Generasi Cemerlang Adalah Generasi Moderasi, Benarkah?

 



Indonesia tengah mengalami bonus demografi, di mana penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia. Akibatnya, porsi terbesar bonus demografi adalah gen Z dan gen Alpha dengan karakter multicultural, multirasial, fleksibel, dan adaptif. Karakter ini menjadi sasaran empuk berbagai ide baru, salah satunya ide moderasi. Ide ini pun diaruskan Pemerintah di berbagai sektor, bahkan dimasukkan dalam kurikulum PAUD dan TK yang berada di bawah Kementerian agama, dengan pertimbangan bahwa usia dini merupakan masa-masa keemasan dalam perkembangan pemikiran seorang manusia. Indikator keberhasilan program moderasi ini adalah komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan ramah terhadap budaya. Pada hakikatnya, ide moderasi ini adalah sekularisasi Islam. Kenapa demikian? Moderasi beragama mengajarkan anak-anak mengambil ajaran Islam hanya sebagian kecil saja seperti dalam hal ibadah dan akhlak, dan diajarkan tidak menggunakan Islam dalam hal yang dianggap akan memunculkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat seperti di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dll. Akibatnya, alih-alih moderasi beragama akan menghasilkan generasi cemerlang yang memiliki kepribadian Islam, malah menghasilkan generasi sekuler yang semakin membuat kehidupan mereka terpuruk. Guna membahas pandangan Islam terkait persoalan ini, Forum Tokoh Muslimah Tangsel Peduli Generasi mengadakan diskusi bertajuk Generasi Cemerlang Adalah Generasi Moderasi, Benarkah? Acara pada Sabtu (11/11/2023) ini menghadirkan Nyayu Rogayah, S.Ag., Penyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Kota Tangerang Selatan dan Reni Tri Yuli Setiawati, S.Si., Jurnalis dan Pemerhati Pendidikan.

Pada sharing session, Nyayu membenarkan bahwa Pemerintah menggaungkan moderasi beragama di semua sektor. “Pada bulan Juli lalu, Pemerintah Kota Tangerang Selatan meresmikan Kampung Moderasi di Pondok Cabe Udik. Harapannya ini menjadi role model implementasi moderasi di tengah masyarakat”, ungkapnya. Lebih jauh Nyayu menjelaskan, sebenarnya kondisi sosial di masyarakat baik-baik saja. Meski hidup berdampingan antar umat beragama, tidak ada gesekan yang cukup berarti. Transaksi jual-beli berjalan, pendidikan tetap diberlangsungkan. Lantas, kenapa perlu ada pengarusan moderasi? Atas dasar apa hal ini penting untuk diterapkan?

Reni selaku narasumber acara menjelaskan seluk-beluk moderasi mulai dari definisi, sejarah, bedah ayat Al-Qur’an, hingga praktik moderasi. “Istilah moderasi beragama ditemukan di dalam buku Building Moderate Muslim Network karangan Angel Rabasa, dkk yang diterbitkan oleh lembaga think tank Amerika RAND Corporation. Mereka membagi umat Islam menjadi empat kelompok: tradisonal, liberal, radikal, dan moderat,” jelas Reni. Moderasi berawal dari lahirnya sekularisme sebagai reaksi ketidakpuasan masyarakat Eropa terhadap sikap kaum gereja sekitar abad pertengahan; karena kaum gereja ingin berkuasa secara mutlak dalam segala permasalahan. Ajaran Injil diidentikan dengan Paus, sementara orang lain tidak berhak menafsirkan. Paus dianggap mewakili kerajaan Tuhan di bumi ini sehingga segala perintah dan keputusannya harus ditaati, tidak boleh dikritik karena pendapatnya “maksum” dan juga berhak mengangkat dan memberhentikan raja. Kegiatan ilmu pengetahuan pun berada dibawah pengawasan mereka. Timbullah ide jalan tengah (moderate), yaitu munculnya dua kekuasaan: kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik. Lantas disepakati bahwa kekuasaan spiritual (para gerejawan) diberi hak otonom dalam hal kekuasaan spiritual dan tidak boleh mencampuri kekuasaan politik. Inilah titik pemisahan agama dan kehidupan yang merupakan asas dari ideologi sekulerisme. Turunan dari ide ini antara lain kapitalisme (ekonomi), demokrasi (politik), liberalisme, feminisme, HAM, dan moderasi beragama.

Lantas, apakah sama antara Islam wasathiyah dengan moderasi beragama? Reni menyatakan, “Dilihat dari makna Islam wasathiyah menurut ulama warasatul anbiya’ dan menurut akar sejarah moderasi beragama, maka disimpulkan bahwa keduanya tidak sama dan tidak akan pernah sama dari sudut pandang apa pun”. Islam Wasathiyah berasal dari Islam, sedangkan moderasi agama terlahir dari sekulerisme. 

Terakhir, Reni menekankan bahaya moderasi yang akan melemahkan generasi Muslim. Sekali pun mendapat bonus demografi, tetapi jika generasinya tidak berkarakter kuat, maka tidak akan menjadi pemimpin yang sejati. Generasi muda tidak akan memiliki resiliensi tinggi. Jangankan menjadi problem solver, justru menjadi troublemaker. Jangankan menjadi generasi yang ber-izzah, justru hanya menjadi generasi imma’ah (pembebek, latah). “Moderasi beragama mempertaruhkan keimanan kita. Tolak dan selalu waspada dengan nilai-nilai yang dibawa asing dan Barat, itulah yang harus kita lakukan. Jika kita jauh dari Islam, maka kebangkitan Islam tidak akan diraih. Ingat, penghancuran Islam dilakukan secara terstruktur, sistemis, dan massif,” pesan Reni. Reni pun mengajak untuk terus mengaji dan mengkaji Islam kaffah, berjemaah dan berdakwah, serta berdoa dan beramal saleh. (Noor Hidayah)


Posting Komentar

0 Komentar