Sebentar lagi akan dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 yakni pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor. Guna mengoptimalkan hal tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menuangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pembentukan Dana Cadangan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor Tahun 2024. Rancangan ini diajukan oleh Pemkot Bogor senilai Rp71,3 miliar, dan telah disetujui oleh DPRD Kota Bogor. (kotabogor.go.id, 1/11/2023)
Biaya yang fantastis harus digelontorkan demi menghadirkan seorang kepala daerah di sistem demokrasi. Hal ini tentunya menjadi suatu kepantasan jika pesta demokrasi selalu identik dengan menghamburkan uang demi memilih seorang pemimpin. Namun miris, di sisi lain masyarakat saat ini dilanda kemiskinan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat secara sempurna.
Penggelontoran dana sebesar Rp71,3 miliar tersebut belum termasuk dana yang dikeluarkan oleh para calon kepala daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai biaya politik yang harus dikeluarkan oleh calon bupati atau wali kota, yang mencapai angka mencengangkan, yakni sekitar Rp30 miliar. Temuan ini mengundang perhatian luas dari masyarakat terkait transparansi dan integritas dalam proses demokrasi serta berpotensi mendorong praktik-praktik korupsi.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, angka biaya politik yang mencapai Rp30 miliar ini jauh melampaui gaji yang akan diterima oleh kepala daerah terpilih selama lima tahun masa jabatan. “Bahkan, untuk level yang lebih tinggi, seperti posisi gubernur, biaya politik bisa mencapai angka mencolok, yaitu sekitar Rp100 miliar. Di tingkat nasional, biaya politik untuk pemilihan presiden bahkan lebih besar hingga triliunan rupiah,” ungkapnya. (muslimahnews.net, 13/09/2023)
Penyelenggaraan pesta pemilu yang menghabiskan dana miliaran hingga triliunan rupiah tentu menimbulkan banyak masalah. Angka fantastis ini tentu sulit bahkan mustahil bisa terpenuhi oleh kontestan secara mandiri. Dari sinilah kemudian terbentuk hubungan mutualisme antara kontestan dengan penopang dana, yakni para pengusaha. Inilah cikal bakal terbentuknya oligarki. Bukan hanya oligarki yang kian menguat, bahkan besarnya mahar yang harus dikeluarkan oleh para kontestan juga berdampak pada kian maraknya kasus korupsi. Para koruptor tidak lain justru dari kalangan pejabat pusat hingga kepala daerah. Praktik korupsi ini menjadi dampak nyata mahalnya pemilu demokrasi. (muslimahnews.net, 15/04/2022)
Sejatinya jika saja pemilihan kepala daerah dapat terselenggara dengan sempurna tanpa anggaran yang besar, tentu hal inilah yang diharapkan oleh rakyat. Namun hal tersebut memang sulit dan nyaris tidak mungkin terjadi dalam sistem demokrasi. Dan sayangnya setiap kali pemilihan kepala daerah terjadi, tidak lah membawa perubahan hakiki pada masyarakat. Bahkan tak jarang justru menghadirkan kepala daerah yang korupsi dan tak mengayomi rakyatnya.
Mengapa hal ini terjadi? Kembali pada sistem yang berlaku. Sistem buatan manusia yang memiliki keterbatasan serta tak sesuai fitrah manusia. Ketika manusia diberikan wewenang dalam membuat hukum, maka yang terjadi adalah bagaimana memenuhi kepuasan untuk dirinya ataupun golongannya. Tanpa peduli pada rakyat yang telah memilihnya. Hal ini karena tidak dijadikannya Islam sebagai akidah dalam hidupnya. Alhasil standar perbuatan bukan lagi halal haram menurut syariat Islam, tetapi kemanfaatan bagi dirinya maupun golongannya.
Hal ini berbeda dengan apa yang telah disabdakan oleh baginda Rasulullah Saw. tentang beratnya suatu amanah apalagi jabatan untuk mengurus urusan umat. Dari Abdurahman bin Samurah berkata, Rasulullah Saw. bersabda kepadaku, "Wahai Abdurahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan, tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun, jika kamu diangkat tanpa permintaan, kamu akan diberi pertolongan." (HR Muslim).
Begitu berat tanggung jawab seorang pemimpin dalam Islam, maka pengangkatannya tidak akan membebankan umat dengan mengeluarkan biaya yang besar serta mengorbankan kepentingan rakyat. Seorang pemimpin dalam Islam semisal kepala daerah akan ditunjuk dan diangkat langsung oleh khalifah, dimana seorang khalifah mengetahui secara detail kapabilitas seseorang yang akan diangkat menjadi pengurus suatu daerah atau wilayah tertentu. Setiap orang yang diberikan amanah dalam sistem khilafah, ia mengetahui tujuan serta tanggung jawab yang dipikulnya, bukan saja di dunia namun di akhirat kelak ia akan mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah Swt.
Ustadz Ismail Yusanto (UIY) dalam sebuah wawancara mengungkapkan perbandingan antara sistem demokrasi sekuler dengan sistem politik Islam. “Dalam sistem politik Islam, khususnya dalam pemilihan Khalifah mungkin saja butuh dana besar, tetapi kebutuhan dana besar itu tidak akan terjadi pada pemilihan wali (setara gubernur) dan amil (setara bupati/wali kota) karena dipilih langsung oleh Khalifah,” jelasnya. . (muslimahnews.net, 13/09/2023)
UIY memaparkan, meski pemilihan Khalifah bisa jadi membutuhkan dana besar, kemudian ada orang yang mau membiayai lalu dapat kompensasi, tetapi ada tiga barier (penghalang) yang membuatnya tidak mungkin melakukan apa yang dilakukan dalam sistem demokrasi. Tiga barier (penghalang) itu adalah: pertama, ia tidak mungkin menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. “Sementara saat ini salah satu yang diperdagangkan adalah apa yang tidak boleh menjadi boleh. Misalkan, kebijakan dan regulasi itu sekarang bisa diperdagangkan,” jelas UIY. Kedua, ada pengawasan dari masyarakat, dan pengawasan ini melekat di dalam agama. “Artinya, tidak mungkin muncul kasus sebagaimana yang mencuat ini hari bahwa pengawasan dianggap sebagai radikal karena amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban seorang muslim. Pengawasan ini, akan membuat orang yang memperdagangkan kewenangan, lalu menghalalkan yang haram, akan mudah dikoreksi oleh masyarakat. Ketiga, takwa. Takwa akan mencegah seseorang berbuat curang atau menjual kewenangannya untuk sekadar jabatan atau sekeping uang. Apalagi, dalam Islam ada larangan suap, baik yang menyuap atau yang disuap itu tempatnya dii neraka.
Alhasil dalam sistem Islam tidak akan ada dana sia-sia demi sesuatu yang tak bisa dipertanggungjawabkan keberpihakannya pada urusan rakyat. Dana yang ada tetap difokuskan untuk kesejahteraan rakyatnya. Begitu mudahnya mengangkat seorang pejabat dalam sistem khilafah andai negeri ini mau menerapkan dan menegakkannya. Wallahu a'lam.
Oleh: Titin Kartini
0 Komentar