Utopia Solusi Dua Negara

 


Oleh Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany) 


#TelaahUtama - Keberingasan Z!0n1$ di tanah Al Aqsa yang kian menggila akhir-akhir ini membuat banyak pihak menyuarakan kembali perlunya solusi dua negara. Ironisnya tidak sedikit negeri-negeri muslim semisal Qatar dan Kerajaan Saudi, termasuk para rezim pengkhianat lainnya di Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko yang telah lebih dulu mengakui eksistensi Tel Aviv, menjadikan solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan mencapai kata damai di tanah suci Al Quds, Palestina. Tidak sedikit dari mereka berdalih bahwa “menyerahkan” sebagian tanah P4L3$t1n4 hanyalah sedikit pengorbanan untuk menyelamatkan nyawa rakyat G4z4. Namun patut digarisbawahi, bahwa solusi semacam ini hanyalah omong kosong belaka! 


Solusi dua negara sejatinya hanyalah “jawaban politik standar” PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) atas dideklarasikannya 'penjajahan' Z!0n1$ di tanah P4L3$t1n4 pada akhir tahun 1940-an. Sedangkan dalam kenyataannya, solusi khayalan tersebut justru menjadi “pil tidur” negeri-negeri Arab untuk tidak berkutik di hadapan Z!0n1$. Bahkan Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB yang diadopsi pada 22 November 1967 justru semakin membantu agresor Yahud1 tersebut mempertahankan pendudukannya di tanah P4L3$t1n4. 


Kita ingat bagaimana setelah perang Arab-Tel Aviv tahun 1967, resolusi 242 DK PBB “meminta” Z!0n1$ untuk menyerahkan wilayah yang didudukinya sebagai imbalan atas “perdamaian abadi” dengan negara-negara tetangganya. Namun setelah penjajah Yahud1 mengalahkan tentara Mesir, Yordania, dan Suriah, hal tersebut justru mengakibatkan tragedi “Naksa”, yang berarti kemunduran atau kekalahan, kepada tentara negara-negara Arab tetangganya, dan untuk orang-orang P4L3$t1n4 yang kehilangan seluruh tanah air mereka yang tersisa 56 tahun silam. 


Pada tragedi Naksa, Z!0n1$ mengusir sekitar 430.000 warga P4L3$t1n4 dari rumah-rumah mereka, dan dikatakan sebagai perpanjangan “Nakba” atau bencana pada tahun 1948 yang menyertai berdirinya wilayah Yahud1. Dalam waktu enam hari, Tel Aviv merebut sisa wilayah bersejarah P4L3$t1n4, termasuk Tepi Barat, Yerusalem Timur dan G4z4, serta Dataran Tinggi Golan Suriah dan Semenanjung Sinai Mesir. Belakangan di tahun yang sama, Z!0n1$ juga  mencaplok Yerusalem Timur. 


Kemudian di bawah sponsor duta besar Inggris untuk PBB pada saat itu, Resolusi 242 bertujuan menerapkan “perdamaian yang adil dan abadi di kawasan Timur Tengah”. Pembukaan resolusi tersebut secara eksplisit melarang kelanjutan kendali Tel Aviv atas wilayah yang diperoleh dengan kekerasan selama perang, dengan alasan “tidak dapat diterimanya akuisisi wilayah melalui perang dan perlunya mengupayakan perdamaian yang adil dan abadi di mana setiap negara di wilayah tersebut dapat hidup dengan aman”. Resolusi tersebut meminta Z!0n1$ untuk menarik pasukannya dari wilayah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari, dan mendesak semua pihak untuk mengakui kedaulatan wilayah masing-masing. 


Namun apa yang terjadi? Z!0n1$ laknatullah justru memanfaatkan resolusi tersebut untuk melanjutkan pendudukannya di wilayah tersebut, karena resolusi tersebut juga menyerukan “pencapaian penyelesaian masalah pengungsi yang adil” namun tidak memenuhi hak rakyat P4L3$t1n4 untuk terlepas dari penjajahan. Dari sini pada akhirnya Organisasi Pembebasan P4L3$t1n4 (PLO) yang saat itu diakui masyarakat internasional sebagai perwakilan rakyat Al Aqsa menolak untuk mengakui resolusi tersebut hingga dua dekade kemudian. 


