Kronisnya Konflik Agraria Jakarta, Warga Kampung Bayam pun Kian Terlunta-lunta



Oleh Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany) 


#Telaah Utama - Pada Senin, 11 Desember 2023 lalu massa yang berasal dari 27 kampung di Jakarta memadati jalan di depan Gedung Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Jakarta Pusat. Massa yang terdiri dari anak-anak hingga orang tua tampak membawa berbagai rupa poster aspirasi. Tulisan aspirasi yang tampak mencolok di antara pendemo diantaranya, "Jalankan Undang-Undang pokok agraria nomor 5 tahun 1960", "Rakyat bergerak untuk reforma agraria perkotaan", hingga tulisan "Warga negara Indonesia berhak bertempat tinggal layak hak asasi manusia" (tempo.co, 11/12/2023). 


Di saat yang hampir bersamaan ratusan massa turut menggeruduk kantor Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat hari ini. Mereka adalah warga yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota Jakarta (JRMK) dan Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu atau FKTMB yang meminta meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta segera menuntaskan program penataan kampung di wilayah khusus Jakarta. Salah satu masalah yang diangkat yakni nasib eks warga Kampung Bayam yang digusur untuk pembangunan JIS (Jakarta International Stadium) dan hingga kini masih belum bisa menempati Kampung Susun Bayam.  


Konflik agraria di wilayah pembangunan JIS berawal setidaknya sejak 2008 di mana Gubernur DKI Jakarta saat itu, Fauzi Bowo, menggusur bangunan-bangunan liar di kawasan Taman Bersih Manusia Wibawa (BMW) dengan luas total sekitar 66.6 hektar tanah. Penggusuran sempat terhenti karena adanya sengketa lahan dengan warga sekitar. Namun rudapaksa kembali santer terdengar pascakonversi Stadion Lebak Bulus menjadi stasiun MRT, yang kemudian Taman BMW masuk menjadi nominasi kuat menggantikan area stadion tersebut. 


Hingga pada 28 Mei 2014, Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu melakukan peletakan batu pertama di lahan Taman BMW untuk memulai pembangunan stadion berskala international yang kini dikenal sebagai JIS. Padahal lahan tersebut masih menyimpan sengketa bahkan dengan PT. Buana Permata Hijau (BPH). Konstruksi pun dihentikan. 


Namun, dua tahun pasca kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi, konstruksi stadion kembali gencar dilakukan, yang di mana proyek tersebut diserahkan kepada PT. Jakarta Propertindo (Jakpro), BUMD DKI. Untuk “menenangkan” warga yang terdampak, Anies Baswedan saat itu memandatkan Jakpro untuk turut membangun dan mengelola Kampung Susun Bayam (KSB) guna mengakomodir warga. Namun nyatanya hingga kini eks warga Kampung Bayam tersebut masih berjuang di tenda-tenda pengungsian di area sekitaran JIS. 


Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) DKI Jakarta mengungkap salah satu alasan eks warga Kampung Bayam belum bisa memasuki rusun KSB adalah karena transaksi non tunai penyertaan modal atau inbreng dalam bentuk lahan KSB kepada BUMD PT Jakarta Propertindo (Jakpro) tak berhasil. Gagalnya proses inbreng tidak lain karena tidak adanya persetujuan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI. Hal inilah yang kemudian berdampak pada mandeknya akses eks warga Kampung Bayam untuk mengisi KSB. 


Selain daripada tidak jelasnya status rusun yang dijanjikan sebagai kompensasi penggantian lahan yang digusur oleh pemerintah, Jakpro pun sempat menjanjikan kompensasi berupa uang tunai kepada warga, dengan rincian sekitar Rp20 juta untuk setiap kafe dan Rp30 juta untuk tiap-tiap rumah yang terdampak. Namun seiring waktu berjalan, disinyalir Jakpro menolak untuk menurunkan sejumlah kompensasi tunai dengan alasan bahwa bangunan-bangunan di wilayah Kampung Bayam adalah illegal. Bahkan dikatakan dokumen pernyataan pemberian ganti rugi bukanlah dokumen resmi dari Jakpro, melainkan hanya secarik kertas data survei milik kedua konsultan Jakpro yang terjun langsung ke Kampung Bayam untuk mencocokkan data. 


