Pengelolaan Energi Tanpa Inflasi



Oleh Rini Sarah


#TelaahUtama - Greenflation mendadak trending. Kata ini jadi sering berseliweran di dunia maya pascaucap oleh Gibran Rakabuming Raka pada acara Debat Wapres keempat Ahad (21/01/2024). Debat itu mengambil tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.

Lalu, apa yang dimaksud dengan greenflation itu sendiri? Greenflation (green inflation) merupakan istilah yang menggambarkan naiknya harga barang-barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan terhadap bahan bakunya, namun pasokannya tak mencukupi. Sehingga terjadi inflasi imbas dari transisi energi itu. Green inflation juga sering mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau. Seperti diterapkannya kebijakan Pajak Karbon pada PLTU dan pabrik-pabrik. Adanya kenaikan pada instrumen pajak sudah dipastikan akan mengerek harga-harga barang. (cnbcindonesia.com)

Greenflation muncul karena ada upaya transisi energi fosil ke energi terbarukan (EBT) guna mengatasi kerusakan lingkungan akibat penggunaan energi fosil. Hanya saja malah timbul masalah baru yaitu inflasi. Tentu saja, hal ini akan berimbas pada kesejahteraan rakyat. Alih-alih ingin menyelamatkan lingkungan, problem lingkungan belum terselesaikan malah timbul masalah lainnya. Tentu ini tak bisa dibiarkan, perlu diurai hingga menghasilkan solusi tuntas tanpa menghasilkan permasalahan turunan.


Mengelola Energi

Kasus seperti di atas memang niscaya terjadi dalam pengelolaan energi dengan paradigma sistem ekonomi kapitalis. Ciri khas dari sistem ini adalah liberalisasi dalam berbagai bidang ekonomi. Semua hal bisa diswastanisasi, termasuk energi. Dalam hal ini, sektor energi diserahkan penuh kepemilikan dan pengelolaannya pada swasta. Hingga inisiatif produksi dan distribusi pun dipegang oleh swasta atas nama konsesi. 

Jika sudah begini, semua terserah pihak swasta mau memproduksi berapa banyak dan menjual ke siapa saja yang penting cuan. Sementara kepedulian terhadap lingkungan seakan jadi gimmick saja. Akibatnya, terjadi pengerukan bahan baku energi di alam secara eksploitatif dan merusak lingkungan. Sedangkan di sisi penjualan, biasanya pasokan dalam negeri jadi tidak terpenuhi. Karena pihak swasta lebih suka menjual ke luar negeri dengan untung lebih tinggi. Terjadi kelangkaan lah di dalam negeri. Tentu ini akan berimbas juga pada inflasi. Inflasi juga bisa terjadi karena setiap produksi energi tentu tidak bisa dinikmati gratis atau murah oleh rakyat. Hingga berefek domino pada produksi barang dan jasa.

Di lain pihak, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya diberi tugas untuk membuat regulasi untuk memuluskan keserakahan pihak swasta dalam sistem ini. Tidak jarang, pemerintah malah bekerja sama dengan pihak swasta dalam menjalankan misi cuannya. Solusi-solusi yang diterapkan pemerintah pun tidak menyelesaikan masalah, bahkan jadi masalah baru. Contohnya diterapkannya Pajak Karbon tadi. 


Tentu saja ini akan jadi cerita berbeda jika pengelolaan energi diasuh oleh sistem Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, sektor energi merupakan barang yang terkategori barang milik umat. Haram bagi perorangan baik warga negara atau pun asing untuk menguasainya. Sesuai dengan hadis Nabi Saw bersabda, Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api. (HR Abu Daud)

Larangan penguasaan harta milik umum yang jumlahnya banyak berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy, Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir. Akhirnya beliau bersabda, (Kalau begitu) tarik kembali darinya. (HR Tirmidzi)

Syekh Abdul Qadim Zalum menjelaskan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah, tindakan Rasulullah saw. yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut jumlah (deposit)-nya sangat banyak dan tidak terbatas.

Dari sini jelas, kata api dalam hadis tersebut bisa dikiaskan kepada energi. SDA energi yang depositnya besar tidak bisa dikuasai dan dikelola oleh swasta. Oleh karena itu, Islam mengatur bahwa pemilik SDA energi adalah umat dan pengelolanya adalah negara. Negara hanya boleh mengelola dan memberikan manfaat hasil pengelolaannya kembali kepada umat. Tidak untuk memberikan atau menjualnya kepada individu, karena negara bukan pemiliknya.

Dalam pengelolaan sektor energi, negara Islam akan mengatur produksi energi dengan seefisien mungkin dan tidak bersifat eksploitatif. Dewasa ini, gaya hidup kapitalis nan hedonis membuat penggunaan energi jadi tidak efisien. Bahwa kebutuhan energi yang tinggi masih banyak untuk kebutuhan yang tidak bermanfaat (mempercantik kota, konser, dll), konsumsi listrik untuk pabrik yang produknya tidak untuk kebutuhan dasar, gaya hidup fomo, dll. Hal itu tidak bisa dicegah negara karena tambang batu baranya sudah diberikan ke swasta sehingga leluasa dijual untuk kepentingan mereka.

Gaya hidup boros energi tentu saja tidak akan terjadi dalam kehidupan Islam. Karena negara memang akan menerapkan jalan hidup Islam termasuk dalam life style. Islam akan mengarahkan manusia untuk hidup sesuai kebutuhan dan zuhud. Dan negara juga punya power untuk mengarahkan umat agar hemat energi. 

Seperti apa yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Al khathab, mulai dari mencontohkan penggunaan lampu rumah yang dibiayai dari anggaran negara hanya untuk urusan negara, pemberian tanah untuk yang bisa menggarap dan mengambilnya kembali setelah tiga tahun ditelantarkan, menetapkan tanah lindung untuk pengembalaan, mengelola pemasukan negara dengan mengingat generasi-generasi setelahnya agar tetap mendapat bagian, memberi sanksi pada siapa saja yang berani mengambil yang bukan haknya dan ini diberlakukan meski pada anaknya sendiri. 

Semua yang dilakukan Umar adalah mengelola berdasarkan putusan syarak apa yang menjadi hak umat dari kekayaan alam yang dimiliki bersama dan juga kekayaan negara yang wajib hasilnya diperuntukkan untuk kemaslahatan umat. Bahkan dengan aturan Umar, hewan pun merasakan belas kasihnya. 

Tidak ada sedikitpun harta-harta umum, negara, dan individu yang dikelola dengan zalim saat Khilafah Islam berdiri. Dalam pendistribusian energi basisnya bukan bisnis, tapi pelayanan negara. Karena dalam Islam negara bukanlah tujar (pedagang), melainkan roin (pengurus, penanggung jawab, dan perisai umat). Seperti yang disebutkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadis, “Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya. [Hr. Bukhari dan Muslim]. Hingga tak ada komersialisasi sektor energi.

Oleh karena itu, rakyat akan mendapatkan energi yang murah bahkan gratis. Jika komponen energi ini menjadi murah bahkan gratis maka tidak mendorong pada inflasi. Dan pengelolaan SDA energi yang tidak eksploitatif tentu saja tidak akan mengarah pada kerusakan lingkungan. Hingga perlu menetapkan kebijakan baru yang justru malah mendorong inflasi tadi. 

Tapi, negara Islam juga tidak anti terhadap penemuan teknologi EBT. Tentu saja hal itu juga akan dikembangkan demi kemaslahatan umat. Karena energi fosil tentu saja ketersediaannya terbatas dan memang akan menimbulkan emisi yang merusak lingkungan. Insya Allah, ketika negara Islam tegak kembali, ia pun akan melakukan riset dan pengembangan energi ini. Semua itu akan dilakukan dalam kendali negara bukan swasta yang dibiayai oleh APBN. Karena bahan baku EBT itu hampir semuanya juga terkategori barang milik umum seperti air, nuklir, angin, nikel untuk bahan baku batere, dll. Insya Allah, jika sektor energi dikelola oleh sistem hukum Islam, persoalan teratasi dan keberkahan akan menyelimuti. Wallahualam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar