Bersepakat Mengkhianati Palestina (?)

 



#EDITORIAL — Pertemuan puncak gabungan (Joint Summit) KTT Liga Arab dan KTT OKI yang dilaksanakan di Riyadh pada 11-11-2023 lalu akhirnya menghasilkan beberapa kesepakatan (komunike). Kesepakatan bertajuk “Resolusi KTT Luar Biasa Negara Islam-Arab Bersama soal Agresi Israel ke Rakyat Palestina” ini berisi 31 poin “pesan kuat dan keras” yang disampaikan pada dunia untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan yang sudah lebih dari sebulan terjadi di Gaza.

Hanya saja, sekalipun KTT Arab-Islam yang dihadiri 57 pemimpin negara ini disifati “luar biasa” dan diklaim berisi “pesan kuat dan keras” untuk dunia, nyatanya tidak ada satu pun hal yang luar biasa dan atau menampakkan kekuatan riil yang bisa menggentarkan dunia.

Alih-alih bisa memaksa Zionis untuk segera menghentikan kekejamannya atas warga Gaza Palestina, apalagi memaksa Amerika dan sekutunya untuk menghentikan segala dukungannya, yang terjadi adalah pascaresolusi negara Arab-Islam ini, aksi Zionis justru makin brutal dan terus meluas, tidak hanya terjadi di Gaza, tetapi juga di Tepi Barat.

Tong Kosong
Kesimpulan tersebut tampak dari diksi klise yang digunakan pada poin-poin resolusi, seperti kata mengecam, menolak, menuntut, mendukung, dan merekomendasikan. Selain terkesan normatif dan retorik, semua seruan yang diulang-ulang tersebut justru menunjukkan ketidakberdayaan dan kelemahan dunia Arab dan Islam dalam konstelasi politik internasional.

Sebutlah poin tentang tuntutan agar Dewan Keamanan PBB menindak tegas agresor Zionis Yahudi. Bagaimana bisa negara Arab-Islam berharap pada lembaga yang nyata-nyata bertindak sebagai perpanjangan kepentingan Amerika dan sekutunya?

Siapa pun tahu bahwa lembaga ini tidak punya taji di hadapan Zionis Yahudi. Puluhan resolusi yang sudah dikeluarkan tentang Palestina, nyatanya tidak ada satu pun yang mempan. Bahkan, desakan atas resolusi yang memberi sanksi tegas pada Yahudi sering kali mandek karena diveto Amerika. Termasuk resolusi untuk menghentikan agresi Zionis setelah 7 Oktober lalu. Wajar jika Zionis Yahudi merasa makin jemawa dan kejahatannya pun kian merajalela melebihi kasus-kasus sebelumnya!

Ditambah, sikap mayoritas negara-negara Arab dan Islam atas agresi dan operasi militer Zionis terakhir ini memang terbilang sangat lambat. Mereka baru bersuara setelah berminggu-minggu tragedi berlangsung dan korban tidak berdosa terus berguguran di depan mata kepala.

Sudah lebih dari 11.800 warga sipil tewas dan lebih dari 27.000 jiwa luka-luka. Sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan wanita. Sementara itu, jutaan orang lainnya di Gaza, hidup terusir di tengah teror senjata yang membabi buta dan di tengah keterbatasan logistik, termasuk pasokan energi dan sarana prasarana kesehatan.

Wajar jika KTT luar biasa ini terkesan hanya menjadi penggugur kewajiban. Bahkan, tampak para penguasa Arab dan Islam, terutama yang bertetangga dan seiman dengan Palestina, hanya ingin menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal diam. Mengingat reaksi masyarakat dunia, termasuk di dunia Barat, sudah sedemikian kencang memberikan pembelaan pada Gaza dan Palestina. Bukankah tidak elok jika mereka tampak diam?

Menyedihkan memang. Kita lihat semua kecaman terhadap agresor dan dukungan terhadap Palestina justru awalnya datang dari masyarakat, bukan dari para penguasa Arab-Islam. Begitu pun dengan seruan boikot dan penggalangan bantuan kemanusiaan. Semua datang dari rakyat. Sampai-sampai, bantuan militer pun datang dari milisi-milisi bersenjata di bawah kelompok-kelompok underground, bukan dari kekuatan negara yang katanya pro kemerdekaan Palestina dan antipenjajahan.

Sepakat “Berkhianat”?
Di luar itu semua, ada poin penting dari resolusi KTT yang juga perlu dikritisi, yakni amanat para pemimpin Arab-Islam bahwa solusi dua negara (two-state solution) tidak boleh gagal. Nyatanya, solusi ini hakikatnya merupakan solusi sesat menyesatkan. Selain karena berarti mengakui okupasi dan penjajahan entitas Yahudi atau Zionis atas tanah milik sah umat Islam di Palestina, juga berarti menegasikan korban kezaliman Zionis dari zaman ke zaman.

Lebih parah lagi, solusi arahan Inggris dan Amerika ini sangat bertentangan dengan ketetapan syariat Islam. Ini mengingat tanah Palestina adalah tanah wakaf yang dikukuhkan melalui perjanjian Umariyah pada 637 M. Tanah ini dibebaskan oleh pasukan Khilafah dari kekuasaan Bizantium yang dikenal zalim. Lalu Kepala Uskup (Patriach) bernama Sophronius secara langsung menyerahkan kunci gerbang Al-Quds kepada Khalifah Umar sebagai tanda ketundukan.

