadah ritual. Sementara kehidupan adalah urusan dunia dan tak ada sangkut pautnya dengan agama, apalagi akhirat.
Oleh karena itu, kaum sekuler dengan bangga membuat aturan hidup mereka sendiri, termasuk dalam memenuhi ghariza nau’ tadi. Padahal nalurinya dari Allah, tapi memenuhinya tidak menggunakan cara Allah. Ini bukti mereka sudah salah dari awal. Ada kekeliruan yang sangat fundamental. Bukti bahwa manusia sekuler tidak memahami siapa jatidirinya. Bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan Allah, dan sebagai Pencipta, sudah selayaknya Allah memiliki ororitas penuh atas apapun yang diciptakan-Nya.
Ketika ada yang mengklaim dirinya lebih tenang, bahagia bahkan menjadi awet muda dengan tidak memiliki anak, perlu dipertanyakan lagi, benarkah itu kebahagiaan yang hakiki? Atau hanya luapan emosi sesaat yang sangat mungkin berubah, ketika suasana hati atau kondisi kehidupannya berubah.
Karena di sisi lain, ada juga yang standar kebahagiannya bukan tidak memiliki anak, melainkan materi, jabatan atau popularirtas. Maka hidupnya dihabiskan untuk menumpuk harta, mengejar jabatan dan melakukan apapun demi namanya terkenal. Sungguh standar yang sempit, karena semuanya bersifat duniawi, yang fana, tidak abadi, akan hilang, habis, rusak dan ditinggalkan. Ini diperkuat fakta, tidak sedikit orang yang memiliki segalanya, tapi merasa tidak tenang, tidak bahagia, hampa dan kemudian justru mengakhiri hidupnya, meninggalkan semua yang dia kerja mati-matian sebelumya.
Inilah bukti, ketika aturan kehidupan diserahkan kepada manusia, yang terjadi adalah kekacauan. Muncul banyak perbedaan, pertentangan dan perselisihan yang tak berujung karena berasal dari isi kepala yang berbeda-beda. Yang kesemuanya lahir dari konsep dasar yang salah tadi. Bahwa agama dan kehidupan harus di pisahkan. Padahal Agama dan kehidupan adalah satu. Tidak bisa dipisahkan, selamanya. Agama datangnya dari Allah, pun kehidupan ini mutlak ada di bawah kendali Allah.
Agama, dalam hal ini Islam sebagai penyempurna semua agama, Allah turunkan untuk mengatur kehidupan manusia. Karena Allah sebagai yang menciptakan manusia, jelas yang Maha Tahu bagaimana mengatur makhluk ciptaannya. Manusia tak berhak, bahkan selamanya takkan mampu mengatur dirinya sendiri.
Ketika seorang muslim menikah, dengan niat beribadah ikhlas karena Allah, dengan cara yang dibenarkan syariat, maka pahala lah balasannya. Namun ketika menikah bukan karena Allah, atau ditempuh dengan cara pacaran, jelas menjadi dosa. Sementara itu, kebahagiaan hakiki bagi seorang muslim adalah mendapat rida Allah. Ketika ada upaya meraih dunia, baik itu harta, jabatan atau popularitas, jalan yang ditempuh tidak keluar dari koridor syariat atau standar halal-haram. Inilah kebahagiaan yang akan membawa ketenangan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Sungguh daya rusak dari sistem sekularisme begitu dahsyat. Pandangan hidupnya mampu menggiring manusia berani menyelisihi bahkan meninggalkan syariat Allah. Ini menjadi tugas bersama untuk mengembalikan pemahaman umat tentang Islam yang benar, Islam yang kafah, yang tidak berkompromi dengan sistem dari luar Islam semisal sekularisme, yang jelas sumbernya dari kafir Barat, yang nyata rusaknya dan nyata pula dampak kerusakannya. Wallahu’alam bishawab.
0 Komentar