Oleh Ruruh Hapsari
Pesta demokrasi akan segera digelar. Gegap gempita masyarakat turut merayakannya. Walaupun begitu, reaksi masyarakat sendiri sebetulnya berbeda-beda, ada yang sudah yakin dan tegas terhadap pilihannya, ada pula yang sekedar ikut-ikutan bahkan ada yang enggan untuk melebur bersama suka citanya, dengan alasan, tidak ada perubahan yang berarti pascapesta diselenggarakan.
Demokrasi yang digadang-gadang akan mensejahterakan rakyat melalui slogannya dari, untuk, dan oleh rakyat, nyatanya melalui pesta demokrasi ini pula justru muncul pemimpin yang terkesan diktator.
Dalam buku ‘How Democracies Die’ (Bagaimana Demokrasi bisa Mati?) karangan dua orang Professor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, banyak menyatakan bagaimana pelaksanaan demokrasi di lapangan justru tidak sesuai dengan konsepnya. Sebagai contoh di Amerika, sebagai negeri pionir demokrasi memenangkan Donald Trump pada pilpres 2016 lalu.
Padahal banyak lembaga survei lokal yang memprediksi kekalahan Trump. Salah satu alasan naiknya Trump adalah karena ia memainkan isu rasisme kulit hitam dan menebarkan ketakutan melalui berita bohong.
Selain itu tidak lama setelah dirinya terpilih menjadi Presiden, Trump membuat pernyataan kontroversial yang mengesankan bahwa dirinya seorang diktator. Pernyataannya antara lain adalah sikapnya yang arogan terhadap media yang mengkritiknya, tidak percaya terhadap fenomena perubahan iklim, juga pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibukota I5r4hell.
Dalam buku tersebut Levitsky dan Ziblatt menganalogikan sepak terjang negara demokrasi sebagai permainan sepak bola. Pemimpin yang otoriter berperan layaknya mafia bola yang menguasai jalannya pertandingan dan bekerja di belakang layar. Bukan hanya itu, hasil pertandingan pun sudah ditentukan oleh mereka.
Untuk memuluskan permainan bola tersebut, maka dibuatlah strategi dengan menguasai seluruh perangkat pertandingan. Wasit, hakim garis, penyelenggara liga hingga bila perlu menarik pemain bintang dari tim lawan agar dapat menggembosi permainan di lapangan.
Ziblatt dan Levitsky menyatakan bahwa begitulah yang terjadi, permainan sepak bola tersebut layaknya pemimpin otoriter yang akan berusaha menguasai seluruh perangkat negara demokrasi. Mulai badan legisatif, yudikatif, intelijen, termasuk perangkat pertahanan keamanan agar berlaku sesuai kehendak dan kepentingan mereka.
Tidak penting bagi mereka sepak terjang yang mereka lakukan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku atau tidak. Karena mereka pun bisa melegalkan Undang-Undang sesuka mereka.
Dalam sebuah wawancara, Steven Levitsky menyatakan bahwa demokrasi telah mati puluhan tahun yang lalu sejak perang dingin usai. “Pemerintah terpilih menggunakan lembaga demokrasi untuk melemahkan dan menghancurkan demokrasi,” ujarnya. (Tirto.id 23/11/2020)
Professor Harvard ini menambahkan bahwa penggunaan kekuasaan dan lembaga demokrasi untuk menghancurkan demokrasi bukanlah produk satu atau dua hari saja, namun butuh waktu bertahun-tahun dan dilakukan secara bertahap.
Kasus-kasus seperti di atas dinyatakan oleh dua Professor Harvard tersebut terjadi di banyak negara dan sudah menggejala. Oleh karenanya mereka mempertanyakan keberadaan demokrasi saat ini apakah masih berlaku ataukah tidak?
Demokrasi dan Kapitalisme
Pada dasarnya demokrasi merupakan anak turunan dari kapitalisme. Bangunan pemikiran yang lahir pada abad 19 M ini menjadi semakin lengkap dan berubah-ubah dari teori para pencetusnya. Kapitalisme menjadi ideologi yang mencakup akidah dan sistemnya termasuk struktur peradaban dan tsaqofahnya.
Walaupun begitu tetap saja ideologi ini lahir dari kecerdasan manusia yang tentu mempunyai keterbatasan dari banyak sisi. Tentulah Allah Swt. sangat paham tentang hal tersebut, oleh karenanya manusia tidak layak diberi kewenangan untuk membuat aturan yang terkait dengan sistem kehidupan.
Gunnar Skirbekk dan Nils Gilje dalam bukunya, “A History of Western Thought” (Sejarah Pemikiran Barat) menyatakan bahwa manusia secara bertahap akan independen dan tidak butuh kekuasaan yang tidak mempunyai asas dan tidak butuh perwakilan teologis. Pemikiran telah terbebaskan, sebab manusia merasa bahwa dia penguasa dirinya sendiri dan dia bebas dari wahyu dan tradisi. Atheisme menjadi ciri era tersebut.
Dengan kata lain, Skirbekk dan Gilje ingin menyampaikan bahwa teori kapitalisme ini dibangun dengan memisahkan agama dari aturan kehidupan. Ditegaskan lagi oleh Alain Touraine, sosiolog Perancis dalam bukunya “Critique of Modernity” menyatakan bahwa ide modernitas adalah ide ‘ilmu’ yang menggantikan posisi ide ‘Allah’ di hati masyarakat. Keyakinan-keyakinan agama melemah terhadap kehidupan pribadi tiap individu.
Banyaknya pernyataan dari para ilmuwan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya demokrasi yang lahir dari ide pemisahan agama dari kehidupan ini tidak dapat dijadikan dasar aktivitas apalagi menjadi solusi semua masalah manusia.
Sehingga wajar siapapun yang menjalaninya dan berharap mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan akan mendapat jalan buntu, termasuk saat pesta demokrasi ini digelar. Masyarakat saat ini disuguhkan gegap gempitanya, namun ternyata dibalik itu ada yang sedang berburu suara dengan segala kekuatan dan trik nya. Apakah ini yang dinamakan perjuangan menuju kesejahteraan? Wallahu’alam.
0 Komentar