Parahnya, resolusi yang sama justru digunakan sebagai dasar perundingan perdamaian negeri-negeri Arab-Z!0n1$ dan gagasan untuk menciptakan solusi dua negara di sepanjang perbatasan tahun 1967 yang diakui secara internasional. Padahal pendeklarasian berdirinya Is-Ra-Hell pada Mei 1948 silam telah secara nyata menunjukkan bahwa PBB dan negara-negara Barat menyangkal bahwa orang-orang Arab di tanah P4L3$t1n4 mempunyai hak yang sama untuk hidup aman dan damai. 


Pendapat yang mahsyur di kalangan Z!0n1$ hingga detik ini adalah bahwa setelah perang 1967 terdapat kekosongan kedaulatan di wilayah Tepi Barat dan G4z4. Artinya, Yahud1 menganggap kedua wilayah tersebut sebelum perang tidak masuk ke dalam kategori yang disebutkan dalam resolusi 242. Dengan memanfaatkan ambiguitas dalam status kedua wilayah tersebut, Z!0n1$ pun mengklaim dirinya tidak pernah sekalipun melanggar resolusi 242. 


Dari sini kita melihat bahwa Z!0n1$ tidak pernah sekalipun memiliki niat untuk pergi dari tanah P4L3$t1n4 ataupun “berbagi” wilayah dengan penghuni bumi Al Aqsa. Terlebih Z!0n1$ mendapat dukungan penuh dari US dan negara-negara Barat, serta tidak pernah mendapat tekanan politik atau militer yang “cukup mematikan”. Walhasil “kerugian” yang Z!0n1$ harus tanggung jika tetap bersikeras mengambil paksa tanah P4L3$t1n4 tidak sebanding dengan manfaat besar yang mereka dapat dari penjajahan yang dilakukan. 


Di sisi lain, kekuasaan sayap kanan pihak Z!0n1$ yang tampak dari posisi perdana menteri, secara konsisten memastikan bahwa entitas Yahud1 tidak akan pernah membiarkan eksistensi P4L3$t1n4 atas dasar perwujudan Yudea dan Samaria. Cita-cita pemimpin Z!0n1$ Ze'ev Jabotinsky tentang metafora 'dinding besi' untuk menghancurkan iredentisme P4L3$t1n4 telah lama menjadi prinsip panduan mereka. Gagasan pembentukan negara P4L3$t1n4 berdampingan dengan Israel selalu bertentangan dengan visi Partai Likud yang menyatakan Israel membentang dari Mediterania hingga Sungai Yordan. 


Hal ini diperkuat dengan ucapan Menteri Keuangan sayap kanan Tel Aviv, Bezalel Smotrich, yang meminta warga G4z4 secara “sukarela” meninggalkan rumah-rumah mereka. Ia bahkan menyebutkan Z!0n1$ tidak lagi mampu menerima keberadaan entitas independen di G4z4 (aljazeera.com, 14/11/2023). Ucapan Smotrich secara gamblang mengungkapkan kebijakan dan niat “sesungguhnya” dari Z!0n1$, yakni pembersihan etnis di wilayah G4z4. 


Busuknya niat tersebut sudah ditanamkan sejak dini kepada anak-anak Z!0n1$. Hal ini terbukti dari video bertajuk “Lagu Persahabatan 2023” yang diposting lembaga penyiaran publik Z!0n1$, Ken News, pada 19 November yang dinyanyikan oleh sekelompok anak-anak Yahud1. Lagu tersebut secara terbuka menyerukan Yahud1 untuk “memusnahkan” seluruh warga G4z4 dan menjadikan wilayah tersebut menjadi milik mereka. 


Perampokan dan penjajahan semacam ini terus-menerus dilakukan Z!0n1$ tanpa henti. Mereka senantiasa melakukan perluasan pemukiman Yahud1. Proyek pemukiman yang melonjak, yang secara langsung bertentangan dengan hukum internasional, telah membawa sekitar 600.000 warga Israel ke puluhan pemukiman Yahud1 di seluruh Tepi Barat yang diduduki. Pihak berwenang Israel merampas tanah warga P4L3$t1n4 dan melakukan pembongkaran rumah secara rutin, seringnya dengan memperluas pemukiman yang sudah ada, atau terkadang membangun pemukiman baru. 


Jalur G4z4, yang dihuni sekitar dua juta orang, telah dikepung Z!0n1$ selama lebih dari satu dekade. Setelah kemenangan Hamas dalam pemilu 2007, agresor  Z!0n1$ memberlakukan blokade ketat baik darat, udara, dan laut. Fakta bahwa Tel Aviv menguasai 100% ketersediaan air, energi hingga informasi di wilayah P4L3$t1n4 adalah alasan tak terbantahkan mengapa solusi dua negara tidak akan pernah bisa diwujudkan. Lalu apakah patut kaum muslim menyerukan solusi dua negara? 


Sesungguhnya tanah P4L3$t1n4 adalah milik kaum muslim yang telah dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khatthab pada tahun 15 H (637 M) dari Sophronius, patriakh Yerusalem, melalui perjanjian Umariyah. Sekalipun sempat lepas dari kekuasaan Kekhilafahan Islam, P4L3$t1n4 direbut kembali oleh Salahudin Al-Ayubi pada 2 Oktober 1187 dari kekuasaan kelompok Nasrani dalam Perang Salib. Tanah P4L3$t1n4 yang sejatinya adalah tanah umat Islam dirampas Z!0n1$ dengan dukungan Inggris, AS, dan negara-negara Barat lainnya pasca keruntuhan Khilafah Utsmaniyah pada 1924. 


Z!0n1$ pun melakukan eksodus besar-besaran ke wilayah Al Aqsa dan melancarkan teror kepada rakyat Arab P4L3$t1n4 hingga merenggut lebih dari 5.000 jiwa pasca perlawanan warga Arab tahun 1939. Jumlah penduduk Yahud1 pun melonjak hingga mencapai 30% penduduk P4L3$t1n4 pada 1947, tetapi hanya mendiami 6% wilayah P4L3$t1n4. Hingga secara keji PBB disokong oleh negara-negara penjajah Barat menekan P4L3$t1n4 untuk menyerahkan 56% wilayahnya kepada Z!0n1$. Usulan konyol PBB tersebut terang saja ditolak Arab P4L3$t1n4 yang mengisi 94% tanah P4L3$t1n4. Hingga pada akhirnya Inggris mengakhiri mandatnya di P4L3$t1n4 pada 14 Mei 1948, diikuti dengan deklarasi kemerdekaan entitas Yahud1 yang didukung oleh AS, Inggris, dan PBB. 


Hilangnya pelindung tanah P4L3$t1n4, yakni Khilafah Islamiyah, menjadikan Z!0n1$ bisa dengan bebas mencaplok puluhan kota dan ratusan desa. Diikuti dengan teror dan pembantaian tak berkesudahan serta pengusiran di seluruh penjuru wilayah P4L3$t1n4.  


Oleh karenanya, solusi dua negara bukanlah pilihan bagi umat Islam! Karena tanah P4L3$t1n4 adalah milik umat yang harus diperjuangkan dengan seluruh kemampuan, jerih payah, keringat bahkan tangis dan darah. Tanah P4L3$t1n4 akan senantiasa menjadi medan jihad hingga pada saatnya Junnah (perisai) umat, Daulah Khilafah Rasyidah, kembali mempersatukan kekuatan umat ini. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” (QS al-Anfal: 15-16).

Wallahu a’lam bi ash-shawab.



Posting Komentar

0 Komentar