Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
Nabi- Pada tahun 11 kenabian di musim haji, Rasul saw bertemu dengan 6 (enam) orang Anshar di ‘Aqabah. Keenam orang tersebut berasal dari suku Khazraj, yakni Abu Umamah As'ad bin Zurarah bin'Adas, 'Auf bin al-Harits bin Rifa'ah dia adalah anaknya Afra, Rafi' bin Malik bin al-Ajlan, Quthbah bin 'Amir bin Hadidah, 'Uqbah bin 'Amir bin Nabi, dan Jabir bin'Abdullah bin Ri-ab. Nabi saw mengajak mereka masuk Islam dan mereka pun menyambut baik risalah Islam. Setelah ibadah haji, mereka pun pulang ke Madinah dan mendakwahkan Islam semampu mereka. Dari sinilah Islam mulai dikenal di kalangan Yatsrib.
Pada tahun berikutnya datanglah 12 (dua belas) orang laki-laki Yatsrib termasuk enam orang yang pertama datang kecuali Jabir bin ‘Abdullah. Kesemuanya berasal dari suku Khazraj kecuali 2 (dua) orang saja dari suku Aus yaitu Abu Haitsam Malik bin Tayyihan dan Uwaim bin Sa'idah. Pada saat itu mereka berkumpul dengan Rasul saw di Aqabah, dan mereka pun membai’at Nabi sebagaimana bai’at kaum wanita.
Dalam riwayat al-Bukhari, dari ‘Ubadah bin as-Shamit telah dinyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Mari ke sini, berbai’atlah kepadaku agar kalian tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, dan tidak lancang melakukan kebohongan baik di depan maupun di belakang mereka, tidak maksiat kepada Nabi dalam kemakrufan. Siapa saja di antara kalian yang memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah. Siapa saja yang melanggarnya, lalu dikenai sanksi di dunia, maka dia berhak atas kafarat. Siapa saja yang melanggarnya, lalu Allah tutupi aibnya, maka urusannya diserahkan kepada Allah. Jika berkenan, Allah bisa menjatuhkan sanksi kepadanya. Jika berkenan, Allah pun bisa mengampuninya.” ‘Ubadah bin as-Shamit pun berkata, “Aku pun membai’at baginda saw.” Dan, redaksi lain, “Kami pun membai’at baginda atas dasar semuanya itu.” (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz I/7, 550, 551; Juz II/727 dan 1003)
Setelah berakhirnya bai’at dan musim haji, Nabi saw mengutus salah seorang sahabatnya yang memiliki wajah yang mirip dengannya, Mush’ab bin ‘Umair. Dia ditugasi untuk menjadi Muqri’ al-Madinah (orang yang membacakan al-Qur’an kepada penduduk Madinah), mengajarkan Islam, menjadikan mereka yang telah memeluk Islam faqih dalam urusan agama, sekaligus menyebarkan Islam di tengah-tengah penduduk Yatsrib yang saat itu mayoritas masih Musyrik. Mush’ab pun meninggalkan Mekah, menuju ke Madinah bersama mereka yang telah membai’at Nabi di ‘Aqabah.
Setibanya di Yatsrib, Mush’ab pun singgah dan tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Keduanya mulai menyebarkan Islam di tengah-tengah penduduk Madinah tanpa kenal lelah. Setiap pagi buta mereka keluar dari rumah dan mulai mengetuk pintu rumah-rumah penduduk Madinah guna menyebarkan Islam, dan baru kembali di sore hari. Berkat kegigihan mereka dan pertolongan Allah, cahaya Islam pun kian terasa di Yatsrib. Di antara kesuksesan mereka yang paling mahsyur adalah tatkala As’ad bin Zurarah keluar bersama Mush’ab menuju kampung Bani ‘Abdul Asyhal dan Bani Dhufur. Keduanya memasuki salah satu kebun milik Bani Dhufur dan duduk di sumur yang dikenal dengan nama Sumur Maraq. Beberapa penduduk Yatsrib yang telah memeluk Islam kemudian menemui mereka berdua di sana. Sementara Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair, yang merupakan pemimpin kaumnya, yaitu Bani Asyhal, masih dalam kondisi musyrik.
Ketika Sa’ad bin Mu’adz berkata kepada Usaid bin Hudhair mendengar berita tentang pertemuan kaum muslim di Bani Dhufur dan Bani Asyhal, maka Sa’ad berkata kepada Usaid, “Pergilah kamu kepada dua orang (Mush’ab dan As’ad) yang datang untuk membodohi orang-orang lemah di antara kita. Cegahlah mereka! Cegahlah mereka agar tidak mendatangi kampung kita! Karena, As’ad bin Zurarah adalah putra bibiku. Kalau bukan karena itu, aku niscaya tidak membutuhkanmu dalam urusan ini.”
Mendengar ucapan Sa’ad bin Mu’adz, Usaid bin Hudhair pun mengambil tombaknya dan berangkat menemui kaum muslim yang berkumpul di Sumur Maraq. Ketika As’ad bin Zurarah melihat sosok Usaid, As’ad berkata kepada Mush’ab, “Ini adalah pemimpin kaumnya. Dia mendatangimu, maka jujurlah kepada Allah terhadapnya.” Mush’ab berkata, “Jika dia bersedia duduk, aku akan mengajaknya berbicara.” Usaid bin Hudhair pun tiba dan berdiri di hadapan keduanya sambil mengumpat. Dia berkata, “Apa yang telah membawa kalian berdua hingga datang kepada kami? Kalian membodohi orang-orang lemah di antara kami? Tinggalkanlah kami, jika kalian masih membutuhkan hidup kalian berdua.” Mush’ab berkata kepadanya, “Bagaimana kalau Anda duduk dulu, dan dengarkan baik-baik. Jika Anda puas, silahkan Anda terima. Jika Anda tidak puas, maka cukuplah dengan apa yang tidak Anda sukai.” Usaid pun menancapkan tombaknya dan duduk. Mush’ab kemudian menyampaikan Islam dan membacakan Alquran kepadanya.
