Waspada Upaya Pelegalan Perkawinan Beda Agama!
Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama- Kendati dua hakim sempat mendebat hasil keputusan sidang, Mahkamah Konstitusi (MK) tetap pada kebijakannya untuk menolak permohonan melegalkan pernikahan beda agama. Setelah sebelumnya terdapat permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh seorang WNI berkeyakinan Katolik, Ramos Petege, yang menilai Pasal 2 ayat 1 dan 2 serta Pasal 8 huruf F UU No.1/1974 inkonstitusional karena menyebabkan dirinya gagal mempersunting kekasihnya yang beragama Islam. Lebih jauh MK menyatakan dengan tegas bahwa pencatatan pernikahan lintas agama yang dilakukan melalui permintaan izin ke Pengadilan Negeri (PN) ataupun tercatat di Dukcapil (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil) bukanlah pengakuan negara atas eksistensi nikah beda agama.
Menanggapi hasil keputusan MK tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh, menyampaikan usulan untuk membuat buku nikah beda agama. Usulan tersebut ia sampaikan berdasar pada banyaknya kejadian di lapangan dimana segelintir masyarakat kesulitan untuk menyelenggarakan pernikahan karena kepercayaan yang berbeda. Menurutnya dengan cara tersebut, negara dapat membuktikan kehadirannya dalam koridor masyarakat dan ikut dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi (bandung.suara.com, 03/02/2023).
Sedangkan Hakim MK lainnya, Suhartoyo, menilai sudah saatnya negara mengatur pernikahan beda agama secara spesifik. Dan kewenangan pengeluaran kebijakan tersebut disebutnya berada di tangan DPR selaku badan legislatif, bukan MK. Ia berdalih pencatatan atau ketertiban administrasi dalam peristiwa perkawinan lintas agama adalah upaya melindungi hak-hak warga negara sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dimana pencatatan perkawinan tersebut selain untuk melindungi pasangan perkawinan beda agama, juga melindungi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Secara spesifik, hukum positif Indonesia memang tidak mengatur pernikahan beda agama. Sekalipun dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu “, pada kenyataannya masih bermuatan multitafsir dan memungkinkan pasangan beda agama untuk tetap melangsungkan pernikahan.
Bahkan selama ini terdapat setidaknya 3 (tiga) cara yang dapat ditempuh oleh para pasangan lintas agama untuk tetap mensahkan pernikahan mereka. Pertama, dengan meminta penetapan Pengadilan Negeri (PN) yang diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986. Dengan aturan ini pasangan yang hendak menikah dapat meminta permohonan ke pengadilan agar menyetujui permohonan pencatatan pernikahan ke kantor catatan sipil (KCS) setempat. Kedua, perkawinan dilakukan menurut agama masing-masing mempelai. Sebagai contoh pasangan Islam-Kristen dapat melangsungkan akad nikah sesuai ajaran Islam dan pemberkatan sesuai keyakinan Kristiani dalam pelaksanaan pernikahan mereka. Ketiga, melangsungkan pernikahan di negara lain yang secara hukum setempat melegalkan perkawinan beda agama. Namun pasangan yang menikah tetap harus melaporkan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan.
Putusan untuk mengizinkan pencatatan nikah beda agama pun diperkuat dengan adanya UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di bagian Bab ‘hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan’ pasal 10 dikatakan, “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan perundang- undangan”. Yang dimana aturan tersebut bisa diartikan sebagai bentuk penjaminan pernikahan sekalipun lintas agama, dengan dalih adanya jaminan HAM bagi seluruh warga negara.
Bahkan untuk “mengelabui” hukum, terdapat calon pengantin yang “mengalah” dan menundukkan diri kepada agama pasangannya dengan cara beralih kepercayaan secara temporal, kemudian mencatatkan perkawinan mereka berdasarkan kepercayaan salah satu pasangan. Dengan demikian, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama selain Islam maka dicatatkan di Dukcapil dan jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Setelahnya mempelai dapat “kembali” pada kepercayaannya dan melanjutkan pernikahan mereka.
Dengan banyaknya “jalan tikus” yang dapat ditempuh di negeri ini bagi calon pasangan lintas agama untuk melangsungkan pernikahan, menjadi hal yang tidak aneh jika kemudian perkawinan beda agama menjadi fenomena yang lumrah terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan sepanjang 2022 lalu sudah banyak pernikahan beda agama yang mendapatkan pengesahan dari pengadilan. Para hakim di Pengadilan Negeri yang melakukan pengesahan tersebut memanfaatkan celah hukum antara UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan (Amiduk). Dari sini terjadilah ambiguitas regulasi yang semakin menumbuhsuburkan peristiwa pernikahan beda agama di negeri ini.
Inilah gambaran pengaturan perkawinan dalam sistem sosial sekular yang tidak menjadikan agama (Islam) sebagai tolak ukur dalam pengesahan pernikahan. Dimana sistem sekular yang dianut negeri ini secara nyata berusaha memisahkan sejauh mungkin peran agama dalam kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara yang kemudian dijamin oleh perundang-undangan yang berlaku. Sehingga wajar jika hukum-hukum positif yang masih beririsan dengan keyakinan dan agama, seperti halnya UU Perkawinan, akan terus “digoyang” agar berkesesuaian dengan nilai-nilai sekular yang senantiasa mendesakralisasi agama.
Lebih dari itu para pelaku pernikahan agama dan para pendukungnya menggunakan dalih toleransi dan penjaminan HAM. Dimana mereka meyakini bahwa perbedaan agama seharusnya tidak menghalangi dua insan untuk bersatu dalam ikatan pernikahan. Serta mengagungkan pluralisme yang memandang semua agama sama baiknya serta setara. Hingga berdalih bahwa pernikahan hanyalah masalah keperdataan yang tidak sepatutnya diatur berdasarkan agama.
Dari sini kita dapat melihat adanya upaya serius dari berbagai pihak melakukan liberalisasi agama yang ironisnya banyak didukung oleh pihak-pihak yang tengah berkuasa. Upaya liberalisasi agama yang merupakan bentuk pengabaian terhadap agama (Islam) tidak lagi menjadi fenomena “pinggiran” tetapi sudah masuk ke level negara sebagaimana upaya judicial review terhadap UU Perkawinan yang berlaku di negeri ini. Bahkan liberalisasi agama yang terjadi tidak lagi menyasar sebatas “kebebasan berkeyakinan” tetapi sudah mengobrak-abrik entitas keluarga melalui pernikahan beda agama.
Padahal keluarga sebagai entitas yang terbentuk oleh ikatan pernikahan adalah unit pertama dan utama dalam pembentukan generasi unggul dan kader-kader pejuang. Maka bisa kita bayangkan betapa rusaknya himpunan keluarga yang terbentuk tatkala agama (Islam) tidak dijadikan landasan perkawinan bahkan sejak awal pelaksanaan pernikahan. Dan sudah menjadi konsekuensi logis pula jika kemudian generasi penerus yang terbentuk dari pernikahan beda agama akan menjadi individu-individu yang abai terhadap agama dan menganggap agama (Islam) hanyalah formalitas belaka. Na'udzubillah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Facebook : https://www.facebook.com/Muslimah-Jakarta-Reborn-111815451296281/
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar