Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#Telaah Utama- Konflik berdarah Israel-Palestina yang membara sejak 7 Oktober lalu telah benar-benar merenggut ribuan nyawa umat. Dunia muslim termasuk Indonesia maupun negeri-negeri Arab kemudian secara serentak mengutuk, mengecam bahkan terlihat “mengancam” serangan udara dan darat Israel di wilayah Gaza yang merambah pula ke area Tepi Barat. Penguasa-penguasa muslim pun telah angkat bicara dan melontarkan protes keras atas kekejaman Israel, namun sayang tetap pasukan muslim tak ada yang bergerak! Lagi, kecaman tersebut hanya sebatas “gertak sambal” belaka, yang tidak berarti apa-apa bagi tanah Al-Aqsa.
Tujuh puluh lima tahun setelah pendudukan Israel atas tanah Palestina, negeri-negeri muslim umumnya dan dunia Arab khususnya tampak tidak lagi “ngotot” terlibat dalam perjuangan hak-hak Palestina. Meskipun secara garis besar warga Palestina belum kehilangan solidaritas dan simpati umat, namun iklim regional secara khusus telah banyak berubah. Negara-negara Teluk telah mengubah arah aliansi mereka dan tidak lagi menjadikan penderitaan Palestina sebagai prioritas regional.
Seiring dengan meningkatnya pengakuan bangsa-bangsa Arab atas eksitensi formal Israel nyatanya benar-benar telah mengorbankan darah-darah Palestina. Padahal negeri-negeri muslim yang telah melakukan normalisasi diplomatik dengan Tel Aviv, yakni Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan dan Maroko, berdalih bahwa kedekatan mereka dengan Sang Penjajah akan membantu “menahan” agresi militernya terhadap Tepi Barat dan Gaza. Namun nyatanya, alasan-alasan yang dibuat-buat oleh para rezim muslim hanyalah dusta belaka dengan tujuan mencari keuntungan dunia dengan mengorbankan nyawa anak-anak pejuang Al-Aqsa.
Bahkan Mesir yang berbatasan langsung dengan kedua negara yang tengah berkonflik, memperlihatkan dengan jelas keengganannya mengulurkan tangan kepada saudara-saudara Gaza walaupun hanya dengan membuka perbatasan Rafah! Pihak Kairo berdalih bahwa bantuan kemanusiaan yang disalurkan melalui Rafah haruslah mendapat “restu” Israel dan dijamin tidak akan ada serangan udara yang diluncurkan. Mesir pun kemudian menahan bantuan kemanusiaan berupa makanan, pakaian hingga obat-obatan yang hendak masuk ke Rafah, dan pada akhirnya hanya mengizinkan maksimal 20 truk barang (aljazeera.com, 16/10/2023).
Selain menunggu “lampu hijau” Israel yang dimediasi oleh US, pihak Mesir berdalih bahwa mereka tidak menginginkan bantuan yang masuk ke Gaza kemudian diambil alih Hamas. Perseteruan Kairo-Hamas kian meruncing sejak Mesir telah melarang aktivitas Ikhwanul Muslimin (IM) dan mengadili para aktivisnya tanpa persidangan sejak beberapa tahun terakhir. Walhasil, Hamas yang disebut-sebut sebagai “cabang” IM di wilayah Palestina kemudian diposisikan sebagai musuh bagi Kairo. Oleh karenanya kemudian Mesir lebih memilih untuk berjabat tangan dengan tangan Sang Pembunuh, Israel, ketimbang dengan para pejuang di tanah Gaza, Hamas.
Lebanon yang berada di wilayah utara Palestina pun tak bergeming sekalipun wilayah perbatasannya mulai dibombardir pihak Tel Aviv. Serangan Israel tersebut yang diarahkan kepada para pejuang Hizbullah, “dipersilahkan” oleh pihak otoritas Lebanon yang kemudian mengungsikan setidaknya 19.000 jiwa (aljazeera.com, 23/10/2023). Lebanon hingga detik ini seakan tidak mampu berbuat banyak dan memasrahkan wilayahnya dimasuki rudal-rudal milik Tel Aviv.
Kerasnya hati penguasa-penguasa muslim di wilayah regional Teluk menunjukkan betapa bahayanya konsep nation state (negara bangsa) dalam melindungi tanah Palestina. Nasionalisme yang telah mengakar di negeri-negeri muslim telah berhasil mencerai-berai kesatuan umat muslim seluruhnya. Atas nama nasionalisme dan kepentingan tiap-tiap negara, bangsa-bangsa Arab khususnya dan negeri-negeri muslim lainnya pada akhirnya mengenyampingkan persatuan kaum muslimin sebagai satu tubuh. Hal ini tampak jelas dari sikap diam para pemimpin kaum muslim atas kebiadaban Israel. Pada akhirnya tiap-tiap negeri muslim yang ada mengambil sikap yang menguntungkan kepentingan negaranya saja dan memilih menyelamatkan diri mereka masing-masing dari “ancaman” US dan sekutunya.
