Kapan Kita Belajar?!

 



EDITORIAL — Banyak yang menilai, putusan MK soal syarat usia capres-cawapres adalah bagian dari skenario pihak tertentu untuk melanggengkan dinasti kekuasaan. Hal ini terkait masuknya anak presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka—yang juga sepupu salah satu hakim MK—dalam bursa pencalonan cawapres menuju Pilpres 2024.

Selama ini, kesempatan Gibran menuju pilpres dianggap terganjal oleh aturan soal batas usia pencalonan. UU Pemilu sebelumnya menyebutkan, batas minimal usia bagi capres dan cawapres adalah 40 tahun. Sementara itu, usia Gibran masih sekira 36 tahun, meski sekarang posisinya adalah sebagai Wali Kota Solo.

Lalu muncullah upaya gugatan atas pasal tersebut yang diajukan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqib Birru. Alasannya, UU tersebut bertentangan dengan amandemen UUD 1945. Lalu pada 17 Oktober 2023, gugatan pun dikabulkan.

Politik Jegal-menjegal

Dalam putusannya, MK menambahkan syarat capres-cawapres yang sebelumnya mengatur soal usia 40 tahun dengan kata-kata “pernah” dan “sedang” menjadi kepala daerah. Alhasil, putusan ini memuluskan Gibran masuk ke bursa pencalonan. Koalisi Indonesia Maju pun langsung mengumumkan Gibran sebagai cawapres bagi Prabowo Subianto.

Jika dicermati, tudingan tersebut tidak muncul tiba-tiba. Indikasi upaya saling jegal sudah muncul bahkan sejak sebelum tahapan pemilu digelar, termasuk adanya upaya sebagian pihak mempertahankan rezim kekuasaan.

Misalnya saja, selain polemik soal presidential threshold dan soal sistem pemilu tertutup dan terbuka, jauh sebelumnya telah muncul pula polemik soal penundaan pemilu dengan alasan kondisi politik ekonomi pascapandemi yang akan mengganggu stabilitas nasional. Hanya saja, usulan ini gagal. Berlanjut dengan isu perpanjangan masa jabatan presiden yang juga mendapat banyak pertentangan.

Oleh karenanya, wajar ketika nama Gibran tiba-tiba muncul dalam bursa pencalonan cawapres, banyak pihak mengaitkan dengan tudingan adanya skenario yang sebelumnya terganjal. Terlebih ada sinyal “pengkhianatan” yang siap dilakukan Gibran, sekiranya memang diperlukan. Misalnya, kedekatan Gibran dengan Prabowo yang sering dipertontonkan di tengah isu panas persaingan.

Terbukti pasca-putusan MK, Gibran dengan ringan menerima pinangan Koalisi Indonesia Maju untuk menjadi cawapres bagi Prabowo, padahal Gibran lahir dan dibesarkan oleh PDIP yang berposisi sebagai lawan terbesar. Bahkan, posisinya sebagai Wali Kota Solo yang akhirnya melempengkan jalan menuju Pilpres 2024 adalah jasa besar dari PDIP.

Lucunya, setelah putusan MK yang kontroversial ini keluar, muncul gugatan baru atas UU Pemilu soal usia maksimal capres. Para penggugat menginginkan ada pembatasan usia maksimal hingga 70 tahun, padahal diketahui bahwa usia Prabowo sudah memasuki 72 tahun. Namun, MK dengan cepat memutuskan. Gugatan ditolak. Prabowo pun dipandang lolos dari upaya penjegalan.

Tidak Kenal Halal Haram

Fenomena jegal-menjegal dan upaya membangun dinasti kekuasaan sejatinya bukan hal baru. Dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal, kekuasaan begitu menggiurkan. Apa pun bisa dilakukan, asal  kelompoknya bisa menang. Alhasil, produksi kebohongan, gugat-menggugat aturan, saling mencari kesalahan dan menjatuhkan, saling melontar fitnahan dan sejenisnya, menjadi hal yang lumrah pada momentum pemilihan kepemimpinan.

Masyarakat bahkan sering disuguhi drama memalukan sekaligus memilukan di ajang pesta lima tahunan. Mereka diseret dalam panasnya kancah persaingan, lalu setelah selesai, mereka ditinggalkan.

Ironisnya, kawan dan lawan bisa dengan cepat berubah sesuai kepentingan. Ini mengonfirmasi kredo politik sekuler bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Inilah yang hari ini terjadi. Bagi satu pihak, lompatnya Gibran ke kubu seberang dinarasikan sebagai pengkhianatan. Puan Maharani secara gamblang misalnya mengatakan, dalam kondisi sekarang, kawan bisa jadi lawan, dan lawan bisa jadi banyak. Tokoh-tokoh PDIP yang lain pun banyak yang menguatkan simpulan Puan, sambil menegaskan tudingan soal adanya upaya melanggengkan dinasti kekuasaan.

Namun bagi pihak lainnya, lompat-melompat adalah soal hitung-hitungan. Semua kontestan tentu ingin memenangi pertarungan. Alhasil, risiko mendapat cap pengkhianat, inkonsisten, politisi kutu loncat, brutus, petualang, boneka, dsb., dipandang sebagai risiko perjuangan, bukan tabu atau hal memalukan. Toh dalam politik demokrasi tidak ada standardisasi aturan karena konsep halal haram tabu masuk dalam perpolitikan.

Harus Belajar

Bagi kita, Pemilu 2019 semestinya memberi banyak pelajaran, terutama tentang busuknya konsep dan praktik politik sekuler demokrasi. Pengorbanan yang dicurahkan benar-benar luar biasa besar. Selain materi yang hilang sia-sia, ratusan nyawa rakyat menjadi korban. Belum terhitung biaya sosial lain yang ditimbulkan.

Bisa dibayangkan, ongkos penyelenggaraan pemilu 2019 yang harus digelontorkan negara saja tercatat 25 triliunan rupiah. Belum termasuk uang resmi dan uang gelap yang dikeluarkan partai politik dan para caleg yang mengharapkan kemenangan. Maklum, untuk bisa menang, para calon sangat bertumpu pada strategi iklan dan pencitraan. Bahkan, bukan hanya iklan, harus ada alokasi khusus untuk dana menjegal lawan, termasuk produksi hoaks dan mobilisasi buzzer bayaran.

Wajar jika disimpulkan, politik demokrasi adalah politik berbiaya mahal, dan karenanya membuka celah intervensi pihak-pihak para pemilik modal di samping menumbuhsuburkan perilaku koruptif di jajaran pemegang kekuasaan. Hadirnya intervensi dan keterlibatan para pemodal kelak tampak dari kebijakan yang dihasilkan. Nyaris semua aturan dan undang-undang  yang dikeluarkan, didedikasikan untuk melayani kepentingan para pemilik modal. Bahkan, pemerintahan menjadi ajang bancakan kaum oligarki.

Lihatlah, apa yang didapat dari pengorbanan rakyat dengan berdarah-darah mengantarkan jagonya ke kursi kekuasaan? Pemerintah kerap menghadiahi mereka dengan berbagai kejutan.

Pertama, UU Cipta Kerja yang mengukuhkan proyek-proyek penjajahan dan memicu konflik horizontal, termasuk konflik lahan. Kedua, naiknya harga-harga kebutuhan pokok termasuk BBM dan LPG yang tak kelar-kelar. Ketiga, layanan kesehatan yang makin mahal dan kebijakan pendidikan yang makin kacau. Keempat, aturan-aturan hukum yang diskriminatif dan selalu mengusik rasa keadilan karena memihak para pemilik uang. Serta alasan lainnya.