Dari kasus Kampung Bayam kita dapat melihat bagaimana nasib rakyat kecil yang begitu mudahnya dipingpong oleh penguasa. Ratusan KK bahkan harus hidup di tenda-tenda pengungsian yang terisolir oleh pagar pembatas JIS. Warga yang dijanjikan untuk relokasi pun tak kunjung dapat mengisi unit-unit di KSB, yang sebetulnya unit tersebut pun dipatok biaya sewa yang tidak murah yakni kisaran Rp715 ribu/bulan. Padahal di saat yang sama, bangunan megah JIS menjulang tinggi lengkap dengan area parkir yang begitu luas namun kosong tak terisi. 


Konflik agraria yang senantiasa terjadi berulang di wilayah “mentereng” Jakarta, sesungguhnya telah merenggut kehidupan orang banyak. Pasalnya konflik agraria menjadi salah satu konflik yang paling kompleks karena menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan manusia, yakni tempat tinggal (papan) dan ruang hidup. Konflik agraria yang mengancam tempat tinggal maupun ruang hidup akan berimplikasi pada keamanan manusia dari bahaya, baik fisik (kesehatan), kelaparan, hingga bencana alam. 


Namun sayang konflik semacam ini justru dari tahun ke tahun kian bertambah seiring dengan ambisi penguasa membangun gedung-gedung pencakar langit ataupun proyek-proyek bercuan nan megah. Terlebih dengan “seksinya” lahan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, industri hingga bisnis di Indonesia, menjadikan banyak mata orang berkantong tebal berburu ikut ambil bagian.  


Terlepas dari ingkar janjinya penguasa atas pemberian kompensasi dari pembangunan besar-besaran yang tengah dilakukan, kasus tersingkirnya eks warga Kampung Bayam untuk pembangunan JIS mengisyaratkan betapa lemahnya rakyat melakukan resistensi atas kezaliman yang dilakukan rezim. Terutama rakyat kecil yang tidak memiliki aset lahan secara “legal” kemudian dianggap seperti halnya “cecunguk” ataupun hama lainnya yang menjadi beban negara. Dari sinilah terlihat jelas betapa minimnya fungsi hakiki kepemimpinan dalam sistem kapitalis-liberal yang meniscayakan penguasa untuk lebih berpihak pada para cuan ketimbang rakyat jelata.  


Padahal konflik agraria yang berkepanjangan seperti halnya yang terjadi di wilayah pembangunan JIS memiliki dampak luar biasa terutama pada anak dan generasi. Sebagaimana ratusan pengungsi di sekitaran JIS yang tidak mendapatkan tempat hidup yang layak, tidak sedikit dari mereka yang kemudian semakin dipersulit dengan minimnya akses air, jalan, hingga pendidikan. 


Tidak hanya itu, korban konflik agraria termasuk di area JIS sering mendapat perlakuan represif dari rezim hingga intimidasi untuk segera keluar dari wilayah yang hendak dilakukan pembangunan. Konflik yang terus berulang pun pada akhirnya merubah sumber penghidupan rakyat terdampak, yang semakin menjerumuskan mereka ke dalam jurang kemiskinan. Jangankan untuk membayar uang sewa KSB sebesar Rp715 ribu per bulan misalnya, untuk makan sehari-hari pun terkadang mereka lewatkan. 


Kondisi mengenaskan korban ketidakadilan konflik-konflik agraria ibu kota pada akhirnya kian memperlihatkan topeng sistem kapitalis-liberal yang sejatinya memang tidak akan pernah berpihak pada rakyat miskin. Sistem kapitalis-liberal hanya menguntungkan para musang berkantong tebal yang ironisnya didukung penuh oleh rezim yang berkuasa. Rezim bahkan mengabaikan hak hidup layak bagi seluruh rakyat tanpa kecuali dengan dalih para rakyat kecil tersebut tidak memiliki hak “legal” secara hukum. Padahal bukankah seharusnya rezim bertanggung jawab penuh atas pemenuhan hak dasar kebutuhan rakyat?                             

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar