Rohingya dan Cita-Cita Perdamaian Dunia




Oleh Safina An-Najah, Aktivis Muslimah


Jagad maya dihebohkan tentang aksi penolakan pengungsi Rohingnya. Sebagian warga Aceh menolak memberi suaka kembali kepada mereka. Selain karena terus berdatangan hingga tercatat ribuan juga karena masyarakat lokal harus merasakan getah dari kriminalitas yang dilakukan oleh mereka (CNN Indonesia, 7/12/2023).


Namun, yang menjadi polemik adalah munculnya aktor-aktor penebar kebencian sehingga membuat jagad media sosial ricuh dan keruh. Tak bisa ditepis bahwa memang ada pihak-pihak yang bermain dan disetir oleh kepentingan politik tertentu. Di antaranya juga digemakan oleh influencer-influencer yang asal bunyi dan tak memahami duduk perkara serta pokok persoalan. Bahkan cenderung bermain pada narasi provokatif dan krisis data. Tidak sedikit kabar hoaks dan disinformasi menjadi penyulut gejolak netizen yang akhirnya menciptakan respon rasial, nirempati dan represif. Sehingga konflik horizontal pun tak terbendung. 


Sungguh ironis dan dilematis. Di satu sisi warga Aceh resah berhak hidup aman tanpa beban, juga bukan kapasitas mereka menanggung ribuan pengungsi. Namun di sisi lain kita tak bisa menyalahkan mereka yang mencari suaka. Pengungsi Rohingya hingga kini terkatung-katung akibat pengusiran di negeri asalnya. Dunia pun tidak mampu memberikan solusi tuntas. Apalagi tidak semua negara meratifikasi konvensi tentang pengungsi termasuk Indonesia. Persoalan penting lain yang terjadi adalah mereka saat ini tidak memiliki status kewarganegaraan atau stateless.  Mereka juga memiliki resiko menjadi korban TPPO.


Refugee is a complex problem. Ini adalah momok peradaban modern kapitalisme. Nyatanya kemajuan global yang dikomandoi oleh negara adidaya pengusung demokrasi tak mampu menciptakan perdamaian dunia secara total. Bencana kemanusiaan berupa penindasan, penjarahan, pembantaian, genosida tetap eksis saat ini, bahkan sengaja diciptakan demi keuntungan oligarki. Ini yang seharusnya menjadi perenungan bersama bahwa nasionalisme hanya memasung kita dalam keterpurukan. Sekat dan batas teritorial pada akhirnya membuat buntu persoalan. 


Terbukti hari ini pemimpin Muslim tak mampu mengintervensi langsung genosida yang dilakukan oleh Myanmar karena khawatir akan kepentingan nasional mereka. Bahkan nasionalisme membuat sebagian masyarakat melihat persoalan Rohingnya menjadi bahan dehumanisasi. Generalisasi dan simplifikasi masalah membuat mereka menganggap Rohingnya layak mati karena bukan warga negara asli, maka tak perlu repot-repot dilindungi. Sungguh paham yang benar-benar destruktif.


Kepemimpinan Islam Global Adalah Solusi Hakiki


Problem Rohingnya yang sistematis tidak akan pernah selesai dengan solusi tambal sulam ala kapitalisme. Cita-cita perdamaian dunia dan kesejahteraan manusia yang diwujudkan oleh kapitalisme ibarat menegakkan benang basah. Sungguh utopis jika kepentingan segelintir kelompok masih bermain dalam cita-cita besar ini. Oligarki global hanya membuat dunia ini semakin rusak demi hasrat dan kerakusan para elit mengeruk kekayaan dunia.


Oligarki global akan terus menggerakkan dan mengatur dunia selama kaum Muslimin masih mau menggunakan nasionalisme sebagai asas bernegara mereka. Konsep nation state sendiri adalah konsep baru yang bahkan usianya belum genap satu abad, namun daya rusaknya mengalahkan sistem-sistem sebelumnya. Multi krisis menimpa dunia, di antaranya bencana kemanusiaan yang tak kunjung sirna, dan Rohingnya yang menjadi korbannya.


Sudah saatnya kaum Muslimin bersatu di bawah kepemimpinan global, yakni khilafah. Khilafah terbukti secara historis dan empiris mampu mengatasi bencana kemanusiaan. Soal krisis pengungsi dunia, hanya khilafah yang mampu memberikan solusi tuntas.


Sejarah menggambarkan bahwa khilafah selalu dalam kondisi tangan terbuka memberikan bantuan pada siapapun yang membutuhkan pertolongan. Baik Muslim atau non-Muslim, warga negara atau bukan. 


Sebagaimana yang dinyatakan Prof. Dr. Thomas W Arnold dalam bukunya, rakyat Bosnia memohon perlindungan kepada Khalifah Utsmani karena mereka dianiaya oleh raja mereka sendiri. Juga ketertindasan rakyat Spanyol oleh kekuasaan Romawi, kemudian Khilafah mampu membebaskan mereka dari keterpurukan. Bahkan membangun peradaban yang agung di sana, Al-Hambra bukti nyata kejayaannya. Dan berderet kisah kegagahan khilafah dalam menghadapi kelaliman penguasa yang menyebabkan pelecehan martabat manusia. Inilah rahmatal lil alamin yang dimaksud. Rahmat yang aktif dalam menciptakan perdamaian dunia, bukan pasif.


Pengungsi Rohingya akan mendapatkan jaminan keamanan dan perhatian termasuk kewarganegaraan jika ada Khilafah karena Khilafah akan menjadi pelindung setiap muslim dimanapun berada apalagi yang mendapatkan kedzaliman. Khilafah Islam menjadi perisai dan pelindung setiap muslim, bahkan akan membela dengan mengerahkan kekuatan pada negara yang melakukan kedzaliman karena darah kaum muslimin harus dijaga kemuliaannya.

Posting Komentar

0 Komentar