Solusi Islam dalam Penanganan LSL*

 


Oleh Rini Sarah


Penderita cacar monyet (monkeypox) di DKI Jakarta dilaporkan meningkat. Peningkatan kasus disebabkan karena hubungan seksual. Menurut Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ngabila Salama dalam keterangan tertulis, Kamis (26/10). Update monkeypox DKI Jakarta per 25 Oktober 2023, jam 20.00 WIB, kasus positif total 15 orang, semua tertular dari kontak seksual, semua laki-laki usia 25-35 tahun (news.detik.com, 26/10/2023).


Menurut WHO pihak yang paling berisiko terkena penyakit ini adalah kaum laki-laki yang berhubungan seks sesama jenis (LSL) dan berganti-ganti pasangan (who.int, 26/08/2022). Pernyataan WHO ini seakan terkonfirmasi oleh data yang dikemukakan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), DR. dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, dalam keterangan persnya, dikutip Senin, 30 Oktober 2023. “Lebih dari 90 persen kasus MPox di dunia dilaporkan pada populasi khusus yaitu homoseksual dan biseksual,” ujarnya (viva.co.id, 30/10/2023).


Fahisyah


Perilaku LSL bukan perbuatan baru. Hal ini pertama kali ditemukan pada kaum Nabi Luth. Sebagaimana dikisahkan Al-Qur’an dalam Surat Al Araf: 80 yang terjemahannya berbunyi, 

"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, "Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini)."


Dalam ayat ini perbuatan LSL disebut sebagai perbuatan fahisyah. Lafal fahisyah (jamaknya fahsya) secara harfiah diartikan sebagai jelek dan keji. Adapun Ragib al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), ahli fikih dan ahli tafsir, mengatakan bahwa baik al-fahsy, al-fahsya’, maupun al-fahisyah mengandung arti yang sama, yaitu sesuatu yang sangat besar kekotoran atau kejijikannya, baik berupa perbuatan maupun perkataan.


Senada dengan pendapat Ragib Al-Isfahani, Jurjani al-Hanafi (fukaha Mazhab Hanafi), fahisyah adalah perbuatan yang membuat pelakunya harus dihukum, baik di dunia maupun di akhirat. Arti lain adalah sesuatu yang ditolak naluri karena tidak sempurna menurut akal sehat. Bahkan menurut Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al Manar dan Fakhrudin Ar Razi bahwa  perbuatan fahisyah tersebut bisa lebih buruk dan keji dari sekadar perbuatan atau perkataan buruk. Dikatakan demikian karena perbuatan fahisyah ini telah keluar dari tabiat manusia dan hukum alam yang telah ditetapkan Allah Swt..


Perbuatan kaum Nabi Luth di atas sungguh perbuatan yang menjijikkan dan mendapat celaan serta hukuman/azab dari Allah. Sebagaimana diketahui kaum Sodom yang telah melakukan perbuatan itu diazab Allah. Dalam Surat Hud ayat 82-83, Allah Swt. berfirman: "Maka, ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya (negeri kaum Lut) dan Kami menghujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar secara bertubi-tubi. (Batu-batu itu) diberi tanda dari sisi Tuhanmu. Siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim." Inilah azab yang diterima oleh para pelaku LSL. 


Perbuatan kaum Nabi Luth yang dikisahkan dalam ayat di atas diharamkan juga untuk umat Rasulullah saw.. Nabi saw. bersabda, “Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth,  Allah telah mengutuk siapa saja berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.” (HR Ahmad)


Oleh karena itu, perilaku LSL dianggap sebagai kejahatan (al-jariimah) yang harus dihukum (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhaam al-‘Uquubaat). Pelakunya layak mendapatkan hukuman mati, sebagaimana hadis dari Ibn ‘Abbas  ra.: “Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah)


Hanya saja, para Sahabat berbeda pendapat mengenai teknis hukuman mati untuk LSL.  Menurut Ali bin Abi Thalib ra., kaum LSL harus dibakar. Menurut Ibnu Abbas ra., harus dicari  bangunan tertinggi, lalu mereka dijatuhkan dengan kepala di bawah, dan sampai di tanah dilempari batu.  Umar bin Khaththab ra. dan Utsman bin Affan ra. berpendapat, kaum LSL dihukum mati dengan dibenturkan ke dinding tembok  sampai mati. Memang para Sahabat berbeda pendapat tentang caranya. Namun, semuanya sepakat LSL wajib dihukum mati (Abdurrahman al-Maliki, Nizhaam al-‘Uquubaat).


