Penulis: Dr. Rini Syafri
#FOKUS — Bagaimanakah masa depan generasi dan negeri ini pada 2024? Ada beragam tinjauan dan pandangan. Namun, satu yang pasti, hidup sejahtera di bawah kapitalisme kian menjadi ilusi. Ini didasarkan pada dua lensa tinjauan, yakni faktual dan paradigmatis. Sementara itu, tidak perlu diperdebatkan lagi perihal keistimewaan paradigma Islam yang dengannya niscaya terwujud generasi mulia lagi sejahtera.
Pertama, Tinjauan Faktual
Apabila membuka kembali lembaran kehidupan tahun berlalu, tidak ada yang dihasilkan peradaban kapitalisme, kecuali berlanjutnya penderitaan dan kesengsaraan generasi. Kesehatan ibu dan anak yang makin parah dari tahun ke tahun menjadi indikator utama penentu tingkat kesejahteraan generasi.
Hal itu tampak dari buruknya kesehatan mental sebagai puncak akumulasi buruknya pemenuhan kebutuhan hidup, baik fisik maupun nonfisik. Ada 6 dari 10 Ibu menyusui tidak bahagia, sedangkan 1 dari 3 remaja Indonesia pengidap persoalan mental.[1] Secara keseluruhan, terjadi peningkatan berkelanjutan pengidap gangguan mental yang mencapai puluhan juta jiwa.[2],[3]
Demikian pula dengan tingginya angka anak stunting sebagai akumulasi buruknya pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik ibu saat hamil dan menyusui, di samping asupan gizi anak yang saat ini diderita jutaan anak. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia 2022, tercatat 21,6% dari 23 juta balita.[4],[5],[6] Sementara itu, tidak sampai setengah dari jutaan anak mendapat hak ASI yang sangat bermakna sebagai pencegahan stunting, baik dari sisi nutrisi adekuat maupun psikis.[7],[8]
Ketaksejahteraan pun berlangsung begitu parah hingga mengakibatkan kehamilan dan persalinan—yang merupakan peristiwa alami—menjadi persoalan patologis. Mirisnya, ini tidak dialami oleh satu dua orang, melainkan jutaan ibu dan anak! Sebagaimana terlihat dari persalinan prematur yang prevalensinya 7—14%, bahkan 16% di beberapa kabupaten.[9]
WHO mengakui dalam situs resminya bahwa 1 dari 10 bayi lahir dalam kondisi prematur; dan setiap 40 detik, ada 1 bayi meninggal. Angka ini tidak berubah dalam satu dekade terakhir di wilayah mana pun di dunia.[10]
Pada akhirnya, puncak kesengsaraan itu tecermin dari krisis iklim berkelanjutan, seiring peningkatan krisis kesehatan, pangan, air bersih, dan bencana hidrometeorologi akibat kenaikan temperatur bumi, sebagaimana hasil riset yang dipaparkan pada Jurnal The Lancet November 2023.[11]
Sungguh, peringatan Allah ‘Azza wa Jalla mencukupkan pembahasan poin ini. “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit.” (QS Thaha [20]: 124).
Kedua, Tinjauan Paradigmatis
Tinjauan faktual di atas adalah buah pahit keberadaan peradaban kapitalisme. Sendi-sendi kehidupan dan peraturan hidup yang dibangun berasaskan sekularisme—yang bertentangan dengan fitrah insan—menuntut aktivitas kehidupan harus dibebaskan dari ketentuan syariat.
Gambaran kehidupan dunia dalam pandangan sekularisme kapitalisme adalah bahwa manfaat merupakan tolok ukur perbuatan dan kebahagiaan diartikan sebagai perolehan manfaat materi sebanyak-banyaknya. Inilah gaya hidup khas masyarakat sekuler.
Konsekuensinya, negara abai dalam pengurusan kepentingan masyarakat, di tengah tekanan krisis multidimensi yang melewati batas kapasitas kemanusiaan. Pada saat yang sama, nilai moral, spiritual, dan kemanusiaan, tercerabut dari kehidupan, serta aktivitas manusia mengitari nilai materi semata.
Di sisi lain, atmosfer kehidupan terlingkupi suasana individualis, hedonis, kebengisan, dan kekerasan, di tengah meluas dan masifnya kerusakan di daratan dan lautan. Puncaknya, jutaan insan menderita krisis kesehatan mental, di samping krisis iklim yang mengancam keberlangsungan kehidupan planet bumi, hal yang niscaya ketika kehidupan diindustrialisasi.
Adapun industrialisasi sendiri adalah ide turunan dari sekularisme, khususnya sistem ekonomi kapitalisme (diperkuat oleh ide knowledge-based economy) dan sistem politik demokrasi (dikukuhkan oleh politik kekuasaan good governance). Ide ini makin terasa berbahaya sebab menjadikan kehidupan insan sebagai objek pertumbuhan ekonomi dan bisnis, di samping konsep gender equality ketika berkelindan dengan agenda hegemoni RI 4.0 dengan kemajuan teknologi terkininya.
Tragisnya, negara justru hadir memfasilitasi perkara berbahaya tersebut. Tampak dari negara membebek pada agenda kapitalisme global SDGs yang target pencapaiannya dipercepat melalui kerja politik transformasi. Penggunaan teknologi RI 4.0 e-Government berada dalam lanskap ini, yakni industrialisasi sebagai inti politik pembangunan pada semua sektor kehidupan.
Pada sektor kesehatan, terealisasi melalui transformasi kesehatan dan penguatan agenda kespro yang berintikan paham kebebasan. Pada sektor pendidikan berupa agenda Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM) berstandar mutu kapitalisme, yakni Programme for International Student Assessment (PISA) di tingkat pendidikan dasar hingga menengah, setta world class university (WCU) pada pendidikan tinggi.
Percepatan target industrialisasi juga dilangsungkan pada sektor pangan dan pertanian, air, pemukiman dan lingkungan, serta transportasi. Tidak ketinggalan sektor energi melalui agenda energi baru terbarukan.
Hasilnya, buruknya akses publik terhadap berbagai kebutuhan hidup asasi di tengah krisis iklim dan lingkungan yang makin parah. Mulai dari pangan dan pemukiman, hingga pendidikan dan kesehatan. Harga melangit, tetapi belum tentu berkualitas, bahkan tidak jarang justru membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa.
Mirisnya, meski semua itu akibat kelalaian negara karena berdedikasi pada kapitalisme, tetapi tanpa rasa malu dan bersalah, rezim berkuasa malah menghadirkan berbagai program pelayanan gratis yang sesungguhnya menambah kesengsaraan publik. Seperti program BPJS Kesehatan, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Bidik Misi, juga bantuan langsung tunai (BLT) dan program rumah murah.
Tersebab sama sekali tidak mengindahkan aspek kemanusiaan, tidak saja sulit diakses dan diskriminatif, tetapi juga jauh dari sebutan berkualitas. Namun, inilah yang terpaksa dirasakan ratusan juta rakyat miskin (berdasarkan standar Bank Dunia, penduduk miskin Indonesia ada 40%).
Sungguh, kesejahteraan hanyalah angan-angan ketika dedikasi negara demokrasi ditujukan untuk kapitalisme. Ini karena solusi dan program yang diaruskan bersifat teknis, sedangkan pencapaian kapitalisme—berikut konsep turunannya sebagai akar masalah—justru dipercepat.
Pada tataran ini, tidak perlu diperdebatkan lagi betapa urgennya kehadiran paradigma baru, yakni Islam. Keberadaannya bagaikan pohon yang sehat. “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS Ibrahim [14]: 24).
Islam Masa Depan Generasi
Islam adalah masa depan generasi. Dengan kehadiran Islam, kesengsaraan dan kehinaan hari ini akan berganti kehidupan baru penuh kemuliaan dan kesejahteraan. Ini karena sistem kehidupan dan model masyarakatnya dirancang langsung oleh Allah Taala, yakni bagi kesejahteraan bani insan dan seluruh alam, bahkan kemuliaan bagi bani Adam.
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya [21]: 107).
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam.” (QS Al-Isra’ [17]: 70).
Adapun kunci terwujudnya kesejahteraan dan kemuliaan bani insan adalah apabila terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya secara benar, baik fisik maupun nonfisik. Juga tatkala seluruh aktivitas kehidupan manusia terikat dengan syariat-Nya untuk mencapai rida-Nya—sebagai puncak kebahagiaan—yang diupayakan oleh setiap muslim dengan penuh kesungguhan. Di sisi lain, negara bekerja bersungguh-sungguh agar tidak ada pelanggaran hukum syarak sekecil apa pun oleh siapa pun, termasuk oleh negara sendiri.
Walhasil, tujuan-tujuan yang ditetapkan syarak dari keberadaan masyarakat Islam dapat terwujud hingga capaian tertinggi. Nilai-nilai yang dibutuhkan setiap insan dalam kehidupannya pun niscaya hadir secara harmonis, baik nilai materi, kemanusiaan, moral, dan spiritual.
Semua ini karena negara berfungsi sebagai junnah (perisai) dari semua perkara berbahaya bagi kehidupan dan kemuliaan bani insan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ia juga berfungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam menjamin pemenuhan kebutuhan hidup, baik sandang, pangan, dan papan (pemukiman dan perumahan) sebagai kebutuhan pokok individu; maupun kebutuhan pokok publik berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah itu laksana gembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Artinya, hadirnya Islam sebagai bangunan masyarakat dan peradaban adalah dengan hadirnya sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam beserta politiknya, juga sistem politik Islam beserta politik kekuasaan. Agenda politik negara hanya akan dilangsungkan pada lanskap sistem kehidupan Islam; menormalkan mental dan kesehatan fisik mereka, di samping mengakhiri segera krisis iklim yang ada.
Agenda tersebut mengacu pada sejumlah prinsip istimewa politik kekuasaan Islam, antara lain sentralisasi kekuasaan dan desentralisasi aspek administrasi, termasuk dalam pemanfaatan teknologi terkini. Prinsip ini mengacu pada tiga hal, yakni kesederhanaan aturan, cepat dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh individu yang kapabel.
Sungguh, hanya dengan kembali pada pangkuan kehidupan Islam, kebahagiaan dan kemuliaan generasi akan dapat teraih. Kehadiran Islam sebagai kepemimpinan politik baru di negeri ini dan kontestasi politik global, merupakan perkara urgen dan mendesak. Lebih dari itu, tegaknya institusi politik Islam (Khilafah)—satu-satunya metode pelaksana paradigma dan syariat Islam—merupakan kewajiban yang Allah Taala syariatkan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal [8]: 25). [MNews/Gz]
0 Komentar