Hentikan Kebrutalan terhadap Muslim Rohingya, Apa Peran Dunia?



Oleh Annisa Al Munawwarah 

(Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)


Dari Cox’s Bazar, pantai tenggara Bangladesh, muslim Rohingya menyebrangi lautan menuju Indonesia. Dengan perahu reyot dan minimnya suplai makanan, mereka telah melewati 1.800 kilometer hingga sampai dengan selamat. Tercatat telah masuk 1.600 orang masuk wilayah Aceh, yang tersebar di Kota Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe. (kompaspedia.kompas.id, 20/12/2023)

Dengan perjalanan yang begitu jauh dan tak tentu arah, muslim Rohingya banyak yang meninggal di lautan. Mereka dikenal sebagai “manusia perahu”, sebab begitu lama terlunta-lunta di laut karena tak segera mendapatkan tempat penampungan, mencari keamanan dari rezim yang zalim, Junta militer Myanmar. 


Mengapa Indonesia?

Muslim Rohingya yang kini banyak mengungsi ke Indonesia adalah penduduk yang tinggal di Rakhine, sebuah negara bagian yang berada di pantai barat Myanmar. Rakhine sendiri dulu bernama Arakan. Pegunungan Arakan dengan ketinggian mencapai 3.063 meter di Puncak Victoria memisahkan Negara Bagian Rakhine dengan Myanmar pusat. 

Selama beberapa dekade mereka telah mengalami kekerasan struktural, hingga akhirnya harus mencari tempat, di mana pun itu, di dunia yang aman bagi mereka. Kedatangan muslim Rohingya ke garis pantai Indonesia dan beberapa negara tetangga lainnya seperti Malaysia dan Thailand diduga telah dijadikan tempat mencari suara di tengah dunia yang tidak melakukan apa-apa.

Sesungguhnya tidak ada alasan khusus mengapa Indonesia menjadi target kedatangan muslim Rohingnya. Tekanan yang tinggi dari pemerintah Myanmar yang telah memaksa mereka untuk mencari suaka demi menyelamatkan kehidupan.

Indonesia juga bukan negara yang menandatangai perjanjian multilateral untuk memberikan suaka kepada para pengungsi. Namun dengan kerendahan hati, mengedepankan unsur kemanusiaan, Indonesia sejak lama menampung pengungsi Rohingya bahkan pengungsi dari negara lainnya. 

Negara-negara seperti Inggris, Australia, Austria, Brazil, Kanada, Mesir, Prancis, Jerman, Belanda dan Turki merupakan pihak yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 yang menetapkan hak-hak individu untuk menerima suaka sekaligus tanggung jawab negara yang menerima suaka. Namun negara-negara ini tidak bergeming, bahkan tidak bisa menekan Junta Militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan struktural tersebut. (cnnindonesia.com, 8/1/2024)


Apa yang Terjadi terhadap Muslim Rohingya?

Sebuah jurnal berjudul “Kebijakan Diskriminatif terhadap Kelompok Minoritas Rohingya di Myanmar” yang terbit di Jurnal Kebijakan Publik Vo. 1 No. 1 Maret 2016 menjelaskan akar permasalahan yang terjadi kini terhadap muslim Rohingya. Bahwa sejak kemerdekaan Myanmar tahun 1948, telah terjadi penganiayaan skala besar melalui pembersihan etnis dan tindakan genosida terhadap muslim Rohingya.  

Sekitar 1,5 juta muslim Rohingya dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka. Mereka akhirnya menjadi etnis yang rentan terhadap tidak adanya status kewarganegaraan, perlakuan tidak adil, dikucilkan, bahkan dianiaya. Sehingga, sejak tahun 1978, ratusan ribu muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar menuju negara-negara tetangga. 

Pemerintah Myanmar melakukan berbagai upaya untuk mencabut status kewarganegaraan muslim Rohingya, baik melalui Union Citizenship Act tahun 1948, maupun melalui Burma Citizenship Law Tahun 1982. Muslim Rohingya hanya diberikan kesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai warga asing yang menyebabkan mereka sulit memperoleh pendidikan serta kesempatan kerja. Sebagai stateless person, muslim Rohingya tidak memiliki hak secara hukum atas tanah dimana mereka tinggal dan bekerja. 

Sejak tahun 1995 hingga 2010, pemerintah Myanmar memaksa muslim Rohingya untuk keluar dari Myanmar tanpa membawa harta benda mereka. Bahkan pemimpin desa di Arakan mengusir muslim Rohingya untuk meminimalisir tegangan antara muslim Rohingya dengan etnis Rakhine.

Dua operasi besar yang sangat menyiksa kehidupan muslim Rohingya adalah operasi militer nasional Naga Min ata Dragon King yang dilakukan pada tahun 1977 serta operasi Nasaka. Operasi Naga Min menyebabkan aksi pembunuhan, pemerkosaan, serta kegiatan offensif lainnya sehingga mengakibatkan 200.000 orang muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. 

Adapun operasi militer Nasaka hingga saat ini masih berjalan dan mengawasi setiap arus masuk pengungsi ke Myanmar melalui wilayah perbatasan di Arakan Utara. Nasaka mengawasi pergerakan pengungsi dari Arakan Utara menyebrangi sungai Naf menuju Bangladesh dan sebaliknya. 

Dalam sejarah Myanmar, muslim Rohingya sesungguhnya sempat diakui keberadaannya, sebab pernah ada perwakilan Rohingya di Parlemen pada masa kepemimpinan U Nu, yakni Sultan Mahmoud sebagai Menteri Kesehatan. Namun, setelah digantikan oleh Ne Win pada 1962, rezim Junta Militer, muslim Rohingya mulai terusir dengan adanya operasi-operasi militer yang terorganisir.

Maka, dengan melihat fakta di atas, apa bedanya muslim Rohingya dengan muslim Palestina di perbatasan Gaza serta di Tepi Barat? Bukankah mereka sama-sama terusir dari tempat tinggal mereka sendiri? Mengapa kaum muslimin dunia, khususnya Indonesia memandang dan memberikan respons yang berbeda terhadap keduanya? Bahkan ada yang mendengungkan untuk “Jangan bawa-bawa agama alam urusan Rohingya!”

Faktanya, kaum muslimin Rohingya tampak jelas kemuslimannya dari pakaian-pakaian yang dikenakan para muslimahnya. Tampak pula dari kegiatan ibadahnya, yang jelas-jelas menunjukkan diri mereka sebagai muslim.

Keberadaan mereka di Indonesia pun karena mereka melarikan diri dari rezim zalim dan pasukan Nasaka yang telah memaksa mereka melakukan pekerjaan konstruksi, pertanian, atau melayani sebagai penjaga dengan bayaran yang rendah. Bahkan The Irish Centre of Human Right telah melaporkan bahwa satu orang laki-laki dalam rumah tangga Rohingya bekerja satu sampai dua hari sebulan untuk menjadi satpam. Pada 2009, otoritas pemerintah Myanmar juga memerintahkan laki-laki dari pedesaan Rohingya untuk menjadi penjaga malam selama satu atau dua kali seminggu.

Human Right Watch juga melaporkan bahwa pada tahun 2002, pemerintah Myanmar melakukan penghancuran masjid yang dianggap tidak sah menurut pemerintah. Beberapa sekolah Islam dan masjid ditutup dan dijadikan kantor administrasi pemerintah setelah sebelumnya tahun 2001 massa menyerang setidaknya 28 masjid dan sekolah agama. Pihak keamanan negara tidak berupaya untuk tindakan tersebut, melainkan ikut berpartisipasi menghancurkannya.

Mundur ke belakang lagi, Pemerintah Myanmar mengesahkan Undang-Undang pada tahun 1990  yang mengharuskan semua penduduk negara bagian Arakan, yang notabene mereka adalah muslim, untuk melapor agar mendapat izin menikah. Dan Undang-Undang ini hanya ditujukan bagi seluruh penduduk muslim di daerah tersebut. Mereka bahkan hanya akan diberikan surat nikah apabila mereka setuju untuk tidak memiliki lebih dari dua anak.

Laki-laki dilarang berjenggot, perempuan dilarang menggunakan kerudung dan cadar, bahkan pasukan Nasaka menyentuh perempuan muslimah Rohingya untuk memastikan apakah mereka sedang dalam keadaan hamil atau tidak.

Semua kebrutalan di atas adalah buah dari kondisi mereka yang berstatus muslim. Allah menyatakan bahwa umat Islam itu bersaudara. Allah berfirman:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (TQS. Al Hujurat :10)

Maka kaum muslimin wajib menolong saudaranya yang tengah mencari suaka.


Apa Peran Dunia terhadap Muslim Rohingya?

Di tengah tindakan diskriminasi brutal yang dilakukan Junta Militer Myanmar ini muncul banyak pihak yang membantu rakyat Rohingya, di antaranya ASEAN dan UNHCR (perwakilan PBB). Sejak tahun 1993, UNHCR mulai menangai pengungsi Rohingya. 

Namun, dalam pelaksanaannya, ASEAN tidak ikut campur dalam urusan kaum muslimin di Rohingya karena mereka punya prinsip non intervensi terhadap kondisi internal negara anggota ASEAN. ASEAN hanya memberikan pandangan politik berupa “constructive engagement” untuk melakukan reformasi politik.

UNHCR sebagai perpanjangan tangan PBB pun hanya membantu para pengungsi  dalam hal proteksi dan finansial bagi muslim Rohingya yang terkategori stateless person, bukan menyelesaikan akar permasalahan, yakni mengembalikan kewarganeragaan mereka. 

Konvensi Pengungsi PBB Tahun 1951 yang kini diharapkan, ternyata sudah 72 tahun lebih tidak membuahkan solusi tuntas bagi muslim Rohingya. Maka terbukti tidak layak kaum muslimin menunggu-nunggu lagi bantuan pihak internasional. Tidak ada jalan lain untuk kecuali bersatunya umat menegakkan syariat yang telah Allah bawa, dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Wallahu a’lam[] 

Posting Komentar

0 Komentar