Konflik Lahan di Cijeruk, Pertanian Warga Kian Terpuruk



Oleh Mitri Chan 

Warga Desa Cijeruk, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor resah karena lahan garapan pertanian yang sudah belasan tahun kini diambil alih oleh PT Bahana Sukma Sejahtera (BSS) untuk proyek taman wisata. Secara sepihak perusahaan mengklaim kepemilikan di atas lahan dan meminta para penggarap lahan mengosongkan lahan. Pihak perusahaan sengaja menutup akses jalan dengan cara mengeruk tanah menggunakan beko sehingga warga tidak bisa lewat dan melakukan kegiatan pertanian,” tegas Rd. Anggi SH kepada bogornetwork.com, Rabu (6/9/2023). Padahal warga Cijeruk mempunyai legalitas yang jelas berupa surat over alih penggarap dari penggarap sebelumnya. Warga sudah 20 tahun lebih menggarap lahan yang sebelumnya merupakan lahan tidur atau terlantar menjadi perkebunan dan pertanian.

Konflik lahan antara warga dengan perusahaan terhadap tanah seluas kurang lebih 40 hektar ini sudah sampai di Deputi V Kantor Staf Presiden. Namun, aduan dan permohonan perlindungan hukum yang disampaikan sejak akhir Agustus, masih dijanjikan untuk ditangani pihak KSP.

Kekhawatiran masyarakat sangat beralasan karena alih fungsi lahan oleh perusahaan bisa mempengaruhi status warga Desa Cijeruk sebagai petani dalam memenuhi kebutuhan pangan. Petani akan beralih profesi karena alif fungsi lahan ini digunakan untuk keperluan pembangunan pariwisata. Padahal Indonesia sudah memiliki Undang-undang No.41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk menjaga luas lahan pertanian. Akan tetapi regulasi ini mandul di tengah geliat industrialisasi dan pembangunan. 

Arah pembangunan yang kapitalistik menjadikan para pejabat mudah memberikan izin alih fungsi lahan. Sebelum PT BSS mendapatkan Hak Guna Lahan (HGL) nomor 6 tahun 1997, warga Desa Cijeruk sudah menggarap, bahkan ada masyarakat yang tinggal di atas lahan tersebut. Sedangkan PT BSS menguasai ratusan hektar tanpa jelas peruntukannya dan digarap untuk apa. Selain menelantarkan lahan selama 20 tahun, perusahaan ternyata berkali-kali mengagunkan HGL ke beberapa bank dengan nilai 21 miliyar. Hal ini membuat status lahan yang diklaim perusahaan menjadi bermasalah.

Massifnya alih fungsi lahan menunjukkan rendahnya keberpihakan pemerintah pada sektor pertanian. Padahal, sektor pertanian adalah sektor strategis dalam sebuah negara untuk mendukung ketahanan pangan. Namun, dalam sistem kapitalisme demokrasi memudahkan perizinan untuk investasi, yaitu memfasilitasi pemilik modal untuk menggunakan lahan untuk pembangunan demi mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara kerugian dan dampak buruk bagi rakyat jauh lebih besar daripada yang keuntungan yang didapatkan, seperti banjir bandang dan terancamnya sumber mata air.

Dalam sistem kapitalis, termasuk yang diterapkan di Indonesia, pemerintah tersandera pada kepentingan korporasi atau pemilik modal akibat sistem politik berbiaya tinggi. Dengan kekuatan modal mereka, mereka mampu mempengaruhi publik dan pemerintah lewat media yang mereka kuasai, sampai kekuatan lobi dan dukungan finansial pada tokoh politik. Akibatnya, pemerintah tunduk pada kepentingan para pemilik modal.

Negara yang semestinya berpihak pada kepentingan publik, dalam banyak hal justru mengutamakan korporasi yang bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Negara berperan sebagai regulator, abai berperan sebagai pelindung rakyat. Kebijakan berat sebelah pada akhirnya berdampak buruk bagi kemakmuran rakyat di negeri ini.

Inilah akibat dari abainya ketaatan dari pemilik asli tanah di muka bumi ini, yaitu Allah Swt. Maka, dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan tanah seharusnya dikembalikan pada pengaturan syariat Islam. Negara Islam adalah pemelihara dan pelindung bagi setiap individu rakyatnya. Sehingga lahan yang sudah dikelola rakyat, otomatis menjadi milik individu bukan milik negara atau diserahkan ke perusahaan.

Negara harus hadir melindungi hak rakyat ketika lahan garapan diserobot oleh perusahaan swasta maupun asing. Tidak boleh ada lahan yang tersia-siakan sebab Khilafah akan membuat regulasi terkait tanah berdasarkan syariat Islam. Pada tanah yang menganggur, adanya keharusan mengelola tanah bagi pemilik tanah. Jika dalam tempo 3 tahun berturut-turut lahan terbengkalai, maka negara akan mengambilnya dan memberikannya pada individu yang mampu mengelolanya. Nabi saw. juga pernah bersabda, 

"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain)." (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Kalaupun negara akan melakukan pembangunan, maka prinsip pembangunan bukan berdasarkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi berdasarkan kebutuhan masyarakat seperti jalan, rumah sakit, sekolah, dan lainnya. Jika dalam pembangunan harus mengambil lahan rakyat, maka harus ada keridhaan pemilik lahan dan ganti rugi yang adil. Oleh karena itu, arah pembangunan Khilafah berorientasi pada kemaslahatan rakyat dan berdasarkan timbangan syariat. Lahan subur seperti Desa Cijeruk diatur sedemikian rupa sehingga cocok menjadi sentra pertanian, sementara lokasi untuk pemukiman, industri, wisata juga diatur secara ketat. Pejabat dalam negara Khilafah tidak mudah disuap, sebab selain sanksi tegas bagi para pelakunya, pejabat juga memiliki ketakwaan individu. Dengan demikian, tidak ada lagi konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan.

Posting Komentar

0 Komentar