Perayaan tahun baru di Indonesia tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat Indonesia masih berbondong-bondong memenuhi tempat-tempat yang mengadakan pesta tahun baru untuk sekadar menyaksikan kembang api, petasan, pertunjukan drone, konser musik, serta mengikuti countdown pergantian tahun. Di Jakarta misalnya, sebanyak 500 ribu orang memadati kawasan Monas dan sebanyak 50 ribu orang memadati kawasan TMII (liputan6.com, 1/1/2024).
Dapat dibayangkan betapa sesaknya kawasan perayaan tahun baru tersebut. Alhasil, seperti yang diberitakan metro.tempo.com, (1/1/2024), banyak sekali problematika yang ditimbulkan, seperti kemacetan total, terpisahnya anak-anak dari keluarganya, banyaknya pengunjung yang pingsan, sampai terjadi percekcokan antar pengunjung yang bermula dari saling dorong.
Di sisi lain, perhatian mereka teralihkan dari penderitaan-penderitaan yang dialami saudara seimannya, baik yang di Palestina, maupun Rohingya. Kabar terbaru pada akhir 2023 menyebutkan bahwa penjajah Zionis Yahudi semakin beringas di Jalur Gaza, Palestina (30/12/2023). Menurut penuturan warga sekitar, Zionis Yahudi melancarkan serangan menggunakan artileri berat. Pesawat tempur Zionis secara intens menyasar beberapa rumah sakit di Gaza dan melukai pasien Palestina. Sebagai perbandingan, angka terakhir menunjukkan 21.672 warga Palestina yang meninggal atau lebih dari 21 kali lipat jumlah korban di Israel pada tiga bulan terakhir ini. Ada lebih dari 56.000 warga Palestina yang mengalami luka (cnbcindonesia.com, 31/12/2023).
Di Aceh, para pengungsi Rohingya pun terancam akan pengusiran yang dilakukan oleh warga dan ratuasn mahasiswa. Mirisnya, aksi pengusiran oleh mahasiswa juga disertai dengan kekerasan dan intimidasi. Hal ini membuat para pengungsi ketakutan, kesakitan, sampai dengan menangis. “Karena bersaudara seiman, saya tidak menyangka mereka memperlakukan kami dengan tidak manusiawi seperti itu,” kata orang tua tunggal yang membawa serta tiga anaknya ke Aceh.
Padahal, dari temuan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Aceh melaporkan sejumlah mahasiswa yang terlibat aksi tersebut tidak memiliki argumentasi yang memadai untuk menolak keberadaan pengungsi Rohingya. Alasan-alasan yang diutarakan mahasiswa umumnya merujuk dari media sosial yang memuat “ujaran kebencian dan berita bohong” terhadap Rohingya (bbc.com, 29/12/2023).
Paradoks Sikap Kaum Muslim
Di pergantian tahun inilah tampak nyata paradoks kaum Muslim dalam bersikap. Begitu cinta terhadap dunia, namun melalaikan ikatan persaudaraan sesama Muslim. Generasi terjebak dalam lingkaran budaya yang jauh dari aturan Islam. Alih-alih menambah keimanannya, justru malah menghasilkan generasi yang semakin rusak. Sehingga kaum Muslim mulai lupa tentang hakikat ikatan akidah Islam. Pembelaan terhadap Palestina mulai memudar. Boikot, misalnya, gaungnya tidak lagi sekencang awal meletusnya pembantaian. Ditambah makin kuatnya pembungkaman oleh Meta pada akun yang menunjukkan pembelaan terhadap Palestina.
Membela Palestina seharusnya juga membela Muslim Rohingya. Namun, kaum Muslim justru terbelah atas pembelaan Rohingya. Padahal mereka sama-sama Muslim yang wajib kita perhatikan. Miris sekali jika kita berdiri tegak melawan penjajahan Yahudi atas Palestina, tetapi juga turut menyebarkan narasi dan ujaran kebencian atas Muslim Rohingya dengan berbagai tuduhan yang belum diketahui pasti kebenarannya. Bahkan menyamakan pengungsi Rohingya dengan entitas Yahudi yang akan mencaplok tanah Indonesia.
Nasionalisme Mengikis Ikatan Akidah
Inilah buah nasionalisme yang memutus ukhuwah umat Muslim, khususnya di Indonesia. Umat Muslim menjadi terpecah-belah, lemah, dan mudah tertindas. Pemikiran umat terjajah oleh nasionalisme, yang membuat Muslim tidak lagi memandang Muslim Palestina dan Rohingya sebagai kaum yang terjajah dan terusir dari tanah kelahirannya.
Tak hanya berimbas pada individu saja, nasionalisme juga membuat pemimpin-pemimpin negara saat ini tak mampu bersikap tegas terhadap kezaliman. Pemimpin saat ini hanya bisa mengecam entitas Zionis atas kekejiannya, menghimbau agar masyarakat tidak mengusir pengungsi Rohingya, serta sekadar memberikan bantuan makanan logistik. Padahal semua itu tidak bisa menyelesaikan akar masalah dari penjajahan terhadap kaum muslim di Palestina maupun Rohingya. Hal ini disebabkan ketakutan para penguasa atas ancaman dari musuh dan berpikir bahwa ini bukanlah urusan negeri mereka.
Layaknya resolusi pergantian tahun, refleksi atas perjalanan umat di negeri ini patut dilakukan. Namun, resolusi berkali-kali tidak berarti apa-apa jika tidak dibarengi dengan muhasabah. Umat Islam harus segera menyadari bahwa nasionalisme adalah anak kandung ideologi sekuler kapitalisme. Ikatan ini terbukti rapuh dan gagal mempersatukan kaum Muslim dalam satu kekuatan hakiki.
Padahal umat Islam ibarat satu tubuh, seperti yang disebutkan dalam hadits, “Orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan tidak bisa tidur dan panas (turut merasakan sakitnya)” (HR Muslim 4685).
Sudah seharusnya umat Muslim menolong saudaranya, melapangkan bantuan kepada mereka serta membantu menciptakan rasa aman dan ketenangan bagi mereka. Haram hukumnya seruan memboikot bantuan kepada sesama Muslim, apalagi menebar kebencian kepada mereka. Seruan pemboikotan, pengusiran apalagi melakukan serangan secara fisik kepada sesama Muslim adalah kezaliman yang telah dilarang dalam Islam. Sehingga seluruh umat Muslim wajib menunjukkan pembelaan, pertolongan dan sikap yang nyata, baik pada Palestina maupun Rohingya.
Persatuan Umat Muslim Adalah Solusi
Pembelaan, pertolongan, dan sikap yang nyata tidak cukup dan tidak bisa dilakukan oleh individu-individu Muslim saja. Masih terpecah-belahnya umat Muslim yang tersekat nasionalisme juga membuat umat Muslim tidak berdaya.
Layaknya satu tubuh, umat Muslim perlu bersatu di bawah satu naungan kepemimpinan yang menerapkan syariat Islam secara utuh, yaitu Khilafah. Khilafah menciptakan pelindung sejati bagi umat secara internasional. Seperti yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW bahwa keberadaan Khilafah laksana perisai yang melindungi umat. “Sungguh Imam (Khalifah) adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikan dia sebagai pelindung” (HR Muslim).
Imam an-Nawawi menjelaskan konsep "Imam adalah perisai," dapat diartikan sebagai penghalang. Konsep ini menggambarkan bahwa seorang Imam atau Khalifah memiliki peran untuk mencegah berbagai upaya musuh yang dapat menyakiti umat Muslim.
Dengan diterapkannya sistem Islam secara sempurna, umat akan terjaga dari kezaliman, penindasan, penjajahan, diskriminasi, dan keterpurukan. Umat beragama lain pun akan tetap dilindungi di bawah naungan Khilafah. Generasi juga terselamatkan dari gempuran budaya dan pemikiran kufur, masyarakat hidup teratur sesuai Islam, dan pemimpinnya amanah karena melaksanakan aturan Islam dalam ketaatan, bukan berdasar kepentingan. Wallahua’lam bisshawab.
Oleh: Nanda Nabila Rahmadiyanti
0 Komentar