Sejak saat itu, tanah Palestina pun terus dipertahankan melalui perang demi perang, termasuk Perang Salib yang berlangsung selama 200 tahunan. Hingga di ujung peperangan, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi akhirnya bisa memenangi peperangan. Beliaulah yang berhasil mengembalikan Palestina ke pangkuan umat Islam dan menjaga perjanjian Umar.

Oleh karenanya, ketika para penguasa Arab-Islam menerima konsep two-state solution, sejatinya mereka sedang melakukan pengkhianatan dan pelanggaran perjanjian atas umat Islam. ini karena tidak ada satu pun catatan yang menunjukkan bahwa perjanjian tersebut telah dibatalkan. Bahkan, hingga hari ini, para pendeta Kristen dan rahib Yahudi Ortodoks di Palestina masih memegang teguh perjanjian dan sama-sama menjadi korban pembantaian.

Sungguh, apa yang terjadi hari ini menunjukkan betapa penguasa negara-negara Arab dan Islam tidak memfungsikan dirinya sebagai pelindung dan penjaga. Hal ini wajar karena sebagian penguasa Arab-Islam sudah terbelenggu—baik tangan, kaki, dan mulutnya—oleh kekuasaan yang dukungannya diperoleh dari Amerika.

Para penguasa Arab ini pun seakan mabuk oleh racun nasionalisme yang membutakan mata dan menulikan telinga. Sampai-sampai atas arahan tuannya, yakni Amerika, mereka mampu melakukan hal jahat dan memalukan, yakni menormalisasi hubungan dengan Zionis Yahudi. Artinya, mereka rela berjabatan tangan dengan penjajah alias musuh Islam secara terbuka, padahal tangan-tangan Zionis itu telah lama berlumuran darah saudaranya seiman.

Mereka pun nyata-nyata telah mendukung pembantaian di Gaza dan Palestina, saat mereka tetap membiarkan tanah dan lautnya jadi pangkalan militer Amerika. Dari sanalah bantuan penuh militer dan ekonomi Amerika disalurkan kepada Zionis demi menyukseskan proyek genosida warga Palestina di Gaza. Sedangkan di pihak lain, mereka menutup pintu akses bantuan kepada warga Palestina khususnya Gaza, dengan dalih untuk melindungi negara dan bangsanya dari dampak perang di sana. Benar-benar tega!

Khatimah
Alangkah benar yang disampaikan baginda Rasulullah saw., “Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan.” Seseorang bertanya, “Apakah jumlah kami saat itu sedikit”? Beliau menjawab, “Bahkan jumlah kalian saat itu ada banyak, tetapi kalian seperti buih di lautan. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan sungguh Allah pun akan mencampakkan penyakit wahn ke dalam hati kalian.” Lalu seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu wahn? Beliau menjawab, “Cinta dunia dan benci kematian.” (HR Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud dari Tsauban ra.)

Penyakit inilah yang rupanya sedang menjangkiti para pemimpin dunia Islam, hingga tidak ada satu pun dari mereka yang berani tampil memimpin perlawanan. Mereka pura-pura murka, tetapi tidak ada langkah nyata. Mereka satu sama lain hanya bisa saling mengecam atau berlomba-lomba mencari dalih dan kambing hitam. Misalnya, dalih terikat norma-norma hubungan internasional serta batas-batas kebangsaan yang sejatinya dibuat oleh negara-negara besar semata untuk melemahkan.

Mereka bahkan tega menyerahkan saudaranya untuk dibantai musuh umat Islam semata demi melanggengkan kekuasaan. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak menzaliminya, merendahkannya, menyerahkan (kepada musuh), dan tidak menghinakannya.” (HR Muslim).

Sungguh, yang terjadi di Palestina dan respons pemimpin-pemimpin dunia Islam kian memberi pelajaran bahwa kepemimpinan yang tidak berasaskan akidah Islam hanya akan membuka banyak mudarat, bahkan membuka jalan penjajahan. Mereka lebih takut kehilangan kekuasaan dan dukungan negara besar, daripada serius menghancurkan kezaliman.

Berbeda halnya dengan sistem kepemimpinan Islam (Khilafah) yang tegak di atas ideologi Islam. Khilafah Islam akan menyatukan umat dan seluruh potensi kekuatannya di bawah satu bendera. Pemimpinnya pun akan menjalankan fungsi mengurus dan menjaga. Saat kezaliman menimpa sekelompok umat, Khilafah, rakyat, dan tentaranya akan terdepan menjadi pembela.

Sungguh, Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan kembalinya Khilafah Rasyidah yang kedua. Khilafah inilah yang dijanjikan akan membebaskan Palestina dan mengalahkan Yahudi sehina-hinanya.

Hanya saja, kita semua diminta berjuang menapaki jalan mewujudkannya, yakni dengan mendakwahkan Islam ideologis di tengah umat hingga muncul kesadaran akan kewajiban dan urgensi hidup dalam naungannya. [MNews/SNA]

Posting Komentar

0 Komentar