Oleh:
Titin Kartini
Rawan pangan dan gizi, sungguh miris membaca berita ini. Banyaknya
masyarakat yang kekurangan gizi tentunya hal ini sangat berdampak pada
anak-anak, dimana mereka lebih rawan terkena gizi buruk jika kekurangan asupan
makanan bergizi. Salah satu indikator rawan pangan dan gizi, dapat dilihat dari
angka Prevalence of Undernourishment (PoU). Penduduk Indonesia pada
tahun 2022 mengonsumsi energi (kalori) kurang dari standar minimum untuk hidup
sehat, aktif dan produktif, dimana masih dibawah target dalam RPJMN dan target
SDGs ke-2.
Untuk mengatasi hal tersebut, Badan Pangan Nasional/Nation Food
Agency (NFA) menginisiasi kegiatan Gerakan Edukasi dan Pemberian Pangan
Bergizi untuk Siswa (GENIUS) dengan sasaran sebanyak 25 ribu anak Sekolah
Dasar.
Pemberian pangan bergizi akan berlangsung selama 20 hari. Pemberian
pangan bergizi ini bertujuan agar siswa/siswi memakan makanan yang bergizi, dan
mengurangi jajan di Pedagang Kaki Lima (PKL) di luar sekolah serta dalam upaya
mewujudkan generasi emas 2045.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Kota Bogor, Hanafi
berharap ke depan kegiatan GENIUS ini bisa memberi bantuan pangan melebihi 471
siswa/siswi sehingga bisa lebih terasa manfaatnya untuk Kota Bogor. Ketua DWP
Bapanas, Lumin Tuningtyas Sarwo Edhi mengapresiasi Bapanas karena telah
mengimigrasi GENIUS 2023 di Provinsi Jawa Barat, yakni di 5 Kabupaten/Kota,
yaitu Kota Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Indramayu,
dan Kabupaten Sukabumi. Ia pun mengapresiasi Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian Kota Bogor yang telah berkolaborasi dengan Asosiasi Institut
Pendidikan Tinggi Gizi Indonesia (AIPGI) atas pelaksanaan kegiatan GENIUS di
Kota Bogor. (kotabogor.go.id, 22/11/2023)
Masyarakat tentunya mengapresiasi kegiatan GENIUS, namun kegiatan
ini hanyalah berlangsung selama 20 hari disertai edukasi kepada siswa, orang
tua, dan guru tentang menu kudapan yang bergizi. Lantas bagaimana selanjutnya,
sudah tentu diserahkan kembali kepada masyarakat yang akhirnya beban itu tetap
pada pundak rakyat. Kita tak bisa menutup mata dan telinga jika saat ini kehidupan
masyarakat teramat sulit. Mungkin saja mereka pun paham akan kudapan bergizi
untuk sang buah hati, tetapi keadaan tidak memungkinkan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Alhasil bagi masyarakat cukup dengan kata "asal
kenyang". Apakah bergizi atau tidak, tak terlalu mereka hiraukan.
Peribahasa "jauh panggang dari api" jelas menggambarkan
keadaan masyarakat saat ini, karena negara tidak sepenuhnya meriayah (mengurus)
rakyat. Peran negara hanya sebagai regulator saja. Ada banyak faktor yang
menyebabkan masyarakat kian 'lalai' akan gizi generasi. Salah satunya adalah
tingkat kemiskinan yang semakin meningkat, seiring dengan makin meningkatnya
biaya hidup, sementara pendapatan tidak sepadan dengan pengeluaran.
Hal inilah yang menyebabkan gizi buruk pada generasi, bukan karena
kurangnya edukasi. Maka kemiskinanlah yang seharusnya diperhatikan dan diatasi
dengan cepat. Nyatanya kebutuhan komunal masyarakat seperti kesehatan,
pendidikan, keamanan, pengadaan listrik dan air bersih, transportasi, dan lain
sebagainya dibebankan kepada individu rakyat, bukan dipenuhi oleh negara yang
seharusnya bertindak sebagai pelayan rakyat. Hal ini diperparah dengan
kebutuhan dasar personal seperti sandang, pangan, dan papan yang semakin
membelit rakyat dan tanpa adanya jaminan pemenuhannya oleh negara.
Indonesia negeri yang kaya raya, akan tetapi kemiskinan kian
merajalela. Mahalnya biaya hidup dan kebutuhan masyarakat kian tak terjangkau.
Minimnya peran negara menjadi penyebab utama hal ini terjadi, karena sistem
saat ini memang bukan sistem yang mampu memberikan keamanan, kenyamanan, dan
kesejahteraan bagi rakyat. Hadirnya pemimpin bukan sebagai seseorang yang
bertanggung jawab lahir batin untuk rakyat. Sistem kapitalisme yang bercokol
saat ini dengan asas manfaat, menjadikan penguasa bekerja lebih banyak untuk kepentingan
pribadi maupun golongannya. Padahal Rasulullah saw. bersabda "Imam
(kepala negara) itu laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggung jawab
terhadap (urusan) rakyatnya" (HR Bukhari).
Negara wajib memenuhi kebutuhan rakyat lahir batin, dalam artian
kebutuhan komunal terjamin begitu pun kebutuhan dasar individu per individu.
Namun itu bisa terjadi jika negara mengambil alih semua sumber daya alam (SDA)
yang sejatinya adalah milik umat (rakyat). SDA tersebut dikelola oleh negara
dan dipergunakan untuk kepentingan rakyatnya. Inilah yang tidak mungkin terjadi
dalam sistem kapitalisme sekuler karena negara justru menyerahkan potensi SDA
kepada asing, aseng, maupun individu untuk dikelola mereka. Alhasil rakyat
harus membeli segala kebutuhannya dengan harga mahal.
Masih adakah harapan bagi rakyat untuk hidup sejahtera dan tidak
terbelenggu dalam kemiskinan? Tentu saja harapan ini bukanlah hal mustahil untuk
bisa diwujudkan. Semua itu bisa terjadi dengan mengganti sistem kehidupan
dengan sistem yang berasal dari Sang Pencipta, yang tentunya lebih mengetahui
yang terbaik untuk ciptaan-Nya. Dan satu-satunya sistem itu adalah sistem Islam
yang kita kenal dengan khilafah. Bukti sejarah pun telah mencatat kegemilangan
peradaban Islam dengan tinta emas. Bahkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul
Aziz tak ada seorang pun rakyatnya yang mau menerima zakat, hal ini disebabkan
rakyat telah sejahtera baik lahir maupun batin. Serta hadirnya pemimpin yang
mampu menjadi garda terdepan melindungi, mengayomi, mengurus semua kebutuhan rakyat.
Alhasil, hanya dengan penerapan sistem Islam, ketahanan pangan bisa terwujud.
Kondisi rawan pangan dan gizi tidak akan terjadi lagi karena negara khilafah
mengambil perannya secara langsung demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Wallahu
a'lam.
______
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya,
Follow kami di :
Website : https://muslimahjakarta.net
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar