Dewasa ini, pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan pemerintah senantiasa menyisakan sisi kelam. Tidak sedikit konflik yang terjadi antara pemerintah dan rakyat selama proses pembangunan. Salah satunya adalah konflik agraria. Rakyat yang sudah bertahun-tahun menempati area lahan tersebut, dipaksa pergi dan nasibnya boleh dikatakan terlunta-lunta. Hingga harus bertahan hidup dalam tenda-tenda seperti yang dialami oleh warga Kampung Bayam. Akibat lahan di Kampung Bayam berubah menjadi Jakarta Internasional Stadium (JIS).
Warga Kampung Bayam sesungguhnya sudah dijanjikan akan dipindahkan ke Kampung Susun Bayam. Hanya saja belum terjadi kesepakatan harga sewa dengan pengelola yang dianggap terlalu memberatkan warga yaitu sebesar Rp750.000. Sedangkan Jakpro sebagai pengelola merasa bahwa harga sewa itu sudah sesuai dengan peraturan pemerintah yaitu Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan (cnnindonesia.com, 23/02/2023).
Konflik berujung terlunta-luntanya warga Kampung Bayam terjadi karena persoalan pengelolaan kepemilikan terhadap lahan. Lahan yang ditanami dan ditempati oleh warga Kampung Bayam dulu adalah milik Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta. Sementara bangunan rusun didirikan oleh Jakpro. Dahulu, warga memanfaatkan lahan yang terbengkalai.
Untuk kasus seperti ini memang perlu ada hukum yang jelas mengenai tanah dan kepemilikannya. Untuk lahan dan kepemilikannya diatur dalam syariat Islam dengan hukum-hukum terkait lahan. Agar ketika terjadi persengketaan bisa diselesaikan dengan mudah dan memenuhi rasa keadilan.
Hukum Tanah
Tanah merupakan hal yang teramat penting bagi kehidupan manusia. Di atas tanah manusia melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Aktivitas ekonomi demi pemenuhan papan, sandang, dan pangan semuanya terkait dengan tanah.
Untuk kebutuhan lain, seperti penyediaan air bersih, infrastruktur jalan, kesehatan, pendidikan, dan penanggulangan bencana semuanya juga terkait langsung dengan tanah. Tanah kadang diistilahkan dengan lahan. Lahan sendiri mempunyai arti tanah yang mempunyai fungsi sosio-ekonomi.
Dalam Islam, kepemilikan terhadap tanah sama dengan kepemilikan benda-benda lainnya. Dia bisa digolongkan ke dalam kepemilikan individu, umum, atau negara. Tergantung dari karakteristik tanah itu sendiri. Jika tanah itu berupa perairan, hutan, area savafa, dan terkandung di dalamnya cadangan SDA yang berlimpah maka tanah itu akan menjadi milik umum. Tidak bisa dikuasai oleh individu baik warga domestik ataupun asing. Sementara tanah milik negara adalah tanah yang di atasnya ada fasilitas negara atau pun diproteksi oleh negara maka tanah itu menjadi milik negara.
Individu tentu saja bisa memiliki tanah untuk berbagai tujuan tertentu. Cara individu memiliki tanah dalam Islam bermacam-macam. Dalam Islam selain dengan cara berjual beli, waris, dan hibah dari seseorang ada cara yang unik bagi seseorang bisa memiliki tanah. Cara itu adalah menghidupkan tanah mati, memagari, dan pemberian dari negara.
Ketiga cara memiliki tanah itu didasarkan pada hadis Rasulullah saw. tentang menghidupkan tanah mati, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah mati itu menjadi miliknya.” (HR.Bukhori). Di hadis lain Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa terlebih dahulu (mengelola atau mengerjakan tanah yang mati) yang belum dimiliki (didahului) oleh seorang muslim, maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir).
Yang dimaksud tanah mati dalam hadis ini adalah tanah yang tidak tampak kepemilikan dan pengelolaan dari manusia. Tanah seperti ini bisa dibuka/dihidupkan lalu dipakai untuk berbagai kegiatan, termasuk bercocok tanam. Status tanah ini akan menjadi milik orang yang menghidupkannya. Hingga ia bisa mengelola, menjual, menghibahkan, atau mewariskannya. Hanya saja ada satu catatan, jika tanah itu dibiarkan tanpa pengelolaan selama 3 tahun, maka tanah itu akan diambil oleh negara.