Dalam hal ini, begitu jelas terlihat bahwa perilaku LSL tidak bisa diberi toleransi atau dinormalisasi, karena syariat telah menetapkan bahwa ia merupakan kejahatan yang hukumannya begitu berat. Selain itu, LSL ini pun berbahaya baik bagi pelaku maupun masyarakat. Salah satunya adalah mewabahnya penyakit menular seperti monkeypox di atas atau penyakit yang lebih berbahaya lagi yaitu HIV/AIDS.


Solusi Tuntas


Di era penerapan ideologi kapitalis sekuler saat ini, perilaku LSL justru malah mendapatkan panggung. Karena ideologi ini menjunjung kebebasan bagi manusia. Termasuk untuk bebas bermaksiat hingga jatuh martabat lebih rendah dari binatang. Penguasa dalam sistem hidup ini pun memilih menjadi pembela mereka. Walhasil, penyebaran perilaku menyimpang syariat ini semakin masif dan meningkat. Tidak menutup kemungkinan jika terus dibiarkan maka ia akan mendapatkan pelegalan oleh Undang-Undang. Nauzubillah.


Untuk menghentikannya, tentu saja tidak ada solusi lain selain mengganti sistem hidup buatan manusia yang diterapkan saat ini dengan sistem hidup buatan Allah, Sang Pencipta manusia. Dalam pemenuhan naluri seksual, Islam telah mengaturnya dengan proporsional sesuai dengan fitrah manusia. Naluri seksual adalah naluri yang berkaitan dengan pelestarian jenis. Maka, ia baru terpuaskan secara sempurna jika lahir keturunan yang akan meneruskan jenis manusia. Selain itu, Islam memandang bahwa tujuan dipenuhinya naluri seksual itu memang untuk melahirkan keturunan yang baik bukan semata untuk kesenangan seperti diatur oleh kapitalisme. Oleh karena itu, LSL merupakan bentuk pemenuhan naluri seksual yang salah karena tidak sesuai dengan fitrah diciptakannya naluri seksual dalam diri manusia. Sampai saat ini tidak ada yang melakukan LSL bisa melahirkan keturunan. 


Paradigma seperti ini perlu untuk ditanamkan kepada umat. Upaya penanaman ini perlu didukung oleh segenap komponen umat. Mulai dari institusi terkecil yaitu keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, serta negara. Semua harus berperan aktif melindungi umat dan generasi dari perilaku keji ini.


Dalam institusi keluarga, orang tua berperan besar mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi bertakwa kepada Allah Swt. dan tangguh. Hukum-hukum syarak yang berkenaan dengan pengaturan naluri seksual dan hal-hal yang berkaitan dengannya harus dipahamkan dan diterapkan secara disiplin kepada anak. Demikian juga dengan lembaga pendidikan. Ia  harus bersinergi memberikan pendidikan yang selaras dengan apa yang dilakukan oleh keluarga.


Peran masyarakat pun tidak kalah besarnya. Tugasnya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya sikap takwa dan musnahnya pembangkangan terhadap hukum Allah, termasuk LSL ini. Amar makruf nahi mungkar harus menjadi senjata  ampuh  dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat hingga bisa mencegah semakin merajalelanya penyimpangan seksual ini.


Terakhir, peran negara paling utama adalah  menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu melahirkan generasi berkepribadian Islam tinggi, generasi yang mau diatur hidupnya dengan Islam serta peduli dengan kondisi umat. Selain itu, sebagai bentuk pencegahan terulangnya perilaku menyimpang, negara juga akan menerapkan sistem sanksi Islam. Untuk LSL, negara akan menerapkan hukuman mati seperti yang telah dibahas di atas. Ini dilakukan sebagai penjagaan pada fitrah dan keturunan manusia sebagai salah satu tujuan hakiki diterapkannya syariat.  Solusi ini tentu saja tidak bisa dilaksanakan jika tidak ada negara yang menerapkan. Dan, semuanya hanya bisa diterapkan oleh negara yang memakai sistem Khilafah sebagai sistem pemerintahannya. Allahu Akbar!


*) LSL = Lelaki Seks Lelaki


Posting Komentar

0 Komentar