Pesta demokrasi semakin dekat, masyarakat mulai mencari siapa yang bisa dijadikan pemimpin masa depan yang menurut mereka akan membebaskan nasibnya dari kedzoliman yang selalu ada di sekeliling mereka. Oleh karenanya pada ahad pagi di akhir Januari diadakan Dialog Tokoh, agar yang hadir mampunyai kesamaan pemikiran tentang apa yang akan dibicarakan.
Sebagai pembicara pertama, ustadzah Hanin Syahidah menyatakan bahwa saat ini fanatisme terhadap politik mengalahkan fanatisme terhadap agama, itulah gambaran terhadap bobroknya demokrasi.
Demokrasi merupakan sistem hidup yang bobrok, ustadzah Hanin menggambarkan bahwa demokrasi itu secara terang benderang menghalalkan segala cara untuk berkuasa. Di tahun politik seperti ini seakan-akan semua diterobos tidak ada penyekat antara halal atupun haram. Padahal dalam Rasululllah saw pernah berkata bahwa “Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas…” (HR Bukhari-Muslim).
Ustadah Hanin juga menerangkan bahwa mitos demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Namun hari ini hal tersebut mulai bergeser dan beralih menjadi dari, oleh dan untuk oligarki. kemudian secara alamiahnya akan menjadi otoritarianisme.
Kemudian, ustadzah Hanin juga membeberkan bahwa istilah ‘petugas partai’ yang hari ini digunakan secara terang menandai bahwa mereka tidak bekerja untuk rakyat, tapi hanya untuk kepentingan partai politik. Sehingga orang-orang yang duduk di legislatif, yudikatif maupun eksekutif bukanlah representasi dari rakyat, melainkan dari partainya. Hingga pada saat menentukan sebuah keputusan pun sangat mungkin merupakan suara partai.
Bila ditelisik lagi, demokrasi memang sudah cacat sejak lahir ditandai dengan empat ide dasar yang dimilikinya, yaitu kebebasan berekspresi, berpendapat, memiliki sesuatu dan terakhir kebebasan beragama.
Oleh karenanya, ustadzah Hanin menekankan bahwa demokrasi tidak layak diperjuangakan termasuk dipertahankan. Karena mempunyai asas sekulerisme, yang memisahkan antara agama dengan kehidupan.
Sebagai penutup paparannya, ustadzah Hanin mengutip ayat Alquran dalam surat Al Baqarah, 50, ”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (hukum) apakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah swt bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
Di sisi lain, pada tahun politik masyarakat sedang terfokus dengan aspek-aspek pragmatis namun membuat mereka gundah gulana yaitu saat menghadapi pesta demokrasi. Sebagai pembicara kedua, Ustadzah Estyningtyas menekankan kembali tentang definisi kata demokrasi yang kenyataanya adalah dari, oleh dan untuk oligarki yang kenyataan saat ini terjadi.
Saat ini ditengah umat bukan hanya sekedar masalah definisi demokrasi saja, namun kenyataannya berkembang menjadi perseteruan yang membawa agama. Ustadzah Esty juga menggambarkaan pada tahun 2019 lalu, bagaimana masyarakat yang terbelah menjadi dua kubu dan seakan bila tidak mengikuti pestanya, maka umat Islam akan habis. Ternyata gegap gempita tersebut banyak disambut umat dengan alasan perubahan.
Oleh karenanya ustadzah Esty menyatakan bahwa kepemimpinan ditentukan oleh dua hal. Pertama, dengan sistem apa organisasi itu dikelola, kemudian yang kedua adalah siapa yang menjadi pemimpinnya. Kedua hal ini saling berhubungan, sehingga keduanya harus sama-sama baik dan sohih.
Dalam quran surat Hud, 113, Allah swt berfirman, “Dan janganlah kamua cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempuyai seorang penolongpun selain daripada Allah swt, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan”.
Ayat di atas ditafsirkan dari banyak mufasir dinyatakan bahwa sekedar cenderung pada perbuatan pemimpin yang zalim walaupun sedikit kadarnya saja tidak boleh. Sehingga maknanya adalah bila cenderung sedikit saja pada amal orang-orang zalim saja tidak boleh, maka apatah lagi yang menjadi penggemar.
Terkait dengan hal itu, ustadah Esty menyatakan bahwa zalim sendiri dalam pandangan Islam terjadi pada dua perkara, yaitu perkara aqidah dan syariah. Pertama, dalam perkara aqidah tertera dalam surat Luqman, 13. Dalam ayat tersebut dinyatakan bagaimana Lukman mengajarkan anaknya bahwa syirik merupakan kezaliman yang besar, yang pelakunya terkategori kafir, karena tidak beriman pada Allah swt.
Hal ini jelas karena hanya Allah lah satu-satunya zat yang wajib disembah dan bukan yang lain. Maka ketika ada sesuatu yang lain yang disembah selain Allah swt, maka dinyatakan sebagai zalim dalam aqidah. Kemudian zalim dalam perkara syariat, hal ini tertera dalam surat Al Baqarah, 229, yaitu saat siapapun melanggar hukum-hukum yang Allah telah tentukan, yang pelakunya terkategori maksiat, karena tidak patuh terhadap aturan Allah swt.
Kemudian, terkait dengan kepemimpinan yang Islam juga telah mengaturnya, maka seorang pemimpin harus menerapkan hukum Islam, namun apabila tidak demikian, maka pelakunya terkategori zalim (Al Maidah, 45).
Berikutnya, orang yang mengangkat mereka sebagai pemimpin dan pemimpi tersebut akan mengusir kaum muslimin dari tempat tinggalnya maka yang mengangkat tersebut juga terkategori zalim (Al Mumtahanah, 9). Dalam surat At Taubah, 23 lebih ditegaskan lagi bahwa jangan mengangkat bapak-bapak dan saudara-saudara menjadi wali, apabila mereka lebih mengutamakan kekafiran daripada keimanan.
Hal itu berlaku juga pada calon pemipin yang baik. Karena makna kata zalim pada ayat-ayat tersebut adalah bukan seorang yang selalu melakukan kezaliman dan lalim pada masyarakat. Namun hal tersebut juga berlaku pada orang baik yang pada saat itu berlaku zalim.
Terakhir, ustadzah Esty menegaskan agar terhindar dari api neraka (Al Ahzab, 66) maka janganlah condong walaupun sedikit terhadap pemimpin yang tidak menerapkan syariat Allah swt.
Wallahu’alam
0 Komentar