Pertahanan Indonesia dan Alat Perang

 Oleh Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany) 


#Telaah Utama- Pada Minggu (07/01), Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar acara debat ketiga calon presiden (capres) yang akan maju di pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Debat Pilpres ke-3 ini kemudian berlangsung dalam 6 segmen yang membahas tema Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, dan Geopolitik Indonesia. 


Salah satu hal menarik yang dibahas dalam debat adalah permasalahan pengadaan alutsista dan keterkaitannya dengan penambahan utang luar negeri. 


Sudah umum dipahami bahwa pengadaan alutsista memang membutuhkan dana yang cukup fantastis, terlebih jika sebuah negara berambisi menjadikan dirinya berkiprah aktif dalam kancah politik internasional. Hal inilah yang pada akhirnya membuat banyak negara, bahkan USA dan negara-negara besar Eropa sekalipun, harus merogoh kocek cukup dalam guna merealisasikannya. 


Hanya saja dana tersebut akan berlipat ganda tatkala sebuah negara tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi alutsista secara mandiri seperti halnya Indonesia. Maka “wajar” jika Indonesia membeli alutsista bekas ke negara lain seperti Perancis dan Qatar. Pada Juni 2023 saja, Kemenhan (Kementrian Pertahanan) baru membeli jet tempur bekas dari Qatar jenis Mirage 2000-5 dengan harga fantastis yakni US$800 juta (setara dengan Rp. 12.4 triliun). Belum lagi peralatan perang lainnya yang sudah dibeli sebelumnya seperti pesawat tempur Rafale, kapal selam Scorpene dan kapal perang Frigat yang didapat dari Perancis (detik.com, 08/01/2024).


Akan tetapi, pembelian alutsista bekas seperti yang dilakukan Indonesia saat ini bukanlah tanpa bahaya. Pasalnya, pembelian alutsista asing secara nyata mengancam kedaulatan pertahanan negara terhadap pihak yang menjualnya. Setiap pembelian alutsista asing senantiasa diikuti dengan syarat-syarat tertulis dan tidak tertulis antara negara penjual dan negara pembeli. Di mana syarat yang dimaksud termasuk di dalamnya klausa “tidak boleh mengancam kepentingan militer masing-masing negara”. Artinya sekalipun di kemudian hari Indonesia bersitegang dengan Perancis dan Qatar yang bisa jadi mengancam keamanan negara misalnya, negeri +62 wajib “mengalah” pada negeri-negeri penjual alutsista yang sudah sebelumnya menandatangani kontrak kerjasama. 


Bukan hanya itu, dengan membeli alutsista asing sama halnya dengan membuka sebagian atau bahkan keseluruhan data kekuatan militer Indonesia. Karena negara yang hanya mampu menjadi konsumen alutsista, pasti akan diketahui kemampuan teknologi militer yang digunakan oleh negara produsen. Padahal jika kita bandingkan dengan negara “kecil” seperti Korea Utara yang memiliki independensi militer, negara-negara Barat hingga kini tak berani gegabah dalam menghadapi Korut. Hal ini karena hingga detik ini negara-negara Barat terutama Eropa dan USA, tidak bisa secara pasti membaca peta kekuatan Korut, yang membuat mereka harus sangat berhati-hati dan menghindari gesekan militer sebanyak mungkin. 


Padahal jika kita mau berhitung, Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia sangatlah kaya dan luas. Pada 2021, Nickel Institute mancatat Indonesia sebagai negara kedua terbesar penghasil nikel di dunia setelah Australia dengan total mencapai 37,04% nikel di dunia berada di Indonesia (mpr.go.id, 01/04/2023). Sedangkan United States Geological Survey (USGS) melaporkan Indonesia masuk peringkat keenam dan ketujuh sebagai negara dengan cadangan bauksit dan tembaga terbesar di dunia (katadata.co.id, 09/06/2023). Pada tahun 2022, cadangan bauksit Indonesia mencapai 1 miliar metrik ton kering dan cadangan tembaga sebesar 28 miliar metrik ton. Belum lagi cadangan batu bara Indonesia yang masih melimpah ruah dengan total sumber daya sebesar 98,5 miliar ton dan cadangan sebesar 33,8 miliar ton per tahun 2023 (cnbcindonesia.com, 14/12/2023). 


Dari data di atas, kita dapat melihat bagaimana potensi alam Indonesia lebih dari cukup untuk menjadi modal awal pembangunan industri berat (militer) negeri ini. Apalagi jika kemudian negeri ini memaksimalkan potensi industri beratnya dengan pemberdayaan Pindad atau PT. PAL misalnya. Karena kedaulatan pertahanan dan keamanan sebuah negara hanya akan benar-benar tercapai jika negeri tersebut mampu membangun industri militer secara mandiri dan tidak bergantung pada negara-negara lain. Hal ini pulalah yang menjadikan sebuah negara kemudian tidak dikekang oleh syarat-syarat mengikat dengan negara produsen alat-alat perang yang jelas-jelas menyandera sistem pertahanan negara. 


Namun celakanya untuk pengolahan raw material saja Indonesia justru memercayakan hal tersebut kepada asing dan aseng. Rezim kini justru membuka pintu lebar-lebar bagi korporat asing maupun swasta domestik untuk mendominasi sektor ini, salah satunya dengan “menggadaikan” pembangunan infrastruktur smelter bahan baku kepada pihak asing. Sebagai contoh untuk bijih nikel saja, 95% di negeri ini dikelola oleh perusahaan smelter Cina yang berada di Indonesia. Di mana perusahaan-perusahaan Cina yang ada membeli dari penambang kecil (Indonesia) dengan harga murah (US$34 per ton) jauh dibandingkan dengan harga di Pasar Shanghai (US$80 per ton). 


Belum lagi dengan semakin meluasnya keterlibatan pihak asing dalam hilirisasi industri dalam negeri, kian menderaskan arus masuk tenaga kerja asing. Di sisi lain, dengan UU Ciptaker terbaru investor asing mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (PPh badan) selama 25 tahun. Ditambah dengan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) yang kian menguntungkan para cuan. Kaum korporat yang bermain dalam pengelolaan bahan tambang negeri ini tidak hanya merasakan manisnya nilai tambah bahan tambang, tetapi juga mendapat kemudahan bebas bea ekspor bahan setengah jadi atau bahan jadi. 


Tidak hanya dari sisi penyediaan alutsista negeri ini yang bermasalah, tetapi juga pembiayaan anggaran pertahanan yang justru menambah utang luar negeri Indonesia. Akhir tahun 2023 saja, utang Indonesia mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah bangsa yakni tembus Rp 8.041,01 triliun. Padahal kita melihat bagaimana pembangunan yang ada justru makin menghadirkan ketidakadilan bagi rakyat dan lebih berpihak kepada oligarki. Banyak pembangunan infrastruktur yang terkesan dipaksakan, seperti halnya pembangunan kereta cepat Whoosh, yang dimana pembangunan “mewah” semacam ini justru dilakukan tatkala masih banyak rakyat Indonesia yang terjerat dalam pusaran kemiskinan dan kelaparan. 


Padahal utang luar negeri yang saat ini menjerat Indonesia secara pasti perlahan-lahan akan menghantarkan negeri ini pada kebinasaan. Selain dari adanya praktik riba yang secara pasti menyertai kerjasama ekonomi multinasional saat ini, utang pun dijadikan alat politik negeri pemberi utang kepada negeri penerima utang. Sebagaimana adagium “no free lunch”, pinjaman luar negeri mengandung interest atau kepentingan politik dari negara donor. Bahaya utang luar negeri bisa terlihat dari kebangkrutan Sri Lanka pasca gagal bayar utang ke Cina. Dari sini, apakah Indonesia siap menjadi penerus estafet kebangkrutan Sri Lanka? 


Masih seputar pertahanan dan keamanan negara, kemudian ada beberapa pihak yang berkelakar bahwa Indonesia “tidak butuh” kecanggihan dan kesiapan militer, salah satunya karena Indonesia sedang tidak dalam kondisi perang. Benarkah Indonesia hanya perlu berbuat “seadanya” dalam pembangunan infrastruktur negeri? 


Perlu dipahami bersama bahwa Indonesia merupakan negara luas yang terdiri dari ribuan pulau. Posisi Indonesia berada di persimpangan dua benua dan dua samudra yang menjadikannya berada di jalur perdagangan yang strategis. Sebanyak 40% jalur perdagangan dunia setidaknya melewati Indonesia. Di mana tanah air kita juga memiliki beberapa choke point atau semacam celah sempit strategis yang dalam konteks internasional sebagai penentu pertahanan keamanan sebuah negara. Choke point yang dimaksud diantaranya adalah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar dan Selat Wetar. 


Dengan semakin tegangnya perseteruan antara Cina dan Amerika Serikat di wilayah Laut Cina Selatan, bukanlah hal yang mustahil jika suatu hari Indonesia akan terseret dalam polemik tersebut. Jikapun Indonesia tetap bertahan untuk netral, perairan Indonesia akan menjadi sasaran empuk kapal perang asing untuk dimasuki dengan alasan persiapan perang. Lalu bagaimana mungkin Indonesia menjaga wilayah negeri ini tanpa peralatan dan kesiapan militer yang mumpuni? 


Parahnya lagi Cina kini telah mendirikan pos-pos militer di pulau-pulau buatan yang dia bangun di sepanjang perairan Laut Cina Selatan sebagai upaya Cina mempertahankan argumennya dalam konsep nine dash line. Di sisi lain Indonesia pun telah jauh-jauh hari dikepung pangkalan militer asing, dengan setidaknya ada 4 pangkalan militer AS yang berada sangat dekat dengan wilayah nusantara yakni di Singapura, Australia, Diego Garcia, dan Filipina. Bahkan pada pertengahan tahun lalu, AS menyampaikan rencananya untuk menerjunkan armada Kapal Penjaga Pantai dan pasukan ke wilayah Papua Nugini seiring dengan pengaruh Cina yang terus meningkat di wilayah Pasifik (cnbcindonesia.com, 27/07/2023). 


Dari sini tampak jelas bahwa kebutuhan Indonesia akan kekuatan militer yang mumpuni adalah sesuatu hal yang mendesak dan jika tidak ditanggapi dengan serius akan berdampak pada jatuhnya sistem pertahanan negeri. Di mana pembangun infrastruktur militer mandiri adalah satu-satunya solusi guna menjaga kedaulatan negara dan mencegah campur tangan asing. Tidak hanya itu, negeri ini harus bersegera melepaskan diri dari jeratan utang luar negeri yang hanya akan berdampak pada kebinasaan dan kehancuran bangsa, sebagaiman firman Allah Swt., “ Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”(TQS Al-Baqarah: 279) . 


Wallahu a’lam bi ash-shawab

_____


Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya


Follow kami di


Website : https://muslimahjakarta.net

Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial



Posting Komentar

0 Komentar