Oleh : Sri Rahayu
Komisi VIII DPR RI dan Kementerian Agama (Kemenag) beserta pemangku kebijakan terkait telah menyepakati besaran rata-rata Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) atau biaya yang dibayar langsung oleh jamaah haji tahun 2023 menjadi Rp49.812.711,12 atau sebesar 55,3%. Bipih ini lebih rendah dari usulan pemerintah lewat Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang mengusulkan biaya haji tahun ini menjadi Rp69,19 juta atau sebesar 70%.
Sebelumnya, usulan biaya haji dari Menag Yaqut Cholil Qoumas sangat mengejutkan dan menggelisahkan masyarakat. Dia mengatakan tahun lalu Bipih atau biaya riil haji Rp98.379.000,00 sementara usulan tahun ini Rp98.893.000,00, atau naik Rp514.000,00. Yang membedakan, tahun lalu porsi biaya ditanggung jamaah Rp39.886.000,00 (40,54%) sedangkan sisanya 59,46% dibiayai dari dana nilai manfaat pengelolaan dana haji di BPKH. Usulan Menag untuk tahun ini, porsi yang ditanggung jamaah 70% sedangkan “subsidi” atau pembiayaan dari BPKH adalah 30%.
Meski dilakukan efisiensi harga diberbagai bidang, namun Komisi VIII tetap menegaskan dan meminta pemerintah melakukan layanan terbaiknya pada jamaah. Ketua Panitia Kerja (Panja) Badan Penyelenggara Ibadah Haji Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, bahkan menyampaikan beberapa usulan dari Panja untuk pemerintah terkait peningkatan pelayanan ini diantaranya terkait pembinaan, dan perlindungan terhadap jamaah haji sejak sebelum, pada saat, dan setelah pelaksanaan ibadah haji.
Bagaimana Pengelolaan Biaya Haji Selama Ini?
Kesepakatan Komisi VIII DPR RI dan Kemenag beserta pemangku kebijakan terkait cukup melegakan. Namun bagaimana sesungguhnya pengelolaan biaya haji selama ini sehingga sempat muncul usulan biaya haji yang demikian mengejutkan? Dan dalam waktu yang cukup singkat biaya bisa ditekan hingga hampir Rp20 juta per jamaah?
Mengutip buku elektronik Apa dan Bagaimana Investasi Keuangan Haji BPKH, dijelaskan bahwa pengelolaan tersebut dilakukan oleh Badan Pelaksana Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas. Sebelum BPKH, pengelolaan dana haji menjadi tanggung jawab Kemenag. Pada saat itu, Kemenag berwenang untuk menginvestasikan Bipih ke tiga instrumen investasi, yaitu deposito berjangka syariat, surat utang negara (SUN), dan surat berharga syariah negara (SBSN).
Akan tetapi, sejak pengelolaan dana haji beralih pada BPKH, alokasi investasi menjadi lebih luas. Sesuai peraturan, investasi keuangan haji dapat melalui berbagai bentuk instrumen investasi yakni, surat berharga syariah, emas investasi langsung, dan investasi lainnya.
Anggito Abimanyu sebagai kepala BPKH terdahulu, menyebutkan dana haji per Mei 2021 mencapai Rp150 triliun. Menurutnya, ini tetap aman, tidak ada utang akomodasi Arab Saudi dan tidak ada alokasi infrastruktur yang menimbulkan risiko tinggi bagi dana haji. Ia juga mengatakan bahwa dalam Laporan Keuangan BPKH sampai 2020, tidak ada catatan utang dalam kewajiban BPKH kepada pihak penyedia jasa perhajian di Arab Saudi.
Pada tahun 2020 tidak ada pemberangkatan jemaah haji sehingga tidak ada pembiayaan untuk ibadah haji. Tahun 2023 ini, telah terjadi kesepakatan yang ditandatangani oleh Menag RI Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq al-Rabiah, kuota haji Indonesia 2023 sebesar 221.000 jemaah. Artinya harus ada dana tunai untuk memberangkatkan sekitar 221.000 jemaah haji. Jika 221.000 dikali Rp 40 juta saja, dana yang harus tersedia sudah mencapai Rp 8,85 triliun. Masalahnya, apakah di BPKH tersedia dana yang dibutuhkan tersebut? Kekhawatiran para jemaah adalah dana yang ada di BPKH cuma tercatat, sedangkan uangnya sudah berubah bentuk menjadi sukuk, pembiayaan proyek infrastruktur, ataupun pembiayaan berbagai proyek lainnya.
Akhirnya, untuk mendapatkan dana tunai, harus mengambil dari jemaah yang mau daftar berhaji. Karena butuh dana tunai yang besar, biaya haji pun dinaikkan menjadi Rp69 juta sehingga akumulasi anggarannya bisa memberangkatkan 221.000 jemaah sesuai kuota (100%). https://muslimahnews.net/2023/02/04/17324/
Heboh pembiayaan haji ini akhirnya membuka kesadaran umat Islam, bahwa dana haji dicurigai dikelola dengan skema ponzi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh. Pengelolaan dana haji yang dilakukan oleh Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) dinilai bak skema Ponzi. Skema itu berpotensi merugikan jamaah karena menggunakan nilai manfaat dari dana setoran jamaah yang mengantre selanjutnya. https://www.republika.id/.../mui-sebut-dana-haji-dikelola...
Jika demikian apa bedanya dengan biro perjalanan haji dan umrah, First Travel? Jumlah calon jamaah haji di negeri ini sangat besar mencapai 5,3 juta orang antrian. Tentu potensi dana setoran yang terkumpul sangat besar. Sistem kapitalisme tak mungkin membiarkan dana besar begitu saja. Jangankan dana yang terakumulasi begitu besar, yang kecil saja dikejar! Demikianlah ajaran kapitalisme tak peduli halal haram, miliknya atau bukan. Yang menjadi pertimbangan hanyalah keuntungan semata.
Aroma bisnis dalam pengelolaan biaya haji begitu menyengat dan telah berdampak besar bagi rakyat. Pendaftaran ibadah haji terus dibuka hingga mencipta antrean dan penantian panjang. Tentu ini semakin menambah rumit persoalan. Puluhan tahun masuk daftar antrian apakah menjamin calon jemaah masih ada umur? Jika sampai umurnya, apakah mampu secara fisik?
Lantas Bagaimana untuk Keluar dari Persoalan Ini?
Banyak kalangan memberikan pendapat untuk mengurai permasalahan ini. Pemerintah sebaiknya mengembalikan biaya haji yang sudah disetorkan calon jemaah dan mulai memperbaiki pengaturan pelayanan haji. Seharusnya pemerintah dari awal mengumumkan biaya yang harus disiapkan oleh calon jamaah haji dan mengumumkan kuota yang diberikan oleh pemerintah Saudi. Bagi calon jemaah yang istithoah (mampu baik secara fisik, finansial, dan biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan) diperkenankan untuk mendaftar, membayar ongkos naik haji dan berangkat ibadah haji. Sehingga calon jemaah menunaikan haji murni dengan biaya yang dia keluarkan sendiri, tidak ditambah pembiayaannya dari calon jemaah lain, yang berarti mendzolimi jemaah lain yang mendaftar kemudian. Demikian juga kategori istithoah (mampu) ini mampu secara individu bukan kolektif. Sehingga dana “subsidi” yang sesungguhnya adalah dana nilai manfaat pengelolaan dana haji tidaklah patut untuk digunakan.
Ibadah haji adalah rukun Islam kelima, fardhu 'ain bagi umat Islam yang mampu. Pengaturan oleh pemerintah amat sangat diharapkan agar mempermudah dan memberi pelayanan terbaik.
Bagaimana Pelayanan Ibadah Haji pada Masa Khilafah Islam?
Khilafah memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang mudah, sederhana, dan cepat. Biaya haji yang ditetapkan bukanlah dibangun atas paradigma bisnis tetapi pelayanan terbaik untuk tamu Allah.
Untuk mempermudah pelayanan khalifah mempersiapkan opsi rute darat, laut maupun udara. Dalam sistem khilafah tidak ada visa haji karena semua negeri muslim adalah negeri yang satu, kecuali untuk muslim yang berada di wilayah kafir. Sistem khilafah akan melakukan pengelolaan data base warga negaranya untuk memprioritaskan warganya yang akan berangkat haji. Pertimbangan penting dalam pelayanan adalah, kewajiban haji hanya sekali seumur hidup dan bagi yang mampu.
Di antara bukti pelayanan terbaik telah dilakukan oleh khalifah Utsmani yaitu Sultan Abdul Hamid II. Beliau membangun jalur Hijaz Railway dari Istanbul, Damaskus hingga ke Madinah demi untuk mempermudah perjalanan haji dan umroh.
Demikian juga masa kekhilafah sebelumnya, Khalifah Abbasiyah telah membangun jalur perjalanan haji dari Irak hingga hijaz. Di setiap titik pos pelayanan umum disediakan logistik termasuk juga dana zakat ditujukan bagi jamaah haji yang kehabisan bekal.
Realitas ini sangat mencerminkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Selain itu Khalifah Harun Al Rasyid memiliki kebiasaan memberangkatkan 100 ulama beserta anaknya jika beliau naik haji. Sedangkan jika beliau tidak berangkat haji atau sedang menunaikan jihad maka beliau memberangkatkan 300 ulama beserta anaknya. Sedangkan biaya haji diambil dari kas pribadi khalifah. MasyaAllah sungguh hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan pelayanan terbaik. Dan mustahil terwujud dalam sistem sekulerisme kapitalisme yang mengutamakan aspek bisnis dalam pelayanan terhadap warganya.
Umat Islam sangat ingin dapat menunaikan ibadah haji dengan baik dengan pengaturan sistem terbaik, Khilafah Islam. Wallahu a'lam bishawab
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficialu
0 Komentar