Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#Telaah Utama- Menjelang perhelatan pesta demokrasi 2024, dinamika politik tanah air kian bergejolak. Seperti pemilu di tahun-tahun sebelumnya, konflik antar paslon capres-cawapres yang bertanding hingga kalangan grassroot (akar rumput) semakin memanas seiring semakin dekatnya waktu pencoblosan. Tiga (3) kubu paslon yang akan saling berhadapan dalam pemilu mendatang tak henti-hentinya berusaha menjatuhkan lawan dan menunjukkan dirinyalah yang paling pantas untuk memimpin Indonesia dalam 5 tahun ke depan.
Namun sekalipun demikian sengitnya perhelatan politik tanah air, tidak kemudian menutup kemungkinan adanya praktik saling sikut dan saling tikung. Terbukti dari paslon nomor urut 1 dan 3 yang kian hari kian menunjukkan “kemesraan” dengan dalih “membuka peluang komunikasi”. Kemesraan yang ditunjukkan kedua paslon dan partai-partai pengusungnya adalah hal yang “wajar” mengingat perkembangan politik yang saat ini diprediksi lebih menguntungkan pihak lawan kedua belah pihak, yakni paslon nomor urut 2, yang dalam beberapa survei elektabilitasnya dianggap telah mencapai angka 45%.
Jusuf Kalla (JK), wakil presiden ke-10 dan ke-12 RI, misalnya menyatakan bahwa ada kecenderungan pemenang kedua dan ketiga dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) untuk membentuk koalisi baru dalam putaran kedua pemilu (cnbcindonesia.com, 12/01/2024). Hanya saja koalisi tersebut bersifat temporal karena wacana ini hanya akan dapat terwujud jika Pilpres berlangsung 2 putaran. Artinya, jika ternyata Pilpres hanya berlangsung 1 putaran, koalisi paslon nomor urut 1 dan 3 akan bubar dengan sendirinya.
Kemungkinan munculnya koalisi baru antara pasangan Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud pun di’amin’kan oleh cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Sekalipun sebelumnya Cak Imin sempat berujar dirinya tak terlalu memikirkan soal koalisi dengan PDIP di putaran kedua Pilpres, namun masih di hari yang sama pada Rabu (10/01/2024), Cak Imin justru seolah memberikan sinyal positif pembentukan koalisi baru bersama PDIP (detik.com, 11/01/2024). Ia bahkan sempat terlihat memberi ucapan HUT PDIP ke-51 bersama Anies Baswedan.
Spekulasi adanya koalisi baru para partai pengusung paslon 1 dan 3 semakin menguat setelah Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Puan Maharani, mengakui adanya jalinan komunikasi antara kedua pasangan. Ia bahkan berkelakar bahwa membangun sebuah bangsa harus dilakukan secara “gotong-royong", tidak mungkin “sendirian” (rakyatcirebon.disway.id, 15/01/2024).
Dari sikap “plin-plan” dan saling tikung para capres-cawapres seperti di atas sudah menunjukkan dengan jelas bagaimana para calon pemimpin negeri ini memang tidak memiliki niat untuk memimpin Indonesia. Para paslon dengan mudahnya bisa merubah niat dan gagasan mereka di tengah jalan tanpa rasa malu. Bahkan tidak jarang pihak yang sebelumnya menjadi oposisi, di kemudian hari justru bisa menjadi pendukung yang paling “setia” dari rezim yang tengah berkuasa.
Aksi saling tikung dan saling sikut memang sudah biasa terlihat dalam sistem pemerintahan demokrasi-kapitalis. Sebagai contoh saja, bagaimana Presiden Jokowi yang kini tengah memimpin Indonesia melakukan manuver politik pada periode-2 kekuasaannya dengan merangkul lawan politiknya yang justru dulu menjadi pihak oposisi, yakni Prabowo Subianto. “Kemesraan” rezim yang tengah berkuasa dengan paslon yang “didukungnya” kian terlihat nyata dengan ditunjuknya Gibran Rakabuming sebagai calon cawapres Prabowo pada pemilu 2024.
Disandingkannya nama Gibran dalam perhelatan Pilpres mendatang bersama Prabowo bukanlah tanpa maksud dan tujuan. Prabowo secara terbuka mengharapkan pengaruh Jokowi untuk memenangkan pesta demokrasi secara telak. Setidaknya ada 2 (dua) alasan riil mengapa Prabowo membutuhkan pengaruh Jokowi. Pertama, Jokowi masih memegang suara para projo yang cukup fanatik dan jumlahnya tidaklah sedikit. Kedua, yang harus dipahami dan tidak dapat dipungkiri adalah adanya kemungkinan campur tangan kekuasaan seperti halnya penggunaan state financial resources (sumber daya keuangan negara), penggunaan state facilities (fasilitas negara), penggunaan birokrasi, dan lain sebagainya untuk memenangkan pemilu 2024.
Di sisi lain, aksi “mesra” yang dipertontonkan paslon 1 dan 3 kian menunjukkan betapa “murahnya” visi misi serta idealisme partai. Bahkan sekalipun partai-partai pengusung kedua paslon cenderung memiliki “ideologi” yang berbeda, seperti halnya PKS dan PDIP yang cukup berseberangan dalam menanggapi isu-isu Islam, tetap saja perekat tiap-tiap parpol dalam koalisi hanyalah berdasarkan kepentingan. Parpol tidak akan segan-segan menggadaikan janji-janji mereka selama kampanye sekedar untuk mendapatkan jatah kursi dalam 5 tahun mendatang.
Seperti inilah “bopeng” demokrasi yang mengedepankan “riasan tebal” untuk menutupi wajah asli para oligarki. Di mana oligarki adalah sekelompok elite bisnis yang memiliki akses terhadap kekuasaan sehingga mereka mampu memengaruhi pembuatan regulasi di suatu negara. Oligarki bahkan memiliki uang, kerajaan media, jaringan, dan posisi di partai, atau sumber daya untuk menciptakan partai baru yang memungkinkan mereka mendominasi sistem pemerintahan demokrasi yang tengah atau akan berkuasa dan menerapkan strategi untuk mempertahankan kekayaan di luar teater politik. Celakanya lagi, demokrasi justru dijadikan sebagai alat untuk merampok negeri.
Alam demokrasi-kapitalis kemudian membiarkan oligarki terus tumbuh dan menggurita. Yang kemudian oligarki tersebut justru memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan para paslon, terlepas siapa pasangan capres-cawapres yang akan menang nantinya. Karena sejatinya ruang Pilpres tidak akan pernah mengubah sistem demokrasi yang rusak, melainkan sebatas mengganti aktor politik semata.
Di sisi lain, mindset politik para pemimpin negeri ini hanyalah persoalan menang dan kalah. Debat antar capres dan cawapres yang begitu sengit dilakukan secara live di layar televisi pun sekedar ajang untuk menipu rakyat. Karena sejatinya dalam sistem demokrasi-kapitalis, para politisi terbiasa menjadi penipu rakyat yang senantiasa berpura-pura perduli nasib wong cilik dengan janji-janji manisnya. Mereka juga lihai menutupi borok-borok mereka dengan riasan pencitraan yang dianggap akan disukai oleh para calon pemilih dan pemilu mendatang.
Gagasan-gagasan yang para paslon lontarkan tidak jarang hanyalah angan-angan yang sulit ataupun bahkan mustahil untuk direalisasikan dalam pusaran alam demokrasi, seperti misalnya ilusi pembangunan 40 kota selevel Jakarta, pertumbuhan ekonomi mencapai 7% di tahun 2025 hingga pemberian susu dan makan siang gratis untuk mengatasi stunting. Yang celakanya, mayoritas gagasan yang diungkapkan ketiga paslon justru tidak menyentuh akar masalah kesengsaraan rakyat semisal kemiskinan akut, kelaparan, kekurangan gizi, korupsi, tingkat kriminalitas tinggi, hingga kenakalan remaja dan pergaulan bebas.
Dari sini kita dapat melihat bagaimana dalam sistem demokrasi-kapitalis, parpol dan politisi akan menghalalkan segala cara demi meraih simpati publik. Cara-cara kotor dan jauh dari kata elegan sering pula membersamai pesta demokrasi. Sedangkan parpol dan para petugas partai hanyalah kuda troya guna memuluskan kepentingan oligarki semata. Di mana koalisi yang dibangun tidaklah diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat melainkan sekedar negosiasi berbagai kepentingan. Dan koalisi berfungsi sebagai landasan setiap partai yang bermain untuk bagi-bagi kue kekuasaan melalui berbagai kontrak politik.
Wajah penuh “bopeng” perpolitikan negeri ini seharusnya memberi pelajaran bagi umat betapa bobroknya sistem demokrasi-kapitalis dalam mengurusi urusan rakyat. Kondisi memprihatinkan semacam ini akan terus berulang selama sistem rusak demokrasi tetap dipertahankan, sekalipun di setiap pemilu “aktor pemain” kekuasaan silih berganti. Hingga pada akhirnya umat harus membayar mahal dengan tidak adanya kemampuan untuk meraih kesejahteraan dan kemakmuran hakiki dalam bingkai demokrasi-kapitalis-liberal.
Padahal Allah Swt. telah menggariskan tiap-tiap pemimpin dengan tanggung jawab yang besar dalam upayanya menyejahterakan umat. Di mana seluruh parpol yang ada sepatutnya berperan dalam menciptakan atmosfer politik Islam di tengah-tengah masyarakat dengan mengedepankan aktivitas amar ma’ruh nahyi munkar bahkan terhadap para penguasa. Parpol yang diridhai Allah Swt. adalah institusi pemikiran (qiyan fikr) yang bertugas melakukan pembinaan dengan tujuan untuk mendidik dan membina kader serta menghasilkan SDM unggul kualitas negarawan, tanpa melupakan fungsinya dalam memuhasabahi penguasa.
Berbeda dengan sistem politik busuk demokrasi yang penuh intrik dan bersifat oportunis materialistis, parpol yang ada sepatutnya bertujuan hanya demi kemaslahatan umat, bukan kepentingan golongan apalagi elite politik. Dengan penerapan sistem politik Islam, tidak tersedia ruang dan kesempatan bagi mereka yang serakah, penuh tipu daya, dan bersifat merusak untuk ikut andil dalam mengurusi urusan rakyat. Patutlah kita berkaca pada sabda Rasulullah saw., “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia. Pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan. Amanah diberikan kepada pengkhianat. Orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut berbicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab,“Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum” (HR Ibnu Majah). Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar