Oleh Fatimah Azzahrah Hanifah, Alumnus Universitas Indonesia
Terhitung lebih dari sebulan sejak misi Badai Al-Aqsa dilakukan oleh para mujahidin Palestina. Peristiwa 7 Oktober telah berhasil merubah mata masyarakat dunia. Ribuan orang turun ke jalan mengecam tindakan penjahat Zionis Yahudi, mengutuk penjajahan dan genosida yang dilakukannya, serta menuntut kemerdekaan Palestina. Seruan “from river to the sea, Palestine will be free” menggema di jalan-jalan seluruh dunia hingga sosial media. Masyarakat dunia kompak melakukan boikot kepada produk-produk yang mendanai penjajahan dan secara langsung mendukung penjahat Zionis Yahudi.
Peristiwa 7 Oktober turut mengungkapkan kemunafikan negara-negara Barat. Amerika Serikat tanpa ragu berdiri di belakang penjahat Zionis Yahudi, menjanjikan bantuan dana, mengirimkan kapal dan militernya untuk memerangi mujahidin Palestina. Joe Biden memastikan bahwa penjahat Zionis tidak akan pernah sendirian dan Amerika Serikat akan selalu berdiri bersamanya. Pada kedatangannya bertemu dengan penjahat Benjamin Netanyahu, ia mengatakan, “Saya datang ke Israel dengan satu pesan: Anda tidak sendirian. Selama Amerika Serikat berdiri – dan kami akan berdiri selamanya – kami tidak akan membiarkan Anda sendirian” (apnews.com, 18/10/2023).
Maka, bagaimana mungkin kaum Muslim masih berharap pada pemimpin-pemimpin Barat untuk memulai perdamaian? Bahkan PBB tidak jauh berbeda. PBB sebagai organisasi yang menjamin HAM warga dunia pun tidak bisa berbuat banyak atas penjajahan yang terjadi di Palestina. Berbagai kutukan dan resolusi yang dikeluarkan tidak memberikan pengaruh pada penjahat Zionis Yahudi. Melainkan, melanggengkan penjahat Zionis untuk terus mengambil tanah-tanah Palestina sambil terus berdiam diri sembari melihat ribuan bayi dan wanita menjadi korban.
Peristiwa ini juga menunjukkan pengkhianatan para pemimpin negeri kaum Muslim. Setelah lebih dari satu bulan, mereka akhirnya berkumpul dalam KTT Liga Arab dan OKI di Riyadh, Arab Saudi. Namun, pertemuan tersebut nyaris tidak menghasilkan apa pun selain kecaman dan kutukan sambil terus bermesraan dengan penjahat zionis dan pemimpin-pemimpin Barat yang mendukung kejahatan tersebut.
Kazakhstan, Nigeria, dan Azerbaijan memasok lebih dari 50% minyak bumi kepada penjahat Zionis. Yordania dan Turki menjual pasokan air untuk penjahat Zionis. Negeri-negeri kaum Muslim membiarkan jalur perlintasannya digunakan oleh Amerika Serikat untuk membantu penjahat Zionis. Arab Saudi, Qatar, Kuwait, UAE dan Turki mendirikan pangkalan-pangkalan militer AS dan memudahkan AS untuk masuk ke Timur Tengah.
Pengkhianatan selanjutnya terlihat dari posisi mereka yang membiarkan nasib Palestina pada solusi yang diinginkan negara-negara Barat yaitu solusi dua negara ‘two state solution’. Padahal solusi ini sama saja mengakui keberadaan penjahat Zionis Yahudi yang secara terang-terangan menjajah tanah Palestina. Mereka memalingkan diri atas seruan pengiriman pasukan ke wilayah Palestina. Bahkan untuk melakukan embargo minyak saja mereka enggan.
Inilah sikap pengecut yang ditampakkan oleh penguasa-penguasa kaum Muslim. Mereka beretorika, mengecam, dan mengutuk tindakan penjahat Zionis di mimbar-mimbar kekuasaan mereka, sambil mencukupkan diri menghitung korban-korban dan mengirim bantuan kemanusiaan. Padahal di tangan merekalah amanah kekuasaan mengurusi kaum Muslimin ada dan di belakang mereka terdapat sederet potensi kekuatan militer. Sungguh, berlarutnya penderitaan kaum Muslim khususnya Palestina adalah akibat dari penguasa-penguasa yang berkhianat.