Adapun proyek-proyek pembangunan yang dilakukan, nyatanya tidak menyentuh kebutuhan rakyat. Penguasa seakan bekerja dan berkarya, padahal proyek-proyek tersebut hakikatnya hanyalah ajang bagi-bagi kue kekuasaan, bahkan menjadi jalan penjajahan. Adapun rakyat lagi-lagi menjadi korban, hingga janji kesejahteraan makin jauh dari harapan.

Beda dengan Islam

Sistem politik Islam berbeda jauh dengan politik sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal. Islam menolak paham kebebasan dan penjauhan agama dari urusan kehidupan. Islam tegak di atas keimanan yang menghubungkan urusan keduniaan dengan pertanggungjawaban di keabadian, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Islam begitu memperhatikan aturan halal haram. Terlebih, tidak ada urusan yang luput dari pengaturan Islam, mulai dari urusan ibadah ritual hingga urusan politik pemerintahan. Salah satunya adalah upaya mewujudkan kepemimpinan di tengah masyarakat yang menjadi kewajiban seluruh umat Islam.

Dalam Islam, pemimpin setidaknya harus memenuhi tujuh syarat sah pengangkatan (in’iqad), yakni muslim, laki-laki, balig dan berakal, adil (siap menerapkan hukum-hukum Islam alias terikat halal-haram), merdeka (tidak di bawah tekanan atau disetir pihak ketiga), juga tentu harus memiliki kapabilitas.

Semua syarat ini mutlak ada pada penguasa karena akad pengangkatan (baiat) terkait tugas kepemimpinan, yakni mengurus dan menjaga rakyat berdasarkan hukum-hukum syariat.

Oleh karenanya, para pemimpin Islam benar-benar akan mendedikasikan dirinya demi kepentingan rakyat berdasar tuntunan syariat. Sementara itu, rakyat siap menyerahkan ketaatan mereka juga berdasarkan tuntunan syariat. Syariat inilah yang akan mendatangkan rahmat, karena setiap permasalahan kehidupan terpecahkan dengan pemecahan yang berasal dari pembuat syariat, yakni Allah Taala, Zat Pencipta Alam Semesta.

Kekuasaan atau kepemimpinan dalam Islam bukan prestise, apalagi alat mengumpulkan kekayaan. Pertanggungjawabannya berat, bahkan bisa menjadi sesalan berkepanjangan. Alih-alih jadi ajang saling rebutan, mereka yang dipilih oleh rakyat pun justru menerimanya dengan tangisan.

Simaklah perkataan Khalifah Umar bin Khaththab ra., amirulmukminin yang tidak diragukan keadilannya, bahkan sudah dijamin surga. Sering kali Aslam—pembantunya—melihat Umar sedang menangis sesenggukan. Saat ditanya, beliau ra. menjawab, “Sebagai pemimpin, di akhirat nanti aku akan ditanya tentang kepemimpinanku. Bagaimana seandainya masih ada rakyat yang tidak mendapat pembelaan, lalu di akhirat kelak mereka menuntut keadilan di hadapan Allah Swt.?”

Itulah sebab Khalifah Umar ra. bekerja sedemikian keras untuk memastikan rakyatnya terurus dan terjaga. Keadilan ditegakkan, baik di dalam maupun ke luar negara Islam. Tidak heran juga jika dakwah dan fatah (futuhat) selalu sukses luar biasa. Sampai-sampai keagungannya menarik warga nonmuslim di mancanegara untuk sukarela meminta berlindung di bawah kepemimpinannya, termasuk penyerahan gerbang Al-Quds oleh pemimpin Kristen Palestina.

Kondisi ini berlangsung dari masa ke masa sejarah peradaban Islam. Meski ada fase-fase ketidaksempurnaan akibat penyimpangan penerapan syariat Islam, tetapi para sejarawan dan banyak tokoh dunia yang mengakui bahwa sistem Islam merupakan sistem ideal yang tidak ada tandingan.

“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant, The Story of Civilization). [MNews/SNA]

Posting Komentar

0 Komentar