#EDITORIAL — Tahun 2023 nyaris berakhir. Sepanjang tahun ini, berbagai kasus konflik lahan seakan tiada henti. Komnas HAM menyebutkan, antara Januari hingga September 2023 saja, terdapat laporan masuk sebanyak 692 kasus konflik atau setara empat kasus setiap harinya.
Angka ini melonjak jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2022 menyebut, sepanjang tahun 2015—2022 atau selama 8 tahun Jokowi memerintah, jumlah konflik lahan yang terjadi “hanya” sebanyak 2.710 kasus. Sedangkan angka yang disebut oleh Komnas HAM (data 2023) pun hanya kasus yang terkait proyek strategis nasional saja. Jadi, belum termasuk kasus konflik lahan di sektor lainnya, seperti sektor properti, perkebunan, kehutanan, agrobisnis/pertanian, pertambangan, fasilitas militer, pulau-pulau kecil, pesisir, dan lain-lain. Jika semuanya dihitung, angkanya tentu akan jauh lebih besar.
Berdampak Luas
Catatan KPA juga menyebut bahwa sepanjang periode 2015—2022 itu, kasus konflik yang terjadi di Indonesia melibatkan lahan yang sangat luas, yakni sekitar 5,8 juta hektar. Adapun jumlah korban yang terdampak juga sangat banyak, yakni sekira 1,7 juta keluarga. Jika rata-rata satu keluarga memiliki minimal empat anggota keluarga, maka jumlah korban keseluruhan diperkirakan ada 6,8 juta jiwa. Di antara mereka tentu ada kaum perempuan dan anak-anak.
Tidak hanya itu, konflik lahan juga kerap diwarnai kekerasan yang berujung kriminalisasi, bahkan memakan korban jiwa. KPA mencatat dalam kasus konflik yang terjadi dalam rentang 2015—2022 tadi, ada 1.615 warga yang ditangkap, 29 meninggal dunia, 77 luka-luka karena tertembak senjata aparat, dan 842 orang lainnya maju ke persidangan. Sungguh menyedihkan.
Terlebih data-data terkait dampak dan korban tersebut belum mencakup kasus yang terjadi pada tahun 2023, padahal Komnas HAM menyebutkan eskalasi kasusnya terjadi secara masif. Bahkan hingga saat ini belum ada data akumulatif yang bisa disajikan, kecuali data kasus per kasus yang jika ditotal, jumlahnya pasti akan sangat besar.
Sebutlah kasus PSN Rempang Eco-City yang sempat fenomenal di tahun ini. Proyek ambisius pemerintahan Jokowi ini akan menggusur paksa 7.500 warga Rempang dari 16 kampung adat yang diperhalus dengan istilah relokasi. Pihak pemerintah pun memasifkan narasi bahwa warga Rempang adalah penduduk ilegal. Padahal nenek moyang mereka sudah tinggal di sana sejak tahun 1843 dan selama ini mereka pun selalu membayar pajak.
Wajar jika warga marah. Namun, sebagaimana sering terjadi, protes besar-besaran masyarakat kerap dijawab dengan kebrutalan dan intimidasi aparat. Hal ini tidak hanya terjadi di Rempang, tetapi terjadi di hampir semua kasus konflik lahan. Kalaupun masyarakat akhirnya diam, kondisinya seperti api dalam sekam. Kasus-kasus tersebut kapan pun bisa menyeruak ke permukaan, bahkan menyulut konflik yang lebih besar.
Semua ini menunjukkan, ada problem besar dan sistemis di balik munculnya kasus-kasus konflik lahan. Mayoritas rakyat yang posisinya lemah harus berkonflik dengan negara atau perusahaan yang sumber dayanya lebih besar dan ndilalah-nya selalu didukung kekuasaan.
Pola hubungan yang tidak imbang ini sering kali membuat rakyat kalah dan memang tidak punya pilihan lain selain mengalah. Mereka dipaksa menerima keputusan relokasi dan ganti rugi yang sejatinya tidak bisa menggantikan ruang hidup dan kehidupan mereka yang terampas.
Betapa tidak, perampasan lahan bukan semata soal ganti rugi yang mesti sepadan, karena lepasnya lahan menyangkut aspek kemanusiaan yang bisa berubah atau hilang. Bukankah dalam kehidupan masyarakat kita, tanah bukan sekadar benda atau harta, tetapi cermin dari kehidupan sosial lahir batin mereka? Pada lahan, ada soal perekonomian, soal kebudayaan, dan pola relasi yang lekat dan tidak bisa tergantikan dengan uang. Itulah kenapa, tidak jarang dari kasus konflik lahan muncul berbagai problem turunan, selain trauma berkepanjangan, juga merebaknya kemiskinan struktural.
Negara Salah Peran
Sebagaimana kasus Rempang, rata-rata kasus konflik lahan yang pernah terjadi di Indonesia belum tuntas diselesaikan alias berbuntut panjang. Padahal kasus yang baru juga terus bermunculan. Misalnya kasus Seruyan, Pubabu, Pohuwato, Kendeng, Rembang, Sukolilo Kendal, Lampung, dan sebagainya.
Terlebih, selain PSN, ada banyak modus baru perampasan lahan yang dilegalisasi UU, seperti pengembangan food estate, pengadaan aset tanah bank tanah, kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN), perdagangan karbon, proyek-proyek berkedok perubahan iklim, dan lain-lain. Adapun pelakunya, lagi-lagi adalah negara yang berkolaborasi dengan para pemilik modal.
Oleh karenanya, tidak bisa dimungkiri bahwa konflik lahan yang terjadi hari ini merupakan konflik struktural, karena pemicu utamanya adalah kebijakan negara yang memihak pada kepentingan pemilik modal. Kebijakan-kebijakan seperti ini lazim terjadi karena negeri ini menganut sistem kapitalisme neoliberal yang lahir dari rahim sekularisme yang tidak kenal nilai moral dan halal haram.
Dalam sistem ini, para pemilik modal yang jumlahnya minoritas diberi ruang sangat besar untuk menguasai berbagai lini kehidupan, termasuk menguasai sebagian besar sumber daya alam. PT HMBP di Seruyan misalnya, nyatanya hanya satu dari 10 perusahaan milik keluarga kapitalis bernama Tjajadi yang bergerak di bidang persawitan sejak 1995.
Kondisi semacam ini nyatanya berlaku pada bisnis yang lainnya, mulai dari properti, pertambangan, energi, pertanian, perikanan, dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan besar terus secara ekspansif melakukan akumulasi modal dengan menguasai sektor hulu hingga ke hilirnya. Tak jarang pula mereka menggunakan cara-cara ilegal atau melakukan pelanggaran aturan terkait pelestarian lingkungan.
Oleh karenanya, sungguh tepat jika digambarkan keadaan mereka seperti gurita yang tentakelnya merambah ke mana-mana, sekaligus seperti lintah yang mengisap darah di tempat dia berada. Adapun posisi mayoritas rakyat benar-benar sangat lemah. Mereka hanya bisa berebut remah-remah kekayaan dan hidup di bawah belas kasih para pemilik modal di tengah dampak buruk lingkungan yang ditimbulkan proyek-proyek padat modal.
Hal ini memang niscaya, karena sistem ini benar-benar mereduksi fungsi kepemimpinan. Alih-alih mengurus dan menjaga rakyat, negara dan penguasa dalam sistem ini justru berposisi sebagai kacung para pemilik modal. Bahkan pada banyak kasus, pengusaha berperan ganda sebagai penguasa. Alhasil kebijakan-kebijakan negara maupun perangkat-perangkat kekuasaan, termasuk aparat keamanan, lumrah mewakili kepentingan para pemilik cuan. Bahkan yang lebih parah, negara justru turut melegitimasi semua kerakusan mereka, sebagaimana tercermin dalam UU Cipta Kerja.
Itulah sebabnya, ketika terjadi kasus-kasus konflik lahan, pihak pemerintah cenderung ada di posisi berseberangan dengan rakyatnya. Tidak jarang pendekatan represif dilakukan hanya demi membela kepentingan para pemilik modal. Wajar jika kezaliman kian telanjang, tanpa ada yang mampu melakukan perlawanan.
Ujung kasus konflik lahan bisa dipastikan akan seragam. Pengusaha tetap menang, sedangkan rakyat hanya bisa bermimpi mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Mereka bahkan harus siap-siap kehilangan tanah warisan dan siap disalahkan oleh generasi pewaris tanah tersebut pada masa depan.
Terbukti pada kasus Seruyan, pengusaha sudah berlaku zalim sebelum bisnisnya berjalan. Pada 2005, seorang warga bernama Hiden menggugat PT HMBP yang dituding melanggar HGU karena merebut lahan miliknya seluas 15 ha. Bahkan pada kasus lain terbukti perusahaan tersebut melakukan pelanggaran karena menimbun danau dan sungai alami demi memperluas area tanam. Namun, hingga sekarang kasusnya terkatung-katung tanpa kejelasan.
Begitu pun pada kasus tanah Rempang. Warga harus kecewa karena MK menolak permintaan berupa uji materi atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan, khsususnya PSN Rempang Eco-City. Padahal jelas-jelas, atas dasar UU tersebut, pemerintah telah bertindak abai terhadap hak-hak dan ketidaksetujuan warga untuk membiarkan tanahnya dirampas pemerintah.
Mandul dan diskriminatifnya sistem produk hukum kita bukan pada kasus ini saja. Bukan rahasia jika hukum Indonesia sudah tidak bisa dipercaya. Negara bahkan kalah oleh mafia, karena mata para pejabatnya sudah banyak yang silau oleh dunia. Lantas adakah yang bisa diharapkan dari sistem hidup dan penguasa sekuler yang seperti ini profilnya?
Negara Islam Mengurus dan Menjaga
Berbeda dengan sistem kapitalisme neoliberal, sistem Islam benar-benar menutup celah pintu kezaliman. Betapa tidak, bangunan negaranya tegak di atas landasan iman dan penguasanya berperan sebagai pengurus dan penjaga. Sementara itu, penopangnya adalah aturan Islam yang bersumber dari wahyu Allah yang jauh dari konflik kepentingan.
Dalam penegakan aturan Islam, penguasa bertindak sebagai pelaksana, sedangkan rakyat sami’na wa atha’na. Keduanya saling menjaga agar suasana taat senantiasa ada hingga jaminan masyarakat adil sejahtera akan muncul dengan sendirinya.
Hal ini terkait fungsi ajaran Islam yang sejatinya datang sebagai solusi problem manusia. Semua aspek kehidupan diatur dengan pengaturan yang harmonis dan sempurna, mulai dari aspek politik, ekonomi, pergaulan, hukum, hankam, dan sebagainya.
Sistem politik Islam memastikan negara punya wibawa dan kemandirian. Sistem ekonomi Islam memastikan negara memenuhi kebutuhan masyarakat dengan level kesejahteraan yang tiada tara.
Bahkan dengan strategi politik ekonomi Islam, negara menjamin kesejahteraan hingga orang per orang. Di dalamnya ada pengaturan soal kepemilikan, pengelolaan dan distribusi harta, termasuk lahan yang menjadi ruang kehidupan seluruh rakyat, sistem moneter dan keuangan negara, dan sebagainya. Adapun untuk menjamin penegakan semua aturan, Islam pun mengatur sistem hukum dan sanksi yang dipastikan memberi rasa adil untuk semua.
Kasus-kasus konflik lahan semacam konflik Rempang, Seruyan, dan lainnya tidak akan terjadi dalam sistem Islam karena penguasanya akan takut jika menjadi sumber kezaliman bagi rakyatnya. Mereka tidak akan berbuat culas hanya demi menyenangkan pemilik cuan, karena bayang-bayang siksa neraka begitu lekat pada pandangannya.
Betul bahwa kepemimpinan Islam tidak akan bebas dari cacat dan cela. Namun, kecacatan itu tidak akan datang dari sistemnya, melainkan datang dari manusia sebagai pelaksananya. Hanya saja keparipurnaan aturan Islam yang ditopang budaya amar makruf nahi mungkar dan sanksi yang tegas akan meminimalkan kasus-kasus penyimpangan aturan. Wajar jika sejarah peradaban Islam begitu sarat dengan kisah sukses dan kebaikan yang tiada bandingan.
Oleh karena itulah, sudah saatnya umat Islam kembali pada fitrahnya. Hidup dalam habitat sempurna di bawah naungan akidah dan hukum Allah dan Rasul-Nya. Tentu mewujudkannya butuh kesungguhan dalam berjuang, karena sistem yang ada punya resistensi tinggi terhadap semua ikhtiar untuk menumbangkannya. [MNews/SNA]
#KapitalismeSengsarakanUmat #KhilafahPerisaiHakiki #IslamSolusi #Khilafah
0 Komentar