Celakanya bahkan tidak jarang satu negeri muslim berseteru dan saling menumpahkan darah dengan negeri muslim lainnya. Sebagaimana negeri muslim Kerajaan Saudi yang membentuk koalisi bersama UEA, Mesir, Bahrai, US, Inggris dan Perancis untuk menggempur negeri muslim lainnya, Yaman. Hal serupa pun terjadi di Libya yang menjadi medan tempur antara Turki dan Mesir. Perpecahan dan perselisihan bangsa-bangsa Arab yang sesungguhnya terpusat pada kaum kafir penjajah membuat mereka sibuk mencari “dukungan” dari negara-negara Barat termasuk Israel guna melindungi diri mereka sendiri.
Belum lagi perseteruan Iran dan negeri-negeri muslim Sunni di wilayah Timur Tengah yang terang saja senantiasa menjadikan wilayah Arab bergejolak. Iran yang dianggap sebagai “musuh bersama” oleh bangsa-bangsa Sunni berupaya untuk ditekan pengaruhnya, sekalipun harus bekerja sama dengan Amerika dan negara-negara Barat lainnya. Arab Saudi bahkan disebut-sebut memiliki hubungan militer rahasia dengan pihak Israel dalam upayanya meredam kekuatan Iran. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan oleh Elaph pada November 2017, Letnan Jenderal Gadi Eisenkot mengatakan bahwa Israel siap untuk berbagi informasi intelijen dengan Arab Saudi untuk menghadapi "ancaman" dari Teheran. Bahkan surat kabar Swiss Basler Zeitung menyatakan adanya kerja sama rahasia antara kedua negara dengan tujuan utama mengekang proyek ekspansi Iran dan merusak wilayahnya (merdeka.com, 30/01/2020).
Lucu memang! Penguasa-penguasa muslim saat ini lebih memilih menikam saudaranya sendiri ketimbang menghancurkan musuh laten umat, yakni Israel. Ukhuwah Islamiyah yang semestinya dipelihara dan memperkuat umat, justru tergerus dan tampak hilang tak bersisa dengan ikatan nasionalisme. Yang pada akhirnya ikatan nasionalisme tersebut menjadi biang kerok disintegrasi umat, yang muncul hanya karena batas-batas negara sekalipun mereka memiliki ras dan latar belakang sejarah-budaya yang sama.
Padahal kekuatan militer negeri-negeri muslim lebih dari cukup untuk meluluhlantakkan Israel. Terlihat dari jumlah angkatan militer umat yang jauh berada di atas Tel Aviv. Sebut saja dua wilayah terdekat dengan Palestina, yakni Iran dan Mesir yang memiliki masing-masing 610.000 dan 438.500 pasukan aktif per 2022, jauh lebih banyak jumlahnya ketimbang Israel yang hanya memiliki 169.500 personel. Bahkan Iran memiliki lebih dari 4.000 unit tank, ribuan unit artileri roket dan 541 unit pesawat tempur (sindonews.com, 31/01/2023). Sedangkan sudah menjadi rahasia umum bahwa negeri-negeri Jazirah semisal Arab Saudi dan UEA rutin membeli perlengkapan perang termutakhir kepada US dalam beberapa tahun terakhir.
Namun sayang, potensi militer yang begitu besar di tubuh umat tidak sejalan dengan rasa solidaritas mereka pada bumi Palestina. Tetapi justru digunakan untuk menikam saudara sesama muslim mereka dengan tujuan memperkuat pengaruh masing-masing negara di wilayah Teluk.
Dari sini bisa kita pastikan sikap khianat yang diperlihatkan para pemimpin muslim dengan cara berdiam diri dalam konflik Israel-Palestina dan tidak menggerakkan pasukan, sesungguhnya akan terus membesar sebagaimana sabda Nabi saw, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekali dan penuh liku), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Maka siapakah yang akan membebaskan tanah Palestina jika bukan saudara-saudara seiman mereka? Oleh karenanya konsolidasi umat menjadi harga mati dalam mengambil kembali tanah kaum muslim yang telah direnggut paksa oleh Israel. Dan persatuan umat yang dilandasi oleh ukhuwah Islamiyah tidak akan niscaya dalam rangka kehidupan berbangsa. Karena sesungguhnya nasionalisme lah yang menjadi biang kerok perpecahan umat dan melemahkan kekuatan umat.
Sedangkan ikatan ukhuwah Islamiyah yang shahih hanya akan terjalin di bawah naungan institusi yang satu, yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Karena hanya dengan keberadaan kepemimpinan tunggal umat saja, kemudian pasukan-pasukan muslim digerakkan dalam satu komando dan barisan. Tidak hanya itu, kekuatan politik umat yang satu dalam bingkai Khilafah akan menjadi tombak perjuangan umat melawan para musuh Allah, tidak hanya Israel tetapi negara-negara kafir penjajah yang menunjukkan sikap permusuhannya pada Islam seperti US, Perancis, Inggris ataupun India dan Myanmar.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
0 Komentar