As’ad bin Zurarah kemudian berkata, “Demi Allah, aku mengetahui Islam melalui wajahnya, sebelum dia berkata-kata. Tampak pada kerinduan dan sambutannya.” Lalu Usaid bin Hudhair berkomentar, “Alangkah indah dan bagusnya ini? Apa yang kalian lakukan, jika kalian ingin masuk ke dalam agama ini?” Mush’ab dan As’ad pun menjawab, “Anda mandi, bersihkan pakaian Anda, dan menyatakan kesaksian dengan kalimat syahadat, lalu shalat dua rakaat.” Usaid pun berdiri, mandi dan membersihkan pakaiannya, menyatakan kesaksiannya, dan shalat dua rakaat.
Usaid bin Hudhair berkata, “Di belakangku ada seseorang (Sa’ad bin Mu’adz), jika dia mengikuti kalian, maka tak seorang pun dari kaumnya yang akan meninggalkannya. Aku akan membawanya kepada kalian sekarang juga.” Dia pun mengambil tombaknya, dan berangkat menemui Sa’ad di tengah kaumnya. Ketika itu, mereka duduk-duduk di tempat pertemuan mereka. Sa’ad berkata, “Demi Allah, dia datang kepada kalian dengan wajah yang berbeda saat dia pergi meninggalkan kalian.” Ketika Usaid berdiri di ruang pertemuan mereka, Sa’ad pun bertanya kepada, “Apa yang telah kamu lakukan?” Usaid menjawab, “Aku telah berbicara dengan dua orang lelaki. Demi Allah, aku tidak melihat ada sesuatu pada mereka. Aku telah menghalangi mereka, tetapi mereka berkata kepada kami, ‘Kami akan melakukan apa yang kamu mau’.” Sa’ad bin Mu’adz pun akhirnya diajak bertemu As’ad bin Zurarah dan Mush’ab bin ‘Umair, dan kemudian memeluk Islam.
Tak lama Sa’ad bin Mu’adz pun mengajak kaumnya, Bani Asyhal, untuk memeluk Islam. Kata-katanya yang termahsyur kepada kaumnya, “Sesungguhnya kalian haram berbicara denganku, hingga kalian masuk Islam.” Mendengar pernyataan Sa’ad, seluruh kaumnya dari Bani Asyhal pun berbondong-bondong masuk Islam.
Dengan totalitas dakwah Mush’ab bin Umair yang luar biasa bersama dengan kaum muslim di Madinah yang baru masuk Islam, maka dalam waktu satu tahun hampir seluruh penduduk Madinah memeluk Islam. Tak tersisa satu pun rumah kaum Anshar, seluruh kaum pria maupun wanitanya, telah mendapat cahaya Islam kecuali di rumah Bani Umayyah bin Zaid, Khathmah dan Wa’il. Di rumah mereka ada seorang pria bernama Qais bin al-Aslat, seorang penyair, yang mereka taati. Dialah satu-satunya yang menghalangi mereka memeluk Islam, hingga saat Perang Khandak pada tahun 5 H.
Begitu juga di kalangan Bani Abdul Asyhal semuanya telah memeluk Islam, kecuali seorang saja yaitu al-Ushairam. Dia terlambat masuk Islam dan baru bergabung dalam barisan kaum muslim saat Perang Uhud. Akan tetapi begitu al-Ushairam masuk Islam, ia belum sempat mandi dan shalat dua rakaat, langsung ikut berperang hingga pada akhirnya syahid di Uhud. Sampai Nabi saw menyatakan, “Dia telah melakukan amal yang sedikit, tetapi pahalanya luar biasa.” (al-Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum, hal. 146)
Demikianlah perkembangan dakwah Islam yang luar biasa di Madinah, dimana masyarakat Islam terbentuk disana dengan semangat perjuangan Islam yang tak kalah dengan saudara-saudara sesama muslim di Mekah. Mereka semua siap memberikan jiwa dan raga mereka untuk Allah dan RasulNya. Dan setelah Mush’ab bin Umair melihat kesiapan masyarakat di Yatsrib, beliau pun kembali ke Mekah menemui Rasul saw. Ia bergembira mendatangi Nabi dan menjelaskan kesiapan masyarakat Madinah menerima kepemimpinan Islam. Ia pun menjelaskan bagaimana penduduk Madinah bersedia memberikan dukungannya, perlindungan serta kekuasaan untuk dakwah Islam. Kondisi inilah yang kemudian meyakinkan Rasul saw bahwa penduduk Madinah siap menyerahkan kekuasaannya kepada Nabi. Hingga terjadilah bai’at ‘Aqabah II dan tak lama setelahnya Nabi beserta kaum muslim di Mekah melaksanakan hijrah ke Madinah guna menyambut kemenangan Islam.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
_______________
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Website : www.muslimahjakarta.com
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar