Penjajahan Israel atas Palestina, Bisakah Berharap pada PBB?

 


Oleh Hanin Syahidah 


Tepat satu bulan, Gaza, Palestina masih terus dihujani bom. Bahkan menurut Husein Gaza, tentara Israel telah menjatuhkan 30.000 ton bom di Jalur Gaza sejak 7 Oktober. Bom-bom itu dua kali lipat lebih berat dibanding dengan bom Hiroshima yang fenomenal itu. Banyak pihak yang menyebut apa yang terjadi di Palestina adalah genosida.


Dilansir dari CNBCIndonesia.com, 7/11/2023, Kementerian Kesehatan Gaza menyebut hanya dalam waktu kurang dari sebulan, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 10.000 orang di Gaza dan melukai lebih dari 25.000 lainnya. Data menyebut setidaknya 10.022 orang warga Gaza telah terbunuh, termasuk 4.104 anak-anak dan 2.641 wanita. Sebanyak 164 warga Palestina telah terbunuh di Tepi Barat yang diduduki sejak 7 Oktober, termasuk empat tahanan yang meninggal dalam tahanan Israel dan lebih dari 2.200 orang telah ditahan.


Selain itu, sebanyak 89 orang yang bekerja di badan pengungsi Palestina PBB (UNRWA) termasuk di antara korban tewas. UNRWA mengatakan lima rekannya telah terbunuh dalam 24 jam terakhir saja. Sementara dua lagi jurnalis Palestina menjadi korban pada Selasa, sehingga jumlah total jurnalis yang terbunuh sejak 7 Oktober menjadi 49 orang.


Di saat bersamaan, dilaporkan sejumlah negara juga mulai menarik diplomat mereka.

Badan kesehatan PBB mengatakan bahwa beberapa dokter di Gaza melakukan operasi, termasuk amputasi, tanpa obat bius atau anestesi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengatakan lebih dari 16 petugas kesehatan "tewas saat bertugas saat merawat mereka yang terluka dan sakit".


Juru bicara PRCS mengatakan bahwa Gaza "dibiarkan sendirian" dalam menghadapi krisis kemanusiaan, di mana 16 dari 35 rumah sakit tidak berfungsi dan lebih banyak lagi yang kehabisan bahan bakar. Bahkan Serangan udara Zionis juga menargetkan panel surya yang digunakan oleh rumah sakit dan warga sipil di Jalur Gaza, menurut laporan koresponden Al Jazeera. Setelah serangan tanggal 7 Oktober, Israel menempatkan Gaza di bawah "pengepungan total", menghalangi masuknya makanan, air, listrik dan bahan bakar. Mereka juga telah memutus saluran internet dan komunikasi sebanyak tiga kali dalam beberapa hari terakhir karena mereka terus melakukan serangan darat.


Meskipun truk bantuan yang membawa makanan dan pasokan medis telah diizinkan memasuki Gaza, Israel telah melarang bahan bakar dibawa ke Jalur Gaza. Sehingga sejumlah rumah sakit dan pusat kesehatan tidak dapat beroperasi. Begitulah fakta memilukan yang dialami rakyat Palestina sampai saat ini. Pemerintah di negeri-negeri Islam seolah tutup mata, kalaupun bereaksi hanya berhenti pada kecaman semata. Bahkan mereka dan seluruh dunia menyerahkan semua kepada PBB. Padahal PBB pun tidak bisa berbuat apa-apa, selain hanya kecaman dan kutukan semata.


Dinyatakan dalam Republika.co.id, 7/11/2023,

Badan PBB yang dapat menghentikan pertempuran di Gaza adalah Dewan Keamanan (DK) lewat resolusinya yang mengikat secara hukum (legally binding). Badan beranggotakan 15 negara -lima di antaranya anggota tetap dengan hak veto- telah beberapa kali bersidang untuk membahas situasi Palestina sehubungan dengan kian memburuknya kondisi di Gaza. Empat rancangan resolusi jeda kemanusiaan juga sudah diajukan, tapi gagal diadopsi akibat devito. Bolak-balik sidang tetap deadlock dan kalau ada satu keputusan tidak mengikat, terlebih AS yang memiliki hak veto menolaknya resolusinya.


Ternyata 193 negara yang ada di PBB tetap tidak mampu berbuat apa-apa. Padahal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dibentuk setelah Perang Dunia II dengan misi mewujudkan perdamaian serta upaya resolusi konflik dengan negosiasi. Sehingga meminimalisasi dan mencegah terjadinya perang yang mengerikan dan menimbulkan kerugian besar seperti pada Perang Westphalia, Perang Dunia I dan II di masa mendatang (https://etheses.uinsgd.ac.id).


Namun tujuan hanya sekadar tujuan. Ketika melibatkan negara super power dunia, PBB juga tidak mampu berbuat apa-apa. Terlebih Palestina memang bukan negara anggota PBB, karena posisi negara Palestina juga tidak diakui dunia (stateless), Palestina hanya menjadi pengamat di PBB (wikipedia.org). Sehingga Palestina tidak punya hak suara.


Lahirnya PBB juga dibentuk AS dan negara sekutunya setelah kemenangannya pada perang dunia II, yang sebelumnya meneruskan pendahulunya yakni Inggris yang membentuk LBB pasca perang dunia I. Namun dibubarkan karena dianggap tidak bisa mencegah Perang Dunia II. Saat itu, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, menjadi orang pertama yang mencetuskan nama ‘Perserikatan Bangsa-Bangsa’ atau PBB. Gagasan ini pertama kali muncul pada 1 Januari 1942 dalam sebuah deklarasi yang bernama Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tepat pada 24 Oktober 1945 dengan dipelopori oleh Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Inggris, dan Cina. Organisasi ini merupakan hasil dari banyaknya pembicaraan yang dilakukan oleh negara-negara di dunia melalui konferensi, seperti Konferensi Washington, Konferensi Moscow, Piagam Atlantik, dan lainnya (dunia.tempo.co, 13/1/2023).


Jadi jelas PBB dibentuk oleh siapa dan untuk siapa, tetap sebagai upaya mengamankan kepentingan barat dan sekutunya di dunia. Tidak ada netralitas di dalamnya. Terbukti berbagai sidang dilakukan DK PBB tapi di veto oleh AS sebagai sekutu aktif dan pembela Israel sang penjajah dan pencaplok tanah Palestina. Sehingga secara langsung AS membiarkan pembantaian ini akan terus berlangsung.


Bagaimana tidak, sampai detik ini bantuan senjata AS dan Inggris tetap dikirim untuk Israel. Pejuang Palestina berjuang sendiri mempertahankan tanah airnya. Kalaupun ada yang bersedia membantu hanya ucapan yang tidak terbukti, atau hanya kelompok-kelompok/milisi yang jelas tidak sebanding dengan kekuatan AS yang membackup Israel saat ini. Sehingga sampai saat ini Israel sangat pede dengan upaya penghancuran besar-besaran yang dilakukannya di Gaza dan Palestina secara keseluruhan.


Bahkan banyak kejahatan perang yang telah dilakukan tidak lantas membuatnya mengurangi intensitas serangan. Alih-alih gencatan senjata, Zionis malah semakin membabi buta karena dunia hanya mengecam tidak ada tindakan lebih untuk menghentikannya. Maka, berharap kepada PBB untuk kemenangan perjuangan Palestina jelas tidak akan pernah terjadi.


Palestina hanya akan terus menjadi pihak yang lemah. Perlu kekuatan yang sebanding dengan AS yakni satu negara yang berideologi. Karena AS jelas membackup Israel dan sekutu aktif untuk terus mempertahankan entitas Zionis Yahudi ini bertahan di wilayah Palestina. Negara yang berideologi lurus, sebagaimana dulu ribuan tahun telah menyejahterakan Palestina sejak Masa Khalifah Umar Bin Khattab menaklukkannya.


Palestina menjadi wilayah yang makmur dan sejahtera di bawah naungan Kekhilafahan Islam sampai Masa Sultan Abdul Hamid II, Kekhilafahan Turki Utsmani. Pasca Khilafah Utsmaniyah runtuh dan dihapuskan tahun 1924, perisai Umat Islam termasuk Palestina ini tiada. Tidak ada tempat umat Islam meminta perlindungan. Karena pasca Khilafah runtuh wilayah Kekhilafahan dikerat-kerat menjadi banyak negara dalam bentuk negara-bangsa dengan sekat nasionalisme.


Saat itu, pasca kekalahan Khilafah Utsmaniyah di Perang Dunia I oleh Inggris dan Prancis dibuatlah perjanjian Sykes-Picot untuk memecah belah persatuan umat Islam yang akhirnya mereka pun sibuk dengan negeri-negerinya masing-masing. Negeri-negeri Islam identik dengan negeri yang miskin, penuh konflik dan terbelakang. Dengan Jumlah 50 negara lebih saat ini, umat Islam lebih mudah disetir dan diombang-ambingkan. Terlebih ketika AS berkuasa dengan ideologi Kapitalisme-nya dan negeri-negeri Islam ikut mengadopsinya. Maka semakin terpuruklah umat Islam di dunia.


Umat Islam seperti ikan yang menggelepar karena tidak hidup di habitat aslinya. Maka, solusi konkret terkait masalah perang di Palestina adalah jihad dan mengembalikan 'izzah Islam dengan Khilafah Islamiyyah yang dipimpin oleh seorang Khalifah untuk satu komando membebaskan Palestina seperti generasi-generasi terdahulu yakni Sholahuddin Al Ayyubi sang pembebas Palestina di Masa Bani Abbasiyah, Wallahu a'lam bi asshawwab.

Posting Komentar

0 Komentar