Politik Oligarki di Balik Tata Kelola Agraria, Petaka bagi Perempuan dan Generasi

 


Tangerang Selatan (Tangsel), kota satelit Ibukota Jakarta yang terus mempercantik diri hingga menuai banyak penghargaan baik nasional maupun internasional, salah satunya dari The Eastern Regional Organization for Planning and Housing (EAROPH) yang merupakan organisasi non pemerintah yang berafiliasi dengan PBB. Penghargaan ini diberikan karena Kota Tangsel yang telah berhasil membangun kerja sama pemerintah dan swasta untuk menjadikan Tangsel sebagai kota yang nyaman atau layak huni (liveable city). Bahkan menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air Bina Marga Bina Konstruksi (DSDABMBK) Kota Tangsel, Robby Cahyadi, sekitar 70 persen lahan Kota Tangsel sudah dimiliki swasta dan Pengembang (www.radarbanten.co.id). 


Namun sayang, di balik bermacam pembangunan dan kemajuan tersebut, terdapat banyak konflik antara masyarakat pemilik lahan dengan pihak swasta dan Pengembang, yang sebagian besar kasus sengketa tersebut dimenangkan oleh pihak bermodal banyak (oligarki). 


Selain konflik yang terjadi, muncul persoalan lain seperti banjir, ketimpangan pembangunan infrasruktur antara swasta dan Pemerintah, perubahan gaya hidup yang semakin konsumtif, kemiskinan, pergaulan bebas generasi muda, dan lain-lain. 


Melihat persoalan di atas, muncul pertanyaan, bagaimana swasta bisa dengan mudah menguasai sebagian besar lahan yang ada di Tangsel? Bolehkah pemerintah memberikan izin kepada swasta atau oligarki untuk menguasai dan mengkonversi lahan yang ada? Bagaimana seharusnya negara mengelola dan mengatasi persoalan-persoalan agraria yang terjadi menurut pandangan Islam? Hal ini dibahas dalam acara Risalah Akhir Tahun 2023 bertema ‘Politik Oligarki Dibalik Tata Kelola Agraria, Petaka bagi Perempuan dan Generasi’, pada Sabtu (30/12/2023) di Pondok Aren, Tangsel. Acara yang dihadiri para tokoh dari berbagai elemen di Tangsel ini mendatangkan tiga Narasumber yaitu Esti Yulianti, S.H., Sp.N (Notaris/PPAT Kota Tangsel), Hanin Syahidah, S.Pd. (Pemerhati Kebijakan Politik), dan Ir. Afifatul Millah (Muballighah Kota Tangsel). 


Esti menyampaikan beragam konflik agraria di Tangsel yang mempersempit ruang hidup rakyat miskin. “Ada konflik lahan antar warga dan PT Sinar Mas, antar PT Sinar Mas dengan Veteran di Pagedegan, serta kasus-kasus pada proses pendaftaran tanah,” ungkapnya. Esti pun menyimpulkan bahwa dalam membuat kebijakan atau aturan lebih mementingkan oligarki dibanding dengan sebesar-besarnya kepentingan maupun kesejahteraan rakyat di segala bidang kehidupan. 


Narasumber kedua, Hanin mempresentasikan sumber problem dan akibat dari konflik agraria. Menurut Hanin, ada tiga sumber masalah antara lain banyaknya mafia tanah, adanya Pengembang yang menyerobot lahan warga untuk dijadikan perumahan mewah, pusat perbelanjaan dan perkantoran, serta adanya pembangunan masif infrastruktur yang menyebabkan penggususran dalam bentuk ganti untung dan ganti rugi. “Karut-marut pertanahan dalam Kapitalis ini merupakan kongkalikong antara penguasa dan pengusaha,” tandasnya. Hanin juga menyampaikan beberapa poin penting antara lain Pemerintah ternyata lebih memihak para kapitalis (oligarki). Demokrasi hari ini adalah dari pengusaha, untuk pengusaha, dan oleh pengusaha. Di dalam sistem Kapitalisme, yang memiliki modal besar dialah yang berkuasa, dan pemerintah hanya menjadi jalan bagi swasta dalam menguasai hajat rakyat untuk diprivatisasi. 


Afifatul selaku Narasumber ketiga menyampaikan tata kelola lahan sesuai Islam yang menjamin perempuan dan generasi hidup bahagia dan sejahtera. Negara dalam Islam adalah pelayan rakyat. Di dalam Islam, ada aturan syariah tentang kepemilikan lahan, haramnya investasi asing dan utang luar negeri yang terkait riba dan menjadikan negara asing tersebut berkuasa atas umat Islam. 


#KapitalismeSengsarakanUmat

#KhilafahPerisaiHakiki

#Khilafah

#IslamSolusi

Posting Komentar

0 Komentar