Beredar video viral di media sosial aksi sekelompok mahasiswa yang merusak baliho para calon anggota legislatif (caleg) di Kota Bogor. Sejumlah mahasiswa tersebut berkonvoi menggunakan sepeda motor mengelilingi jalanan di Kota Bogor. Aksi perusakan baliho ini menurut informasi dikarenakan kekecewaan mereka yang menilai Calon Legislatif (Caleg) hanya menebar janji palsu setiap 5 tahun sekali tepatnya menjelang pemilu. (merdeka.com,10/10/2023)
Perusakan baliho para caleg memang sering terjadi, sebagai bentuk protes dan kekecewaan kepada para caleg yang senantiasa menebar janji manis menjelang masa kampanye dan tak nampak realitasnya pada saat mereka menjabat. Kekecewaan mahasiswa yang merupakan bagian dari masyarakat adalah sesuatu yang wajar, sebab mereka telah menaruh harapan besar kepada para caleg untuk membawa perubahan kehidupan masyarakat dan negara ini menjadi lebih baik.
Kekecewaan yang dirasakan oleh mahasiswa seharusnya menjadi langkah awal kesadaran bagi mahasiswa dan masyarakat bahwa perubahan yang kita perlukan bukan hanya bertumpu pada ganti orang semata, melainkan perlu perubahan mendasar, yakni perubahan pada tataran sistem. Sebab sudah terbukti sistem demokrasi, dengan pesta rakyat (pemilu) yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, hingga hari ini tidak memberikan perubahan bagi negeri ini. Bahkan negeri ini senantiasa diselimuti persoalan multi dimensi yang tak kunjung terselesaikan.
Sudah beberapa kali Indonesia melaksanakan pemilu dan sudah beberapa kali berganti pemimpin bahkan berganti rezim, namun kondisi negeri yang disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa ini justru menjadi negara yang memiliki utang yang sangat banyak. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah Indonesia hingga Juli 2023 mencapai Rp 7.855,53 triliun dengan rasio 37,78 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). (infobanknews,com)
Sangat ironis, negeri dengan kekayaan alam yang melimpah ruah justru memiliki utang yang sangat banyak. Kemanakah kekayaan alam ini? Sudah menjadi rahasia umum kekayaan alam negeri ini telah diberikan dengan sukarela untuk dikelola asing dan aseng. Maka wajarlah apabila kekayaan negeri ini hanya dinikmati pihak asing dan aseng. Dan bagaimana dengan para pejabat yang janjinya ingin membawa perubahan, salah satunya menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat?
Sistem demokrasi yang mengagungkan slogan "dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat", nyatanya itu hanyalah lip service belaka. Faktanya, aspirasi bahkan aksi protes yang dikemukakan rakyat tatkala pemerintah menaikkan harga BBM, diabaikan begitu saja. Efek domino yang ditimbulkan akibat kenaikan BBM, rakyatlah yang menjadi korbannya. Kehidupan rakyat semakin sulit dan terus masuk dalam lubang kemiskinan yang berkepanjangan.
Fakta yang nampak di hadapan kita sudah mampu menjelaskan bahwa tidak akan pernah ada perubahan hakiki dalam sistem demokrasi yang lahir dari rahim kapitalisme sekulerisme. Karena sistem ini, hanya menjadikan rakyat sebagai 'sapi perahan' dan pelaksana kebijakan zalim pemerintah dan para pejabatnya. Rakyat hanya dibutuhkan 'suara'-nya saja saat pemilu berlangsung. Para caleg dan capres-cawapres, berbaik hati dengan rakyat seolah-olah sangat peduli dengan persoalan yang tengah dihadapi rakyat, hanya ketika musim kampanye tiba. Politik pencitraan untuk menarik simpati rakyat agar mau mengusung dan memilih mereka. Setelah itu, rakyat dilupakan begitu saja. Berbagai macam cara dan upaya akan dilakukan oleh para caleg untuk mendapatkan kursi kekuasaan dan harta. Mereka menjabat hanya untuk memenuhi ambisi partai dan bukan untuk mengurusi ataupun melayani kebutuhan rakyat.
Maka perubahan hakiki yang dibutuhkan oleh rakyat adalah perubahan yang bersifat menyeluruh dan revolusioner. Yakni merubah sistem kapitalisme dengan sistem Islam yang berlandaskan akidah Islam. Sebab, Islam adalah agama sekaligus ideologi yang memiliki aturan yang lengkap dan sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk dalam bernegara.
Dalam sistem Islam (khilafah) akan terlahir pejabat-pejabat yang menjalankan amanahnya dengan landasan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Para pejabat dalam sistem khilafah sangat memahami kosekuensi jika abai dalam melaksanakan amanah yang mereka emban, sehingga mereka berupaya maksimal untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Merekalah para pemimpin bervisi akhirat.
Tak terbesit sedikit pun dibenak mereka menjadi pejabat di negara khilafah untuk mengumpulkan harta atau memperkaya diri sendiri. Sampai-sampai untuk menggunakan fasilitas negara pun mereka sangat takut, karena pasti akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah. Khalifah Umar bin Khattab, contoh sosok pemimpin yang sangat luar biasa kesederhanaannya yang menolak ketika gaji beliau ingin dinaikkan. Hidupnya dicurahkan hanya untuk memikirkan rakyat dan menyejahterakannya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khalifah kedelapan dari 14 Khalifah yang memimpin Bani Umayyah. Dalam masa jabatannya yang kurang dari tiga tahun, beliau mampu menyejahterakan rakyatnya. Dalam proses pemilihan beliau, justru terungkap sebuah kisah di mana beliau sempat menolak jabatan Khalifah yang disematkan pada diri beliau. Dikisahkan oleh Fahruddin Faiz, pembaiatan Umar bin Abdul Aziz dilakukan pada 719 Masehi/99 H. Saat itu umat Islam berkumpul di masjid menunggu pengumuman siapa Khalifah berikutnya. Begitu diumumkan Khalifah selanjutnya adalah Umar bin Abdul Aziz, semua senang kecuali Umar bin Abdul Aziz sendiri.
Umar bin Abdul Aziz naik ke mimbar lantas berkata, 'Wahai manusia, Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini kepada Allah satu kali pun. Sesungguhnya jabatan ini diberikan tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dan saya tidak pernah memintanya". Kemudian Umar bin Abdul Aziz meminta rakyat untuk memilih Khalifah terbaik versi mereka. Namun, kecakapan dan keadilan Umar bin Abzul Aziz membuat umat Islam yang ada di masjid menolak untuk mencabut baiat. Umar bin Abdul Aziz kemudian duduk dan menangis, "Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku." (tirto.id, 23/04/2021)
Kisah di atas demikian pula kisah-kisah lainnya, menjadi bukti sejarah bahwa dalam naungan khilafah, Islam mampu membawa umat/rakyat pada perubahan hakiki. Tanpa ada janji-janji manis, karena mereka adalah para pemimpin bervisi akhirat. Pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah adalah pertanggungjawaban yang lebih berat daripada di hadapan rakyatnya. Sejatinya sistem kapitalisme merupakan biang kerok lahirnya para pejabat berjanji palsu. Sedangkan sistem Islam justru menjadikan penguasa dan pejabatnya sebagai pelayan bagi rakyat dan senantiasa hadir di tengah-tengah rakyat untuk menjamin apa saja yang mereka butuhkan.
Jelaslah sudah perubahan hakiki hanya bisa diraih dalam naungan khilafah, bukan sistem kapitalisme atau sistem yang lain. Sebab, Islam diturunkan oleh zat pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Zat yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk semua makhluk ciptaan. Tatkala manusia menjadikan aturannya sebagai asas dalam kehidupannya, maka keberkahan, kesejahteraan dan kemakmuran senantiasa akan dirasakan oleh umat manusia di muka bumi ini. Wallahua’lam.
0 Komentar