Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#SirahNabi- Di 3 (tiga) tahun pertama masa kenabian, Rasul saw melakukan pembinaan secara intensif terhadap siapa saja yang telah memeluk Islam dengan membentuk akliah (cara berpikir) dan nafsiah mereka hingga terbentuklah pribadi-pribadi Islam yang tangguh. Para Sahabat yang dibina kemudian memiliki kepribadian Islam yang sempurna yang mumpuni menjadi agen dakwah Islam di Mekah. Mereka juga bergerak bersama dalam kutlah (organisasi) dakwah Nabi dengan adanya ikatan mabda (ideologi) di tengah-tengah mereka. Dengan demikian, gerak dakwah yang dilakukan para Sahabat dengan Rasul saw sebagai pemimpin mereka senantiasa bergerak dengan panas mabda di dalam jiwa-jiwa setiap pengemban dakwah.
Namun sekalipun sudah ada bibit-bibit dakwah tangguh di Mekah, gerak dakwah masih dilakukan dengan kehati-hatian. Nabi saw merekrut orang-orang yang sudah terpercaya di sekitar beliau dan melindungi keberadaan para pengemban dakwah. Hal ini dilakukan tatkala kutlah dakwah masih lemah dan para anggotanya masih membutuhkan perlindungan dari pukulan telak yang mematikan terhadap dakwah.
Hal ini tampak dari salah satu riwayat ketika Ali bin Abi Thalib datang ke kediaman Rasul saw dan melihat beliau beserta istrinya, Khadijah ra, tengah melaksanakan shalat. Ali ra berkata, “Wahai Muhammad, apa ini?” Baginda saw. menjawab, “Ini adalah agama Allah, yang Dia angkat untuk diriNya, dan dengannya Dia utus RasulNya, maka aku mengajakmu untuk menyembah Allah saja, yang tiada sekutu bagiNya. Mengajak untuk beribadah kepadaNya, serta mengingkari Latta dan Uzza.” Ali lalu berkata, “Ini adalah perkara yang belum pernah aku dengar sebelumnya, sebelum hari ini. Aku bukan pemutus perkara, hingga aku akan menceritakannya kepada Abu Thalib.” Mendengar respon Ali, Nabi meminta Ali untuk merahasiakan apa yang ia lihat dan berpesan, “Wahai Ali, jika kamu tidak mau masuk Islam, sebaiknya tutup mulut.” [Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz III/24]
Tetapi di sisi lain Rasul saw telah menyampaikan dakwah secara terbuka di pasar-pasar, di jamuan-jamuan makan atau bahkan secara berani mengumpulkan kaum kafir Quraisy di bukit Shafa. Dalam Musnad Ahmad disebutkan, bahwa ketika Rabi’ah bin ‘Abbad bin Bani ad-Dil masih belum memeluk Islam, atau masih Jahiliyah, dia berkata, “Aku telah melihat Rasulullah, saat aku masih Jahiliyyah, di pasar Dzi Majaz, ketika itu baginda berkata, Wahai manusia, ucapkanlah Lailaha Illa-Llah, maka kalian pasti akan beruntung.” Orang-orang pun berkumpul mengelilinginnya. Di belakangnya ada seorang pria yang wajahnya putih bersih. Dia berkata, “Dia ini orang Shabi’ah, pembohong.” Dia mengikutinya, kemana pun baginda pergi. Aku pun menanyakan tentang dirinya. Mereka berkata, “Ini adalah pamannya, Abu Lahab.” [Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Juz III/492]
Dari sini kita melihat bagaimana Rasul saw melakukan dakwah secara terbatas dimana Nabi saw memastikan keamanan kutlah dakwah terjaga. Namun bukan berarti dakwah Islam tidak dilakukan secara terang-terangan oleh Nabi saw. Islam tetap digaungkan di tengah-tengah umat tetapi dengan tetap merahasiakan kutlah dakwah, sebelum kemudian nantinya Allah Swt memerintahkan aktivitas kifah siyasiy (perjuangan politik) dan shira’ fikri (pertarungan pemikiran) dilakukan secara terbuka di tengah-tengah kaum jahiliyah.
Aktivitas politik dakwah Islam, atau tahapan interaksi dengan umat (marhalah tafa’ul ma’a al-ummah) dimulai setelah turunnya QS. Al-Hijr: 94. Saat itu Rasulullah saw berkumpul dengan para Sahabat membahas apa yang telah Allah perintahkan kepada mereka. Mereka mengatakan, “Demi Allah, orang-orang Quraisy belum pernah mendengarkan Alquran disampaikan secara terang-terangan kepada mereka. Lalu, siapa kesatria yang sanggup memperdengarkan Alquran kepada mereka?” Abdullah bin Mas’ud pun dengan gagah berani menjawab, “Saya.” Para Sahabat berkata, “Demi Allah, kami takut mereka akan menyiksa Anda. Kami ingin orang yang mempunyai suku yang bisa melindunginya dari kaum Quraisy, jika mereka hendak berniat jahat kepadanya.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Izinkanlah saya, karena Allah pasti akan melindungi saya.” Maka, keesokan harinya Abdullah bin Mas’ud pun membacakan QS. Ar-Rahman dengan lantang di tengah-tengah kaum kafir Mekah [Ibn al-Atsir, Usdu al-Ghabah fi Ma’rifati as-Shahabah, Juz III/335].