Untuk memagari, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membatasi (memagari) tanah yang mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR. Ahmad). Sama seperti menghidupkan tanah mati, pemagaran tanah juga disertai dengan syarat dikelola secara terus menerus. Jika tiga tahun dibiarkan tanpa pengelolaan maka kepemilikan atas tanah akan dicabut. Tanah menjadi milik negara. Proses pemagaran dan menghidupkan tanah mati ini berlaku umum bagi seluruh warga negara (muslim atau kafir dzimni) dan status tanah baik usyriyah (tanah dikuasai negara tanpa peperangan) atau kharajiyah (tanah dikuasai negara dengan peperangan).
Sedangkan pemberian tanah oleh negara kepada rakyat, dalilnya adalah Rasulullah saw. pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar ra. dan Umar bin Khaththab. Sebagaimana beliau juga pernah memberikan kepada Zuber, sebidang tanah yang luas. Tanah yang diberikan Rasulullah ini berupa tanah yang telah ditelantarkan individu, lalu diambil oleh negara, dan diberikan kepada individu lain, seperti yang pernah beliau lakukan di Madinah. Bisa juga berupa tanah mati yang airnya melimpah, seperti beliau pernah memberikan tanah untuk padang gembalaan kuda. (Annabhani, Nidzamul Iqtishodi fil Islam).
Dengan adanya pemberian negara pada individu, maka tanah itu menjadi miliknya. Sebab, jika kepemilikan tersebut dibutuhkan oleh suatu jamaah, maka hakikatnya kepemilikan tersebut adalah untuk dimanfaatkan, dan bisa untuk memberikan kemudahan bagi manusia agar bisa memanfaatkannya, lalu dengan adanya sebab kepemilikan ini, ia bisa membantu aktivitas fisik dan psikis jamaah tersebut.
Perampasan Lahan
Perampasan lahan dalam Islam hukumnya haram. Siapa pun pelakunya. Dan bagaimana pun status lahannya. Perampasan lahan tanpa alasan syari adalah perbuatan ghasab dan zalim. Allah Swt. telah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil. Apalagi dengan menyuap penguasa agar mempermudah proses perampasannya. Allah Swt. berfirman, “Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian tahu.” (TQS Albaqarah:188).
Nabi saw. juga telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir dalam sabdanya, “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR. Muttafaq’alayh).
Rasulullah saw. juga mengingatkan bahwa Allah Swt. menunda balasan bagi para pelaku kezaliman. Namun, ketika Allah menurunkan siksa-Nya, tak ada yang dapat lolos dari azab tersebut. Beliau bersabda, “Sungguh Allah pasti menunda (hukuman) bagi orang zalim. Namun, jika Allah telah menyiksa orang zalim itu, Allah tidak akan melepaskan dirinya.” (HR. Al Bukhari).
Sebagai teladan mari kita berkaca pada peristiwa pada masa Khalifah Umar bin Khaththab berkuasa. Saat itu Khalifah Umar menegur Gubernur Amr bin Al Ash yang mengancam untuk menggusur gubuk reyot milik orang Yahudi. Karena ia tak mau menjualnya bahkan ketika ditawarkan harga 5 kali lipat. Rencananya Gubernur Amr mau membangun masjid untuk kepentingan bersama.
Dari aduan orang Yahudi itu, Umar menegur Gubernur Amr dengan wasilah sebuah tulang yang digores dengan pedang. Umar menggores huruf alif dari atas ke bawah, lalu memalang di tengah-tengahnya dengan ujung pedang pada tulang tersebut. Saat, Gubernur Amr menerima tulang ini, sontak ia merasa ketakutan dan mencabut kebijakannya. Akhir cerita, Yahudi pun masuk Islam dan menyerahkan dengan penuh kerelaan gubuk reyot miliknya kepada Amr. Karena, dia merasakan keadilan Islam.
Oleh Rini Sarah
0 Komentar