Makin Sempitnya Ruang Hidup Manusia Di Jakarta


#Reportase - Pada Ahad di awal bulan Desember, puluhan tokoh muslimah dari Jakarta Bogor dan Tangerang berkumpul untuk membahas tentang Jakarta sebagai ruang hidup beserta segala permasalahan di dalamnya. Diskusi yang mereka lakukan mengangkat tema "Konflik Agraria di Ibukota, Ruang Hidup Rakyat Kecil Semakin Sempit". 

Para tokoh muslimah berbincang dengan hangat dan antusias untuk membicarakan permasalahan Jakarta yang tak juga berkesudahan. Pada acara Forum Group Discussion (FGD) tersebut ustazah Hanin Syahidah sebagai pembicara pertama mengungkap bahwa pada sepanjang bulan Januari hingga Agustus, terdapat sekitar 600 aduan dari masyarakat pada komnas HAM terkait permasalahan ibukota yang menimpa mereka. Jumlah aduan tersebut jika dirata-rata sekitar 4 aduan tiap harinya.

Sengketa lahan termasuk salah satu masalah yang diadukan karena di Jakarta pun terdapat banyak kasus terkait hal tersebut bahkan sudah sejak jaman Suharto.  Ustazah Hanin menyatakan bahwa dengan tingginya konflik agraria di ibukota, justru disana ada perampasan ruang hidup rakyat miskin di ibukota karena yang dimenangkan selalu bukan rakyat kecil. Sehingga hal itu tentu membuat jurang si miskin dan si kaya semakin dalam. 

Kemudian ibu Ira Geraldina sebagai pembicara kedua mengutarakan data-data yang bersumber dari BPS tentang Jakarta dari berbagai sektor. Antara lain sektor ekonomi bahwa pertumbuhan ekonomi di Jakarta merupakan yang paling tinggi di Indonesia. Oleh karenanya tingkat investasi pun paling tinggi. 

Sehingga membuat masyarakat berbondong-bondong hijrah ke ibukota. Itulah yang mengakibatkan Jakarta dijuluki "Big Durian" yang membuat Jakarta makin padat. Pada tahun ini panduduk Jakarta dari hasil sensus penduduk tercatat sekitar 10 juta lebih. 

Sedangkan Ibu Rita Yuliana sebagai pembicara ketiga menyatakan bahwa DKI Jakarta hanya seluas 661,23 km². Dengan luas wilayah hanya 0,04 persen dari luas wilayah Indonesia, namun dihuni oleh 4 persen dari total penduduk. Sehingga bisa dibayangkan padatnya penduduk Jakarta. Walaupun realisasi APBD DKI Jakarta termasuk paling tinggi, yaitu sebanyak 77,99 triliun rupiah, namun tingkat kemiskinan pun juga tinggi. 

Dari jumlah penduduk yang makin lama semakin padat dan tingkat kemiskinan yang kian tinggi, tentunya tidak menutup kemungkinan angka kriminalitas pun sejalan. Terkait hal itu Bu Rita menjelaskan bahwa nilai indikator kriminalitas di DKI Jakarta dilihat dari jumlah kejahatan pada 2022 menurun dibanding tahun sebelumnya. Namun resiko penduduk terkena tindak kejahatan justru meningkat lima kali lipat. 

Sedangkan Ibu Catur Rosidati sebagai penanggap, melihat dari sisi kesehatan atas kemiskinan di kota besar layaknya Jakarta yang terjadi pada masyarakat tergusur dari pengalihan fungsi lahan. Ia menyatakan bahwa masyarakat Jakarta terutama di daerah ‘slum’ menomor sekiankan faktor kesehatan, hal ini pun berhubungan erat dengan pendapatan mereka yang tidak menentu. Sehingga didapati sejumlah 45 persen dari ibu hamil terkena anemia. Sesungguhnya ibu hamil tidak boleh mengalami kekuarangan sel darah merah, hal ini akan mengakibatkan bayi menjadi stunting atau gagal tumbuh. 

Kemudian penanggap yang tinggal di Jakarta Utara, Ibu Anggun melihat dari sisi kebijakan penguasa atas penggusuran yang terjadi di sekitaran Jakarta Utara. Bahwa kebijakan yang ditetapkan untuk rakyat miskin sangat tidak berpihak pada mereka.

Dari berbagai kasus seperti di Plumpang ataupun Sunter membuktikan bahwa maraknya mafia tanah di Jakarta disebabkan oleh penguasa yang lalai terhadap aset rakyat. Seperti pada tahun 2020 lalu di Sunter tercatat sekitar 1300 aset milik Pemda DKI masih dibawah penguasaan pengembang. Hal ini mengakibatkan Pemda tidak dapat memberikan asetnya untuk kepentingan rakyat apabila hal itu diperlukan. 

Sedangkan Ibu Retno Muningar menyoroti tentang keterpengaruhan pembangunan yang terjadi terhadap lingkungan. Aktivitas reklamasi sudah terjadi puluhan tahun sejak tahun 1970an lalu, pengurukan daerah rawa untuk pengembangan Ancol kemudian hal yang sama pada tahun 1995 untuk kebijakan membangun PIK dan berlanjut hingga saat ini. 

Padahal kebijakan reklamasi pantai banyak menimbulkan pro dan kontra, seperti Prof Emil Salim yang saat itu sebagai Menteri Lingkungan Hidup sebagai salah satu orang yang menentang kebijakan ini. 

Namun anehnya terutama kebijakan reklamasi walau sempat ramai lambat laun tenang kembali layaknya reklamasi laut di teluk Jakarta beberapa waktu lalu. Hal ini jelas bahwa kebijakan reklamasi bukan berpihak untuk kepentingan masyarakat banyak, namun kepentingan pengusaha yang dinomor satukan.  

Penanggap yang lain, ibu Septimar Prihartini dari Tangerang melanjutkan bahwa proyek pembangunan PIK 1 dan 2 sesungguhnya bukan berasal dari kebutuhan rakyat. Terlihat dari adanya reklamasi pantai yang terjadi pada awal pembangunannya. 

Walaupun pembangunan kawasan elit di Utara Jakarta itu dirasa menimbulkan efek positif bagi rakyat, namun segi sosial dan moral luput dari perhatian mereka. Saat ini banyak hal negatif dari hal yang tidak disadari oleh mereka seperti peningkatan tingkat pelacuran, bullying, L98T dan masalah sosial lainnya.

Sebagai penutup, ustadzah Hanin menyatakan bahwa carut marutnya masalah dari konflik agraria baik antara penguasa dengan rakyat ataupun pengusaha dengan rakyat yang tentunya melahirkan banyak masalah dari berbagai aspek, hal ini dikarenakan sistem pemerintahan yang digunakan bukanlah menggunakan syariat Islam sebagai landasan. 

Islam sudah mengatur tentang sebab kepemilikan tanah, yaitu dengan jual beli, waris, hibah, menghidupkan tanah mati, memagari dengan batu ataupun dengan pemberian negara. Sehingga siapapun tidak boleh merampas harta milik individu dan haram hukumnya untuk melakukan hal tersebut. 

“Tidak boleh ada monopoli dalam kepemilikan”, ujarnya namun bukan berarti masyarakat tidak boleh kaya. Yang penting ia tidak boleh menguasai kepemilikan umum yang seharusnya dikelola oleh negara kemudian diberikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan, layaknya kesehatan ataupun pendidikan yang gratis.

Wallahu’alam



Posting Komentar

0 Komentar