Setelah apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud ra, ia benar-benar mengalami penganiayaan sebagaimana yang dikhawatirkan Nabi saw dan para Sahabat lainnya. Namun tetap saja segala penganiayaan yang diterima Abdullah bin Mas’ud tidak menggentarkan semangat dakwahnya. Ia bahkan meminta Rasul saw mengajarkan ayat lain yang lebih menantang lagi keras untuk disampaikan di tengah-tengah umat. Melihat kegigihan beliau, Nabi saw mengangkatnya menjadi pemegang rahasia Nabi saw.
Dua tahun lamanya sejak tahapan berinteraksi dengan umat dijalankan oleh para Sahabat dan Nabi saw dipenuhi dengan banyaknya ujian dan cobaan yang tidak jarang merenggut nyawa pengemban dakwah. Hingga tepat pada tahun ke-5 kenabian, Allah Swt memperkuat tubuh kutlah dakwah dengan masuknya seorang Ahl an-Nushrah (pemegang kekuasaan), yakni Umar bin Khatthab. Sebagaimana doa Nabi saw, “Allahummanshur al-Islam bi ‘Umarain.” (Ya Allah, tolong Islam dengan dua Umar –Umar bin Khattab dan ‘Amru bin Hisyam atau Abu Jahal-). Kemudian Allah menjadikan Umar bin Khatthab sebagai penolong Islam yang memperkuat barisan dakwah. Setelah itu Allah Swt memberikan pertolongan kembali dengan masuknya Hamzah bin Abdul Muthallib ke dalam Islam.
Tatkala Rasul saw melihat kekuatan kutlah Islam yang semakin kokoh dengan masuknya dua pejuang Islam tersebut, Nabi saw pun menyiapkan uslub (cara) baru untuk memproklamirkan kelompok dakwah Islam yang kemudian dikenal dengan Hizbu ar-Rasul. Dimana Rasul saw turun ke jalan dengan melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah al-Musyarrafah bersama para Sahabat. Saat itulah Hizbu ar-Rasul beserta seluruh pengemban dakwah dipertontonkan secara terang-terangan di hadapan kaum kafir. Inilah fase i’lan (memproklamasikan eksistensi kelompok dan anggotanya) yang secara pasti akan membawa perubahan mendasar dalam aktivitas dakwah Islam.
Fase i'lan yang secara terbuka menunjukkan kelompok dakwah bersama dengan para pengembannya membawa konsekuensi besar. Pertama, jika sebelumnya kaum kafir Quraisy hanya mengetahui dengan jelas bahwa Nabi saw membawa agama baru yakni Islam. Maka setelah fase i'lan umat jahiliyah mengetahui secara pasti siapa-siapa saja pengikut agama Allah. Kedua, dengan adanya fase baru ini kaum kafir Quraisy bisa secara terbuka mempertanyakan Islam dan berdialog dengan para Sahabat. Ketiga, para Sahabat yang telah memeluk Islam tidak lagi menyembunyikan keislaman mereka kecuali hanya segelintir dari mereka yang lemah. Dengan demikian, penganiayaan dan persekusi terhadap para pengemban dakwah pun benar-benar terasa dan menyasar tidak hanya Nabi saw tetapi juga para Sahabat.
Dalam tahapan dakwah ini pertarungan pemikiran Islam dan kekufuran dilakukan secara terbuka. Namun tidak hanya dialog dan diskusi pemikiran yang terjadi di tengah-tengah umat, tak jarang kaum kafir Quraisy melakukan penganiayaan dan penyiksaan terhadap para pengemban dakwah. Hal ini dilakukan karena kaum kafir Quraisy tidak mampu membendung dakwah Islam dan mematahkan argumentasi Islam yang rasional, memuaskan akan dan menenteramkan hati. Sehingga banyak kaum muslim yang tergolong dhuafa dan lemah saat itu harus bertahan dari gempuran kaum kafir bahkan secara fisik.
Ini terlihat dari bagaimana Bilal mengalami penyiksaan dari tuannya yang kafir tatkala ia masih menjadi budak. Bilal ra disiksa dengan ditindih batu besar di bawah terik matahari oleh majikannya Umayyah. Umayyah dengan kejamnya menyiksa Bilal dan berkata, "Kamu tidak akan kulepaskan dari siksaan ini hingga kamu mau mendustakan Muhammad dan kembali mengikuti agamamu yang dulu. Sembahlah Latta dan Uzza". Bilal pun hanya dapat menjawab dengan lirih "Ahad! Ahad! Ahad!" Yang kemudian tak lama Allah Swt memberikan pertolongan melalui Abu Bakar ra yang membeli Bilal dari Umayyah dan memerdekakannya.
Begitu pula dengan pengemban dakwah dhuafa lainnya yang mengalami penyiksaan begitu berat tatkala mereka memperjuangkan keimanan mereka, keluarga Ammar bin Yasir. Setiap hari, Ammar dan keluarganya dibawa ke padang pasir Mekah yang sangat panas. Mereka lantas disiksa dan dipaksa mendurhakai keimanan kepada Allah SWT. Meskipun demikian, Ammar dan keluarganya tetap memilih untuk bertakwa, sekalipun siksaan demi siksaan dirasakan sangat menyakiti. Hingga pada akhirnya ibunda Ammar gugur sebagai syahidah pertama.
Demikianlah penyiksaan dan penganiayaan dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap para pengemban dakwah yang lemah, dengan maksud agar mereka kembali kepada kekufuran dan meninggalkan Islam. Namun hal ini tidak sedikit pun mengubah pendirian para Sahabat dan mereka rela menyerahkan nyawa mereka dalam dakwah untuk meraih surgaNya.
Menghadapi perlawanan dakwah yang kian memburuk, Nabi saw memerintahkan para Sahabat yang lemah untuk meninggalkan Mekah menuju Habasyah. Hal ini dilakukan untuk melindungi jiwa para pengemban dakwah dan menjaga keimanan mereka. Mereka pun mendapat perlindungan dari Raja Najasiy di Habasyah, tetapi kaum kafir Quraisy tidak rela dan berusaha mengejar mereka.
Kaum kafir Quraisy mengutus Amr bin ‘Ash yang masih musyrik untuk menemui Raja Najasiy. Mereka berharap Raja Najasiy mau mengusir para pemeluk Islam di Habasyah dan mengembalikan mereka ke Mekah. Hingga Raja Najasiy pun berdialog dengan Ja’far bin Abi Thalib dan dibacakan kepadanya QS. Maryam. Maka Raja Najasiy berkata, “Islam dan Nasrani (agama yang dipeluk Raja Najasiy) ini keluar dari sumber cahaya yang sama (Allah).” Maka, Amr bin ‘Ash pun gagal memulangkan kaum muslim ke Mekah.
Sebagian kaum muslim yang hijrah ke Habasyah ada yang kembali ke Mekah sekalipun mereka memahami konsekuensi besar atas keputusan mereka, dan sebagian tetap bertahan di Habasyah. Kemudian pergolakan dakwah terus berlanjut dan tantangan dakwah semakin terasa berat. Hingga pada akhirnya kaum kafir Quraisy menerapkan muqatha’ah (pemboikotan) 3 tahun lamanya bagi kaum muslim di Mekah. Pemboikotan yang dilakukan kaum kafir benar-benar menjadi ujian yang sangat berat bagi dakwah Islam, dimana kaum muslim seluruhnya diembargo dan tidak mendapatkan akses makanan, minuman, pakaian hingga tempat tinggal. Tidak hanya itu, kaum kafir Quraisy pun serta-merta mengembargo Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib yang menjadi kerabat Nabi saw.
Pertempuran Islam dan kekufuran memang sudah sunnatullah akan mengalami banyak cobaan dan rintangan. Yang kemudian segala kesulitan yang diterima para pengemban dakwah menjadi batu ujian keimanan dan menjadi momen penting bagi kaum muslim untuk berserah diri dan memohon pertolongan Allah Swt. Tak jarang para pengemban dakwah Islam kemudian tidak hanya mengorbankan harta, waktu dan tenaga mereka dalam dakwah tetapi juga menyerahkan jiwa dan nyawa mereka di dalam perjuangan ini. Sebagaimana firman Allah Swt, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh...”
Demikianlah perjuangan dakwah Nabi saw bersama dengan para Sahabat pada marhalah tafa’ul. Para pengemban dakwah benar-benar diuji keimanannya oleh Allah Swt dengan banyaknya pertentangan dakwah dengan pemikiran kufur, serta halangan fisik berupa penyiksaan, penganiayaan hingga pemboikotan. Namun segala cobaan yang dihadapi kutlah dakwah tidak sedikitpun menyurutkan semangat para pengemban dakwah untuk memperjuangkan Islam dan menyebarkannya. Karena sesungguhnya kaum mukmin tengah berjual-beli dengan Allah Swt, dan menukarkan setiap jerih payah mereka dengan balasan surga bersama dengan RidaNya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar