Mencegah Disfungsi Negara dalam Perlindungan Anak




Oleh Mitri Chan

Saat ini anak-anak hidup di tengah-tengah kondisi yang jauh dari kata ideal bagi tumbuh kembang fisik dan mentalnya. Berbagai data memotret kelamnya nasib anak-anak menjadi korban kekerasan yang dilakukan orang-orang terdekatnya, seperti orang tua, guru, dan teman-temannya. Inilah yang mendorong para guru dan pejabat Yayasan Ummul Quro Bogor melakukan audiensi tentang maraknya kasus kekerasan di dunia pendidikan Kabupaten Bogor kepada Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bogor KH. Agus Salim, Rabu (25/10/23).

Yayasan Ummul Quro Bogor menyampaikan beberapa rekomendasi agar Pemkab Bogor membuat regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan di dunia pendidikan dengan berbasis agama. Melalui program keagamaan dengan melibatkan organisasi perangkat daerah sehingga dapat meningkatkan mental anak sekaligus keluarganya.

Perhatian masyarakat dan beberapa lembaga pemerhati yang peduli nasib anak-anak sebetulnya tak kurang. Mereka berusaha memberikan perlindungan terhadap anak agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Namun, perhatian masyarakat  maupun kompetensi dari lembaga menemukan berbagai kendala. Mereka berharap kehadiran pemerintah lebih maksimal terkait penanganan hal-hal tersebut.

Agus Salim mengaku sudah menyampaikan program dan penambahan anggaran terkait perlindungan anak di Rapat Anggaran (Banggar). Dari sisi regulasi, Pemkab Bogor masih berharap pada Raperda Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren yang sedang digodok, sebab Kabupaten Bogor belum punya Perda Ketahanan Keluarga. Perda tersebut memang akan menjalankan segala tugas, fungsi dan program-programnya dari APBD 2024.

Masalah dana ini sensitif karena terkait pengaduan masyarakat atau lembaga tentang perlindungan anak akan ditanggapi maksimal atau hanya bersifat reaktif. Jangan sampai kinerjanya menjadi kurang efektif karena kekurangan dana atau bergerak jika ada dana. Dengan demikian, sangat disayangkan jika pemerintah dan lembaga bentukannya belum mampu menjadi tumpuan harapan hidup lebih baik bagi anak-anak Indonesia. Padahal, anak-anak yang terkungkung dalam masalah kekerasan ini, akan menjadi bom waktu yang siap meledak jika tidak segera dituntaskan.

Dalam persoalan kekerasan di dunia pendidikan ada hak-hak anak yang wajib dipenuhi oleh setiap pihak yang bertanggung jawab, yakni orang tua, masyarakat dan negara. Sayangnya, sistem saat ini semakin menumbuhsuburkan kondisi masyarakat yang sakit, seperti kekerasan anak akibat disfungsi keluarga di Indonesia. Disfungsi keluarga terjadi karena disfungsi negara dalam mengatur urusan rakyat. Fungsi keluarga tidak hanya melahirkan generasi tetapi juga melindungi, memenuhi kebutuhan anak, mendidik, dan kasih sayang. Jika banyak keluarga yang tidak mampu menjalankan fungsinya, artinya fungsi negara dalam mengurusi ketahanan keluarga rakyatnya sedang tidak beres. Ini terjadi di sistem kapitalistik liberal yang menempatkan penguasa sebagai pihak yang lepas tangan dari tanggung jawab melindungi rakyatnya.

Masalah kekerasan anak ini bisa diselesaikan jika mengembalikan fungsi keluarga yang sesungguhnya, yaitu penanaman aqidah dan syariah yang akan berdampak pada kepribadian islami dan tercipta lingkungan di sekitar rumah yang kondusif. Pendidikan agama adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Artinya, negara bertanggung jawab dalam penanaman syariah kepada rakyat. Oleh karena itu, bernegara harus berdasarkan syariah agar terlaksana kehidupan keluarga dan masyarakat yang dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini hanya terwujud jika negara mencampakkan sistem kapitalistik liberal dan mengambil Islam Kaffah dalam naungan Khilafah.


Posting Komentar

0 Komentar