Mpox dan Kaum Pelangi yang “Lengket Kayak Perangko”

 


Oleh Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany) 


#Telaah Utama- Baru-baru ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan temuan 18 kasus cacar monyet atau Monkeypox (Mpox) di Jakarta. Di mana dari 18 kasus yang teridentifikasi, 12 pasien di antaranya mengidap HIV. Selain mengidap HIV, pasien cacar monyet melaporkan gejala lainnya, seperti sifilis dan hipertensi. Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mengungkapkan lebih lanjut bahwa 18 orang yang positif Mpox tertular melalui kontak seksual sejenis, dan seluruh kasus positif adalah laki-laki usia 25-35 tahun (detik.com, 26/10/2023). Artinya, kasus positif Mpox di Indonesia sejauh ini merupakan kaum Nabi Luth yang melakukan aktivitas seksual sesama jenis. 


Sejak wabah cacar monyet global muncul di Eropa tahun lalu, sebagian besar kasus ditemukan pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), dan khususnya mereka yang memiliki banyak pasangan dan seringkali tidak diketahui identitasnya – yang bertemu di tempat-tempat seperti sauna, bar, kapal pesiar, klub seks, atau melalui aplikasi kencan dan pesta seks. Dengan semakin meningkat tajamnya “pamor” kaum pelangi, penyakit seksual Mpox pun kian naik daun. Bahkan per Juli 2022 lalu, tercatat sekitar 17.000 kasus di seluruh dunia yang pada akhirnya mendorong World Health Organization (WHO) melabeli penyakit ini dengan tingkat kewaspadaan tertinggi (lemonde.fr, 26/07/2022). 


The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat bahkan memperkirakan sekitar 1.7 juta laki-laki yang berhubungan seks secara aktif dengan sesama jenis, menghadapi ancaman paling besar untuk Mpox. Direktur CDC Rochelle Walensky bahkan pernah menyebutkan bahwa laki-laki penyuka sesama jenis dan biseksual yang mengidap HIV positif atau yang menggunakan obat-obatan, yang disebut PREP, untuk mengurangi kemungkinan tertular HIV justru menghadapi resiko kesehatan terbesar akibat cacar monyet (cnbc.com, 04/08/2022).  


Kondisi inilah yang kemudian mempercepat proses penyaluran Mpox ke berbagai negara dalam jumlah yang fantastis. Di negeri Paman Sam sendiri vaksin Mpox telah tersebar hingga 1.1 juta vaksin dua dosis Jynneos per Agustus 2022 lalu. Walensky bahkan mengakui permintaan vaksin Mpox telah melebihi pasokan sehingga menyebabkan antrean panjang di berbagai klinik di banyak kota, terutama klinik-klinik yang melayani komunitas pelangi. Sedangkan Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah melakukan vaksinasi Mpox terhadap 383 orang dari kelompok berisiko per Senin 30 Oktober 2023. Sebanyak 1.000 dosis vaksin tersebut telah dialokasikan untuk 500 orang sejak kasus aktif cacar monyet terdeteksi mewabah kembali di Jakarta di bulan ini (tempo.co, 31/10/2023). 


Memang benar bahwa Mpox dapat ditularkan melalui kontak fisik dengan penderitanya atau bahan yang terkontaminasi seperti sprei dan handuk, tidak harus dengan kontak seksual semata. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa hingga kini, CDC sendiri mengklaim bahwa 98% pasien Mpox yang terdata diidentifikasi sebagai laki-laki yang berhubungan seks sesama jenis (cnbc.com, 04/08/2022). Sehingga dapat kita katakan bahwa wabah Mpox berpusat di kalangan kaum Nabi Luth, dan sangat mungkin untuk merambah ke kelompok masyarakat lainnya. 


Hal yang serupa sebetulnya pernah terjadi pada tahun 1980-an ketika wabah HIV/AIDS pertama kali booming dan mayoritas diidap oleh kaum s0d0m. Penyakit mematikan tersebut kemudian kian menggila penyebarannya di kalangan kaum pelangi, hingga akhirnya meluas ke area prostitusi. Hingga saat ini bagaimana HIV/AIDS bisa ditemukan, bahkan di antara pasangan hetero ataupun pada anak-anak para pengidap HIV/AIDS. 


Sepanjang sejarahnya kaum Nabi Luth memang menjadi pelaku kunci dalam penyebaran berbagai Penyakit Menular Seksual (PMS). Pada tahun 2014, kaum s0d0m, biseksual, dan laki-laki lain yang berhubungan seks dengan laki-laki menyumbang 83% kasus sifilis primer dan sekunder yang diketahui jenis kelamin pasangannya di Amerika Serikat. Mereka yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki sering kali tertular penyakit menular seksual lainnya, termasuk infeksi klamidia dan gonore. HPV (Human papillomavirus), penyakit menular seksual yang paling umum di Amerika Serikat, juga menjadi perhatian bagi kaum pelangi, khususnya laki-laki (cdc.gov, 16/09/2022).  


Beberapa jenis HPV dapat menyebabkan kutil kelamin dan dubur, dan beberapa jenis lainnya dapat menyebabkan berkembangnya kanker dubur dan mulut. Laki-laki yang berhubungan seks sesama jenis disebutkan 17 kali lebih mungkin terkena kanker dubur dibandingkan laki-laki heteroseksual. Laki-laki yang mengidap HIV positif lebih besar kemungkinannya terkena kanker dubur dibandingkan mereka yang tidak mengidap HIV. 


Namun lucunya, bukan memutus rantai penularan berbagai PMS semisal HIV/AIDS ataupun HPV dengan memberantas propaganda L987Q+, lembaga selevel PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) justru menganggap kacaunya pengendalian PMS adalah karena kaum pelangi mengalami hambatan dalam mengakses layanan kesehatan yang aman dan berkualitas, dan akan menghambat upaya pencegahan. Atas alasan tersebut, PBB yang didukung oleh negara-negara Barat membuka lebar-lebar pintu akses fasilitas kesehatan bagi kaum s0d0m dan “menormalisasi” keberadaan mereka dengan bantuan awak media. 


Ketua WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus kemudian memberikan solusi bagi kaum pelangi dengan meminta mereka untuk membatasi jumlah pasangan seksualnya untuk menurunkan resiko infeksi dan mengurangi penyebaran PMS khususnya Mpox (cnbc.com, 27/07/2022). Bahkan banyak pakar kesehatan Barat yang menyerukan lembaga-lembaga kesehatan semacam CDC untuk mendukung pemberian resep pil antibiotik pencegahan kepada pria penyuka sesama jenis, biseksual, dan wanita transgender yang berisiko tinggi terkena PMS. Padahal penggunaan antibiotik secara berlebihan akan memicu krisis global berupa infeksi yang resistan terhadap antibiotik dan merugikan mikrobioma manusia (nbcnews.com, 20/02/2023). 


Dengan demikian terlihat jelas bahwa Barat tidak berniat sedikit pun memutus rantai penyebaran perilaku L987Q+, tetapi hanya melakukan aksi “gali lubang tutup lubang” dalam keterkaitan kaum pelangi dengan PMS secara umum dan Mpox khususnya. Yang celakanya, kebodohan yang sama dilakukan pula oleh Indonesia, yang notabene adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. 


Celakanya lagi Indonesia bahkan dikatakan sebagai negara terbesar kelima penyumbang L987Q+ setelah China, India, Eropa, dan Amerika. Indonesia disebut-sebut memiliki setidaknya populasi 3% kaum pelangi dunia. Dengan kata lain, dari 250 juta penduduk Indonesia terdapat sekitar 7,5 juta kaum pelangi (Hasnah dan Sattu Alang, Jurnal Kesehatan Vol. 12 No. 1/2019). Data yang dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP) 2014 bahkan menyebutkan bahwa pada 2013 saja sudah ada dua jaringan nasional organisasi L987Q+ dan 119 organisasi masyarakat di 28 dari 34 provinsi Indonesia.  


Dengan angka pertumbuhan yang fantastis dalam perkembangan kaum pelangi di tanah air, nyatanya tidak kemudian menggerakkan hati para penguasa negeri ini untuk menindak tegas perilaku laknat tersebut. Dalam KUHP terbaru bahkan perilaku kaum s0d0m sama sekali tidak mendapatkan porsi dan dianggap angin lalu. Dari sini tampak jelas bahwa rezim memandang remeh perkara meluasnya perilaku merusak dan menjijikan kaum L987Q+. 


Padahal telah jelas bagaimana perilaku kaum Nabi Luth tersebut tidak hanya melanggar hukum Allah, menyalahi fitrah manusia, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup manusia! Pembiaran atas perilaku laknat tersebut hanya akan mengundang azab Allah Swt. dan menghancurkan kehidupan umat. Bahkan perilaku tersebut benar-benar meniscayakan kepunahan umat manusia! Di mana telah jelaslah azab dunia yang diperlihatkan oleh Allah Swt. dengan bergelimpangannya PMS bahkan yang mematikan semisal HIV/AIDS ataupun Mpox yang kini tengah mewabah.  


Sedangkan satu-satunya jalan terbaik dan termudah memutus rantai penyebaran PMS tidak lain adalah dengan menindak tegas para pelaku hubungan seksual sesama jenis. Yang kemudian hal tersebut tidak hanya menutup kemungkinan semakin meluasnya berbagai penyakit seksual, tetapi juga menyelamatkan umat manusia dari krisis demografi dan kepunahan. Karena jika kaum pelangi dibiarkan terus-menerus berkeliaran di tengah-tengah masyarakat seperti ini, pastilah masa depan peradaban umat manusia akan terus terancam! 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar