Urgensi Makna Politik Bagi Umat

 


Oleh Siti Rima Sarinah


Agama itu suci dan politik itu kotor, maka agama harus dijauhkan dari politik. Statement seperti ini seringkali kita dengar dan kita baca dalam tulisan dan pidato-pidato di panggung politik. Selintas kalimat tersebut ingin mendudukkan agama dan politik dengan posisi dan kedudukannya masing-masing. Apalagi menuju pesta demokrasi 2024, agama dan politik menjadi opini yang terus digaungkan ke tengah-tengah umat tentu dengan maksud-maksud tertentu.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus) membeberkan tentang rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat Kota Bogor menjelang pemilu 2024. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui bakal calon legislatif (Bacaleg) di daerah pemilihan (Dapil) sendiri. 

Yusfitriadi selaku Direktur Eksekutif Ls Vinus menilai fenomena ini menjadi salah satu indikator minimnya pengetahuan warga dan kurang efektifnya baliho serta alat peraga kampanye (APK) partai. Ketidakpahaman terkait pendidikan politik menjadi salah satu PR bagi KPU, partai politik, dan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh tim sukses (RadarBogor, 21/10/2023)

Ketidaktahuan masyarakat terhadap Bacaleg dan Dapilnya, bukanlah tanpa sebab. Karena kehadiran Bacaleg hadir secara tiba-tiba (tidak alamiah). Ditambah lagi Bacaleg bukan berasal dari warga Kota Bogor yang tidak pernah tinggal, mengenal  dan berinteraksi dengan warga Kota Bogor. Sehingga masyarakat kota Bogor tidak mengetahui kapasitas dan kapabilitasnya untuk dipilih sebagai Bacaleg. Maka wajarlah apabila masyarakat minim pengetahuannya terhadap Bacaleg walaupun sudah ada APK yang terpampang di sepanjang jalan utama.

Lain halnya apabila Bacaleg adalah selebritis seperti artis, pemain sinetron, dan penyanyi yang sering mereka lihat baik di media elektronik maupun media sosial bahkan menjadi penggemarnya. Sehingga masyarakat tentu akan lebih mengenal dan mengetahui siapa mereka. Maka fenomena selebritis yang terjun ke dunia politik pun menjadi peluang besar bagi publik figur untuk berbondong-bondong menjadi Bacaleg dan lebih mudah mendapatkan suara dari masyarakat, apalagi jika masyarakat menjadi penggemar dari selebritis  tersebut.

Kita lihat fakta yang ada, dimana akhirnya para selebritis banyak yang menjadi pejabat negara, dari menteri, anggota DPR, Walikota, Bupati, dan Gubernur. Yang menjadi pertanyaan apakah selebritis tersebut juga memahami makna politik yang sesungguhnya ataukah faktor popularitas mereka dijadikan aji mumpung untuk mendapatkan jabatan dan materinya?

Pengamat politik dari Univesitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wijayanto berpendapat fenomena selebritis jadi politisi mencerminkan kaderisasi partai politik di Indonesia. Parpol yang mencalonkan caleg yang bukan dari kadernya bisa diindikasikan adanya krisis kaderisasi di parpol tersebut. 

Yang akhirnya pada saat pemilu masyarakat asal memilih caleg dari para selebritis yang nota bene tidak memiliki pemahaman politik yang benar sama hal yang terjadi pada masyarakat. Padahal, caleg yang mereka pilih  akan membuat kebijakan dan kehidupan masyarakat tergantung pada kebijakan tersebut. Fakta yang kita rasakan saat ini, caleg yang terpilih menetapkan kebijakan  yang senantiasa menyusahkan masyarakat dan membuat masyarakat terus menerus hidup dalam kubangan kemiskinan.

Kondisi ini terjadi tidak lain dan tidak bukan akibat sisten demokrasi yang diterapkan oleh negara. Setiap orang bebas memilih dan dipilih, padahal caleg yang dipilih tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengurusi urusan masyarakat. Karena dalam sistem demokrasi yang merupakan turunan dari kapitalis sekuler, menganggap politik sebagai ajang mendapatkan jabatan dan harta bukan untuk melayani kepentingan masyarakat.

Dalam memilih pemimpin demokrasi memiliki metode yang khas yaitu dengan cara pemilihan umum (pemilu). Pemilu adalah cerminan diakuinya hak rakyat dalam memilih langsung wakil umat maupun pemimpin. Sedangkan dalam Islam, rakyat pun berhak memilih penguasa. Tetapi, proses pemilihan sosok wakil umat atau penguasa yang layak untuk dipilih, dan tujuan memilihnya berbeda. Disinilah letak perbedaan antara demokrasi dan Islam dalam memilih wakil umat atau penguasa. Namun, bukan sekadar hak rakyat memilih.

Demokrasi membebaskan rakyat untuk memilih pemimpin tanpa batasan apapun termasuk agama. Dan pemimpin yang terpilih dari sistem demokrasi sebagai wasilah menjalankan hukum buatan manusia yang bertentangan dengan syariat Islam. Sedangkan dalam Islam, tidak semua orang bisa/mampu menjadi pemimpin atau pejabat negara.

Islam menetapkan ada tujuh syarat menjadi pemimpin diantaranya: Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu mengemban amanah sebagai pemimpin/khalifah. Khalifah dipilih untuk menjalankan hukum-hukum syariat Islam bukan hukum buatan manusia. Dan pemilu dalam Islam hanya sebagai wasilah memilih pemimpin yang akan menjalankan hukum-hukum Allah Swt..

Dalam proses pemilihan tidak akan terjadi politik kotor dan curang, karena aktifitas pemilihannya ini berlandaskan kepada keimanan. Kekuasaan dan jabatan bukanlah sarana untuk meraih materi bersifat duniawi, melainkan semata-mata ingin menerapkan hukum Allah demi meraih rida dan Jannah-Nya. Sehingga yang kita jumpai para penguasa dalam Islam adalah sosok pelayan umat yang senantiasa mengurusi rakyat dengan segenap jiwa raganya, karena apa yang ia urus kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah saw. bersabda, ”Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)

Inilah urgensi makna politik yang wajib dipahami umat Islam, agar umat tidak salah dalam memilih pemimpin yang akan bertanggungjawab atas mereka. Dan memahami sistem demokrasi sebagai biang lahirnya berbagai macam persoalan yang mendera rakyat. Maka sistem demokrasi ini harus diganti dengan sistem khilafah yang menerapkan syariat Islam kafah dalam kehidupan umat manusia. Dalam naungan khilafah Islam akan terwujud perubahan besar dalam diri umat dan menjadikan kehidupan manusia senantiasa hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran.


Posting Komentar

0 Komentar