Pembatasan LPG Rumit, Rakyat makin Dipersulit




Meski masih sebatas wacana, rencana pemerintah untuk mengaturan distribusi gas elpiji sudah berhasil menciptakan gonjang ganjing di tengah masyarakat. Terang saja hal itu terjadi, sebab gas elpiji menjadi salah satu komodi pelengkap kebutuhan masyarakat sehari-hari. 



Melansir dari Kompas.com, 16/01/2023, pengaturan distribusi tersebut terkait dengan pembatasan penyaluran gas elpiji 3 kilogram hanya melalui penyalur-penyalur resmi saja. Jika kebijakan ini terlaksana, maka warung-warung kecil tidak lagi mendapat izin untuk menjual gas elpiji bersubsidi tersebut. 



Selain ribet, kebijakan itu juga dinilai oleh masyarakat sangat menyulitkan. Termasuk rencana akan dibuatnya kebijakan membeli gas LPG wajib menunjukkan KTP akan memicu penolakan keras dari masyarakat. Pembatasan tersebut tentu akan mempersulit warga untuk mendapatkan gas elpiji yang menjadi salah satu komidi yang sangat mereka butuhkan.



Penyaluran gas LPG yang tepat sasaran menjadi dalih lahirnya rencana kebijakan di atas. hal itu dinyatakan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji sebagaimana diwartakan Merdeka.com, 13/01/2023 di lamannya. 



Tidak hanya itu, Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Iro Ginting turut menjelaskan bahwa arah dari kebijakan pembatasan penyaluran ini demi memastikan agar subsidi gas LPG ini diterima oleh warga yang memang layak. 



Penjualan gas LPG 3 kg hanya di agen resmi Pertamina menjadi tahap awal. Setiap pembelian gas 3 kg akan dilakukan verifikasi data terlebih dahulu. Jadi, setiap warga yang hendak memberi gas 3 kg harus menunjukkan KTP yang nantinya akan dicocokkan dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Dana ini nantinya akan dimasukkan ke sistem milik Pertamina yang ada di setiap agen resmi.



Jika kebijakan ini diberlakukan, maka yang bisa membeli gas LPG tabung 3 kg hanya yang memiliki NIK yang terdata dalam P3KE. Pemerintah sendiri melalui Menteri ESDM, Arifin Tasrif meminta agar Pertamina untuk meningkatkan pengawasan di lapangan dari tingkat agen hingga pangkalan. 



Sebagai tindak lanjutnya, Pertamina harus menambah sub penyalur sehingga tidak ada lagi pengecer, sebab warga langsung membeli gas 3 kg ke sub penyalur resmi milik Pertamina. Sementara itu, untuk menjaga akurasi data konsumen, Pertamina akan menggunakan sistem informasi tidak lagi menggunakan pencatatan data secara manual. 



Dikutip dari Pertamina, untuk bisa menjadi agen LPG 3 kg resmi Pertamina tahap pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pendaftaran agen LPG. Syarat utama mitra adalah harus berbentuk Badan Usaha (Perseroan Terbatas/Koperasi). Selain itu, pendaftar juga harus menyiapkan sejumlah dokumen untuk melakukan pendaftaran ke Pertamina, seperti: (1) hasil scan KTP, (2) NPWP perusahaan, (3) bukti penguasaan lahan, (4) bukti saldo rekening yang akan diperlukan untuk melengkapi isian data pada aplikasi online, (5) Akta pendirian Perusahaan (PT/Koperasi), SIUP dan TDP, (6) bukti saldo rekening atas nama pemilik/badan usaha, (7) fotocopy bukti kepemilikan usaha sejenis (jika ada), contoh Agen LPG NPSO, Pangkalan LPG, dan sebagainya, (8) fotocopy bukti kerja sama dengan Pertamina (jika ada).



Selain itu, ditetapkan juga syarat perizinan agen LPG 3 kg juga syarat sarana dan fasilitas agen LPG 3 kg berdasarkan standarisasi yang ditetapkan oleh Pertamina. 



terkait hal di atas, menurut pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, larangan penjualan gas LPG 3 kg di watung kecil hingga kewajiban menggunakan KTP bagi pembeli tak akan efektif membenahi penyaluran subsidi LPG agar tepat sasaran. 



Kepada Republika.id, 16/01/2023, Fahmy mengatakan bahwa penjualan eceran di warung-warung kecil selama ini berjalan semestinya tetap diperbolehkan. Sebab keberadaan warung kecil juga membantu Pertamina untuk menyalurkan gas LPG kepada masyarakat. 



Selain itu, kebijakan tersebut juga akan mengganggu mata pencaharian warga. Tanpa perlu melakukan pelarangan, penjualan gas tetap bisa dilakukan di warung kecil dengan mekanisme penetapan dua harga, yaitu harga subsidi dan harga non subsidi.



Pihak Pertamina dan pemerintah bisa menerapkan sistem pemberian barcode khusus yang dapat dipindai bagi warga yang kurang mampu untuk bisa mendapatkan gas LPG bersubsidi. Terlebih keberadaan data dari Kementerian Sosial (Kemensos) yang selama ini digunakan oleh pemerintah untuk menyalurkan bantuan sosial (bansos) bisa digunakan oleh Pertamina mendata warga kurang mampu sebagai penerima subsidi gas LPG. 



Sementara penggunaan data KTP tidak bisa untuk menunjukkan apakah warga tersebut terkategori rakyat kurang mampu yang boleh membeli gas LPG bersubsidi atau bukan. Dengan kata lain, meski kebijakan ini masih dalam tahap uji coba namun respon penolakan keras yang datang dari sebagian besar rakyat kecil dan para pedagang mikro sudah menyeruak di berbagai daerah.



Kontra atas rencana kebijakan pemerintah ini telah terjadi sejak awal kemunculannya. Berdasarkan Undang-undang (UU) No 30 Tahun 2007 tentang Energi, subsidi energi hanya diberikan kepada golongan masyarakat miskin. Sedangkan mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) 104/2007, subsidi LPG tabung 3 kg diberikan kepada rumah tangga dan usaha mikro. 



Namun beleid yang mengatur penyalurannya sangar membutuhkan penyempurnaan agar tepat sasaran. Seperti pada Perpres 104/2007 di atas, regulasi ini belum mengatur perihal permbatasan golongan rumah tangga yang miskin dan rentan hingga layak mengkonsumsi gas bersubsidi.



Kebijakan pembatasan ini juga membuat pengecer gas LPG tabung 3 kg semakin terbatas sehingga akses warga untuk mendapatkannya pun terbatas. Akan ada kemungkinan letak lokasi penyuplai resmi jauh dari rumah warga sehingga warga harus mengeluarkan biaya transportasi lebih untuk membeli gas. 



Perlu juga adanya upaya antisipasi terhadap barang-barang subsidi sebab peluang diselewengkan lebih muda sehingga keinginan agar tepat sasaran akan jauh dari realita. Terlebih sejak awal pindah dari minyak tanah ke gas, LPJ 3 kg disubsidi sehingga mendistorsi harga. Di masa kelangkaan gas dan harga yang fluktuatif terjadi gap harga antara gas subsidi dan non subsidi terlampau jauh.



Dari sini tampak jelas realisasi atas kebijakan ini alih-alih tepat sasaran, yang terjadi justru akan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan gas LPG yang memang menjadi kebutuhan mereka sehari-hari. Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tak bisa lepas dari kerumitan, kesimpangsiuran, ketidakjelasan serta tidak mempertimbangkan kemaslahatan bagi masyarakat.



Bukan sistem demokrasi namanya jika tidak melahirkan kebijakan amburadul dan realita itu tidak bisa dielakkan. Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam, dalam memandang rakyat dengan pandangan menyeluruh. Islam tak memberikan pemisahan antara masyarakat kaya dan miskin dalam hak mereka mendapatkan layanan dari negara. Termasuk dalam hak memperoleh gas misalnya, negara khilafah tidak menerapkan harga subsidi dan non subsidi, namun akan menyalurkan gas secara luas, merata dan dengan harga murah bahkan gratis. 



Hal itu karena gas merupakan hasil kekayaan alam yang dalam Islam adalah harga kepemilikan umum (rakyat) sehingga semua rakyat berhak untuk mendapatkannya. Negara berkewajiban untuk mengolah gas dengan regulasi distribusi yang sangat mudah sehingga tidak menyulitkan rakyat untuk mendapatkannya. 



Sehingga untuk mewujudkan harapan seluruh rakyat untuk hidup sejahtera dan nyaman hanya bisa diwujudkan oleh sistem Islam dengan tegaknya khilafah sebagai penjamin dan pemelihara urusan umat. Dan kebutuhan ini sudah sangat mendesak tak bisa ditunda lagi, wallahu'alam bishawab.


Oleh Suriani, S.Pd.I

Posting Komentar

0 Komentar