Oleh Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik
Depok sebagai kota penyangga Ibu Kota Jakarta merupakan wilayah yang dicanangkan sebagai kota pemukiman, pendidikan, pusat perdagangan, pusat pelayanan jasa, pusat pariwisata dan wilayah untuk resapan air. Namun, fakta cepatnya pertambahan penduduk dan kepadatan penduduknya membawa tekanan tersendiri bagi tata ruang dan lingkungan hidup di Depok. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kebutuhan perumahan, kawasan industri dan jasa, kawasan komersial beserta fasilitas pendukung bagi warga. Ini mau tidak mau akan mengubah lahan-lahan terbuka menjadi lahan terbangun.
Pada evaluasi atas pencapaian sejumlah indikator dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2016-2021, Pemkot Depok menyatakan telah menyelesaikan beberapa target. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh Widyati Riyandani, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok tahun 2018. Namun, kenyataanya Kota Depok masih tertinggal infrastrukturnya. Ini akibat laju pembangunan infrasruktur yang belum sebanding dengan laju pertumbuhan kota yang semakin pesat.
Menurut Kajian Lingkungan Hidup dalam Tata Ruang Kota Depok yang dibuat oleh BEM FH UI berupa kajian tertulis pada 13 Februari 2023, dibahas masalah pembangunan Kota Depok berikut kendala-kendalanya. Masalah pembangunan ini diantaranya adalah:
Masalah Minimnya Drainase
Drainase dan sarana prasarana pengendali banjir penting tersedia dan mencukupi untuk menjadikan kawasan terbangun menjadi wilayah yang kering dan nyaman dihuni. Drainase yang merupakan sarana yang kompak bagi pembuangan dan pengaliran air agar air dari hujan lokal ataupun luapan sungai tidak tergenang pada jalan-jalan, pemukiman dan fasilitas-fasilitas umum.
Masalah banjir dan genangan air di kota Depok faktanya tidak terlepas dari buruknya sistem jaringan drainase. Hal ini karena pesatnya pertumbuhan lahan terbangun yang tidak diimbangi dengan penyediaan drainase yang terencana dan terintegrasi dengan baik. Akibatnya tak jarang pembangunan perumahan di wilayah hulu dapat menyebabkan banjir yang sebelumnya tidak pernah terjadi di wilayah hilir.
Faktanya dari segi kuantitas memang drainase Kota Depok belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pengaliran air. Berkurangnya daerah resapan akibat masifnya pembangunan juga menjadi masalah tersendiri. Kompleksnya permasalahan, pencegahan dan pengendalian banjir sesungguhnya memang membutuhkan penanganan struktural dan non struktural yang komprehensif dan terintegrasi dari hulu hingga ke hilir.
Masalah Sampah yang Butuh Penanganan Serius
Masalah sampah di Depok saat ini sudah sangat serius. Tahun 2005 saja Kota depok telah dinobatkan sebagai kota terkotor dalam kategori kota metropolitan. Kemudian seiring bertambahnya penduduk, produksi sampah di Depok pun meningkat. Hal ini kemudian berdampak pada semakin buruknya kemampuan pengelolaan sampah yang tersedia. Dari data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok tahun 2019, 65% dari 1307 ton sampah per hari harus dikelola dengan cara pemilahan, pengomposan dan membuang sisanya ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung (Sumber Pemkot Depok, 2019).
Tahun 2023 ini kuantitas sampah tentu jauh lebih banyak. Akibatnya, menurut informasi terkini TPA Cipayung dianggap tidak layak digunakan untuk pengelolaan sampah karena dinilai tidak efektif lagi. Hal ini karena volume sampah yang telah mencapai ketinggian 30 meter tidak sanggup lagi dikelola terkait sempitnya lahan tempat sampah yang tersedia. Jadi TPA Cipayung ditutup karena dikawatirkan akan mencemari lingkungan.
Belum lagi masalah sampah-sampah yang tidak terkelola oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK). Sampah ini dikelola secara mandiri oleh masyarakat dan dipilah oleh pengepul (lapak). Namun, karena tidak adanya pemrosesan lebih lanjut, sisa sampah dari pengepul ini kemudian harus dikemanakan? Apalagi saat TPA Cipayung sudah ditutup seperti sekarang. Ini menjadi masalah tambahan terkait sampah di Depok. Sementara Unit Pengelolaan Sampah (UPS) belum merata tersedia di setiap kecamatan di Depok.
Masalah Ketimpangan Pengendalian Tata Ruang Kota Depok
Pemkot Depok secara fakta belum berhasil membangun struktur dan ruang kota secara merata. Sebaran pembangunan tata ruang terkait pusat-pusat kegiatan dan sarana pelayanan masyarakat belum merata. Pusat kegiatan dan bisnis Kota Depok hanya terkonsentrasi di kawasan Margonda saja. Ini karena Pemkot Depok memberi banyak kemudahan bagi para pengembang swasta untuk membangun perumahan dan pusat-pusat perbelanjaan di sepanjang Jalan Margonda Raya. Fasilitas umum pun terus dibangun di sepanjang Margonda Raya.
Akibatnya butuh ruang lebih luas untuk dibangun sehingga muncul lah persaingan untuk mendapatkan ruang tersebut. Pada akhirnya terjadilah minimnya ruang hijau yang tersedia di dalam kota. Sebagaimana dipahami tujuan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berupa infrastruktur di wilayah perkotaan adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar dan bersih. Karenanya perencanaan tata ruang yang berwawasan lingkungan harus selalu diperhatikan oleh Pemkot Depok.
Di sinilah pentingnya peningkatan kualitas dan kuantitas Ruang Terbuka Hijau (RTH). Hal ini karena kegiatan perubahan penggunaan lahan dari kawasan bervegetasi menjadi kawasan terbangun berkaitan erat. Pertambahan populasi penduduk yang menuntut adanya perkembangan fasilitas mengakibatkan adanya perubahan fungsi lahan dari ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Ini pada akhirnya menyebabkan peningkatan suhu serta ketidaknyamanan untuk dihuni.
Penyelesaian Masalah Secara Konkret Hanya Bisa dengan Mengikuti Aturan Islam
Depok adalah salah satu wilayah yang berfungsi untuk mengimbangi derasnya arus urbanisasi yang terjadi di Jakarta. Karenanya praktis terjadi perkembangan wilayah pemukiman, pendidikan, industri, perdagangan dan perkantoran. Pola hidup masyarakatnya pun menjadi sarat warna kehidupan kota metropolitan. Arus gaya hidup hedonis dan pemikiran Liberal juga patut diwaspadai. Jika Pemkot Depok lalai terkait penguatan agama bagi generasi mudanya dan masyarakatnya secara umum, maka dikawatirkan benteng akidah Islam-nya akan tergerus.
Penting dijadikan acuan terkait pengaturan tata kota yaitu pada Kota Cordoba di masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah, Abdurrahman I. Menurut Islam, kota dirancang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menempatinya. Ada 4 kriteria yang dapat dicontoh dari perencanaan tata kota di Cordoba, yaitu terkait keyakinan agama dan budaya, syariah dan hukum Islam, kelompok sosial serta etnis dan cuaca serta landscape.
Dalam artikel yang berjudul Islamic and Christian Spain in the Early Middle Ages karya Profesor Sejarah dari Universitas Boston, Thomas F. Glick, diterangkan keseluruhan area kota Cordoba yang terdiri dari pusat kota, pinggir kota, dan luar kota. Wilayah pusat kota dikonsentrasikan untuk kantor-kantor pemerintah dan masjid. Tujuannya supaya memudahkan masyarakat beraktivitas dan mengurus keperluan administrasi. Di area masjid raya dibangun pusat-pusat perdagangan barang-barang kebutuhan masyarakat. Perdagangan dan kegiatan sosial juga digelar di pelataran, ruas jalan tertentu atau alun-alun kota.
Di area pusat kota juga disediakan taman-taman yang indah lengkap dengan air mancur. Disediakan pula lapangan rumput untuk bermain dan jalanan yang lebar untuk memudahkan masyarakat berlalu-lalang. Di area terbuka seperti ini Khalifah melarang dibangun pemukiman. Sementara di wilayah pinggiran kota, ditetapkan sebagai kawasan pemukiman. Jalanan dibuat tidak selebar jalanan di pusat kota. Jalan-jalan tersebut dibuat berkelok-kelok mengikuti kontur alam, sehingga lebih terasa keasriannya dan supaya sistem drainase dapat berfungsi secara alami di musim hujan.
Sementara untuk tata letak hunian, diatur berdasarkan sistem blok. Satu blok hanya terdiri dari 8 sampai 10 bangunan saja. Pengaturan seperti ini tentu dapat menghasilkan kerapian dan dapat mengefektifkan pengamanan lingkungan. Selain itu, kawasan pemukiman Muslim dengan Non-Muslim dibangun terpisah. Sementara di sekeliling kota bagian terluar pemukiman dibangun benteng. Jalan-jalan utama kota terhubung dengan pintu gerbang benteng. Di luar benteng tersedia pemakaman Muslim serta pemakaman bagi Nasrani dan Yahudi.
Estetika kota juga diperhatikan karena pemandangan kota di malam hari sangat indah dengan lampu-lampu hias atau lentera di taman-taman dan jalan-jalan. Sementara sistem pengelolaan sampah dibuat di luar tembok benteng kota. Dibangun tempat membuangan khusus untuk sampah dan limbah yang jauh dari pemukiman. Ini menjadikan masyarakat tidak merasakan dampak buruk dan ketidaknyamanan dari kotornya sampah. Jalan-jalan juga kering dari genangan air saat hujan, karena dibangun jaringan drainase atau selokan-selokan besar yang selalu dibersihkan setiap hari oleh para petugas kebersihan yang digaji oleh negara.
Demikianlah sekelumit gambaran pengaturan tata kota di Cordoba menurut Islam di masa Kekhilafahan Islam. Pengaturan ini tentu bisa dijadikan acuan saat ini dalam mengatur kota. Sayangnya adalah kurangnya keinginan dari pemerintah, baik pusat ataupun daerah untuk mewujudkannya. Ini terbukti dari enggannya pemerintah menerapkan sistem Islam baik dalam pengaturan tata kota ataupun pengaturan negara secara keseluruhan. []
0 Komentar