Sudah disepakati bersama bahwa akar persoalan Palestina adalah penjajahan yang dilakukan oleh penjahat Zionis Yahudi di atas tanah Palestina yang sudah berlangsung selama kurang lebih 75 tahun. Maka, sudah selayaknya penjajah diusir dari tanah tersebut sehingga satu-satunya solusi adalah memerangi mereka dengan jihad fi sabilillah melalui pengiriman pasukan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kaum muslim. Sebagaimana seruan Allah SWT dalam firman-Nya:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian” (TQS al-Baqarah [2]: 191).
Sementara itu, satu-satunya yang menjadi penghalang nyata atas solusi Palestina adalah keberadaan sekat-sekat nasionalisme di negeri-negeri kaum Muslim (nation state). Nasionalisme bukan hanya telah memecah belah kaum Muslim namun juga melemahkan mereka. “Umat muslim bagaikan satu tubuh” sebatas menjadi slogan akibat nasionalisme. Akhirnya persoalan Palestina hanya menjadi persoalan masyarakat Palestina saja. Bukan persoalan seluruh kaum Muslim beserta penguasa-penguasanya dan tentara-tentaranya.
Dalam buku “Malapetaka Runtuhnya Khilafah” karya syekh Abdul Qadim Zallum, salah satu yang menjadi penyebab kemunduran kaum Muslim dan perpecahannya adalah munculnya ide nasionalisme yang disebarkan oleh orang-orang Barat dalam rangka meruntuhkan Khilafah Islam sejak 1625 M. Targetnya adalah generasi muda berkedok penyebaran ilmu pengetahuan dalam diskusi-diskusi intelektual.
Generasi muda saat itu berusaha dijauhkan dari atmosfer pemikiran Islam dan dicekoki dengan pemikiran-pemikiran Barat meliputi nasionalisme dan sekularisme sehingga menjadikan mereka ragu dengan akidahnya dan agama Islam. Kemunduran pemikiran pada kaum Muslim saat itu menjadi salah satu faktor keruntuhan Khilafah Islam tahun 1924 M. Sejak keruntuhan tersebut, negeri-negeri kaum Muslim mulai dijajah oleh kolonialisme Barat dan kemudian merdeka dengan sekat negara-bangsa.
Jika ide nasionalisme nyatanya memecah dan melemahkan kaum Muslim serta menghalangi pengiriman militer untuk menyelesaikan persoalan Palestina. Maka, sudah saatnya kita membutuhkan persatuan umat dalam ikatan ideologi Islam untuk menyelesaikan persoalan ini. Persatuan umat tidak mungkin terwujud dalam bingkai nation state seperti sekarang. Namun, hanya akan terwujud dalam naungan Khilafah Islamiyyah yang menjadikan akidah Islam sebagai asas negara yang akan menghadirkan pemimpin-pemimpin tegas dan berani seperti Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra dan Sultan Abdul Hamid II dalam melindungi tanah Palestina. Serta melahirkan panglima-panglima terbaik seperti Shalahuddin Al-Ayyubi yang berdiri di garis terdepan menaklukan tanah Palestina.
Wahai generasi muda Muslim! sekarang saatnya kalian berperan dalam membebaskan tanah Palestina. Sudah saatnya generasi muda Muslim berjuang mengembalikan persatuan Islam di bawah panji Al-Liwa dan Ar-Rayah dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Akan tetapi, perubahan peradaban ini tidak akan terwujud tanpa adanya revolusi pemikiran. Maka, pembebasan Palestina haruslah dimulai dengan melepaskan ide-ide Barat seperti nasionalisme dan sekularisme beserta turunannya, kemudian menggantinya dengan ide-ide Islam. Sebab, pembebasan lahan tidak akan terwujud sebelum adanya pembebasan pemikiran. Sebagaimana nasihat yang dikatakan oleh Prof. Dr. Abdul Fattah El Awaisi, “Liberation of mind is before liberation of land.”
Generasi muda Muslim harus menggenggam akidah Islam dengan kuat, mempelajari seluruh syariat dan ide-ide Islam. Kemudian menjadikannya pedoman hidup dalam berpikir dan beramal. Selanjutnya, ide tersebut disebarkan kepada seluruh kaum Muslim agar persatuan umat dan kemenangan Islam dapat segera terwujud. Ingatlah janji Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (TQS Muhammad [47]: 7).
0 Komentar