Konflik Agraria, Bukti Rusaknya Sistem Kapitalisme-Neoliberal



Konflik agraria adalah konflik yang berhubungan dengan tanah. Konflik ini timbul sebagai dampak kesenjangan sumber-sumber agraria yang berupa sumber daya alam. Konflik agraria terus mewarnai kehidupan masyarakat hingga hari ini. Begitu banyak deretan panjang konflik agraria yang menyisahkan penderitaan yang sangat mendalam bagi masyarakat. Bahkan di Indonesia konflik agraria berlangsung semakin terstruktur, sistematis, dan masif.


Konsorsium Pembaruan Agraria  (KPA)  mengungkap data 2.710 konflik agraria yang terjadi selama masa kepemimpinan Joko Widodo. Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria mencuat dan berdampak pada 5,8 hektare tanah serta korban yang terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh Indonesia. Selain itu, Dewi menyampaikan ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.


Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi diseluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil. Banyak warga yang terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi buruh murah, keluar kota bahkan menjadi pekerja di luar negeri untuk tetap bertahan hidup (CNNIndonesia, 24/11/2023).


Konflik agraria memang bukanlah masalah baru yang terjadi di negeri ini. Bahkan, ini merupakan salah satu persoalan krusial yang tidak pernah bisa teratasi hingga sampai sembilan tahun pemerintahan Jokowi berakhir. 


Akibat konflik agraria ini menjadikan Indonesia sulit untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan menjaga keseimbangan alam. Krisis pangan kerap terjadi dan mengancam Indonesia. Banyaknya tanah-tanah pertanian yang dirampas sehingga para petani tidak memiliki lahan untuk digarap, padahal di awal kepemimpinan Jokowi menjanjikan peningkatan swasembada pangan yang tertuang dalam program nawacita. Namun pada fakta, petani banyak yang kehilangan lahan karena lahan mereka berubah menjadi proyek korporasi, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya.


Tentu masih lekat dalam ingatan kita perampasan tanah rakyat yang terjadi di pulau Rempang, Batam. Dengan dalih proyek strategis nasional (PSN) yang terus diopinikan. Padahal demi kepentingan para korporasi. Rakyat yang telah mendiami pulau tersebut berpuluh-puluh tahun lamanya bahkan sebelum bangsa ini merdeka, mereka diusir dari tanah kelahiran mereka begitu saja. Konflik tanah Rempang hanyalah salah satu dari sekian banyaknya kasus konflik agraria yang lagi-lagi rakyatlah yang menjadi tumbalnya. 


Tidak dipungkiri, maraknya konflik agraria yang terjadi diakibatkan sistem kapitalisme-neoliberal. Sistem ini yang menjadikan materi di atas segalanya dan menghalalkan  segala cara untuk meraih tujuan. Sistem yang mengakomodir kerakusan para pemilik modal untuk mengambil hak tanah atas rakyat. Wajar apabila sistem ini melahirkan begitu banyak kezaliman yang dilegitimasi kekuasaan dan negara juga penguasanya yang senantiasa hadir untuk memuluskan kepentingan para korporasi. 


Maklumlah sistem ini tidak kenal moral apalagi halal haram. Semua akan dilibas habis, asal semua kepentingan tuan besar akan terwujud. Negara dan penguasa menjadi garda terdepan menjadi karpet merah bagi korporasi dengan menetapkan kebijakan dan aturan yang justru sangat menguntungkan para korporasi. Sangat terlihat jelas hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan para korporasi, sehingga wajarlah penguasa menjadi jalan tol bagi korporasi untuk memberikan ruang yang sangat besar menguasai semua lini kehidupan termasuk sumber daya alam. 


Atas nama kepentingan para korporasi yang jumlahnya minoritas harus mengorbankan  kepentingan rakyat sebagai pemilik sumber daya alam tersebut. Negara yang seharusnya berdiri untuk melindungi dan menjaga hak rakyat, justru berubah posisi menjadi kacung bagi pemilik modal. Dan mirisnya, pada banyak kasus konflik agraria yang terjadi justru pihak pemerintah dan aparat keamanan cenderung ada di posisi yang bersebrangan dengan rakyat. Inilah bukti kezaliman nyata penguasa dalam sistem yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan (sekularisme).


Berbeda halnya dengan sistem yang mengedepankan hak rakyat sebagai prioritas utamanya. Sistem Islam menutup rapat-rapat celah kezaliman terhadap rakyat, sebab sistem ini tegak dengan landasan keimanan dan ketakwaan serta penguasanya menjadi penjaga dan pelindung bagi seluruh rakyatnya, dengan penerapan syariat Islam kaffah sebagai penopangnya. Semua persoalan yang dihadapi oleh umat manusia akan mudah untuk diatasi dan selalu ada solusinya. Karena Islam lahir dari Sang Pemilik jiwa manusia, dunia dan seisinya, paling mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk ciptaan-Nya.


Jika dalam sistem kapitalisme memberi kebebasan bagi individu atau swasta memiliki harta milik individu atau milik umat. Namun hal ini tidak berlaku dalam sistem Islam yang mengatur kepemilikan individu, umat, dan negara sesuai dengan syariat Islam. Negara tidak akan mengambil paksa hak milik individu, seperti konflik agraria yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Sebab Islam menetapkan setiap individu rakyat bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah bersabda, ”Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain)” (HR At Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).


Negara boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan dan kemaslahatan umum dengan keridaan pemilik tanah. Jika pemilik tanah tidak rida, maka negara tidak boleh menggusur paksa apalagi berbuat kezaliman. Namun, jika pemilik tanah rida, maka negara akan memberi ganti  sebagai kompensasi sehingga pemilik tanah tidak mengalami kesusahan dan menjadi rugi.


Keadilan status hak tanah dan pengaturan yang sempurna hanya bisa dirasakan dalam sistem Islam kafah. Karena dalam Islam, negara sebagai pelindung, pengurus dan penjaga, serta bertanggung jawab terhadap semua urusan rakyat. Tidak akan ada celah sedikit pun bagi siapa pun melakukan kezaliman terhadap rakyat, sebab negara senantiasa hadir untuk memberikan pelindungan dan penjagaan. Wallahua’lam.


Oleh Siti Rima Sarinah


Posting Komentar

0 Komentar