Revisi UU ITE Jilid II, Lagi-Lagi Jadi Alat Gebuk Lawan Politik?



Ramai kembali menjadi perbincangan publik terkait kontroversi revisi kedua UU ITE. Dilansir dari CNNIndonesia.com, 4/1/2024, beberapa pasal kontroversial bertahan di Undang-Undang terbaru. Aturan karet seperti pidana berita bohong atau pencemaran nama baik masih tercantum di UU ITE versi terbaru.



Secara umum poin-poin revisi UU ITE yang ada di antaranya:


1. Pasal karet pencemaran nama baik


Pasal 27, salah satu pasal karet UU ITE sejak versi pertama, mengalami sejumlah perubahan. Pasal ini dirampingkan dari empat ayat menjadi dua ayat. Ayat yang mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik dan pemerasan atau pengancaman dihapus. Namun, ada dua pasal baru yang mengatur hal serupa, yaitu pasal 27A dan 27B.



"Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik," bunyi pasal 27A. Sementara itu, pasal 27B mengatur larangan mengancam orang lain menggunakan saluran elektronik.



2. Pasal karet ancaman pribadi


Revisi UU ITE mengubah ketentuan pasal karet lainnya, yaitu pasal 29. Awalnya, pasal itu mengatur ancaman kekerasan yang ditujukan secara pribadi. Versi revisi menghilangkan ketentuan "pribadi". Pasal 29 di UU ITE jilid II berubah menjadi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti."



3. Perlindungan anak


UU ITE menambahkan aturan perlindungan anak di internet dengan pasal 16A. Penyelenggara sistem elektronik diwajibkan menyediakan informasi terkait anak.


Informasi yang diwajibkan mencakup batasan minimum usia anak yang dapat menggunakan produk atau layanannya; mekanisme verifikasi pengguna anak; serta mekanisme pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak. Penyelenggara sistem elektronik diancam sanksi teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, hingga pemutusan akses bila tak patuh.



4. Berita bohong


Revisi UU ITE menambahkan aturan pidana penyebaran berita bohong di pasal 28 ayat (3). Ada aturan terkait berita bohong yang memicu kerusuhan. "Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat," bunyi psal 28 ayat (3).



5. Polisi bisa tutup akun medsos


UU ITE jilid II memberikan wewenang kepada penyidik kepolisian atau pejabat ASN tertentu di lingkungan pemerintah yang relevan di bidang ITE untuk menutup akun media sosial.


Aturan pasal 43 huruf i ditambah menjadi, "Memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital."



6. Pintu intervensi pemerintah


Pemerintah punya wewenang mengintervensi penyelenggaraan sistem elektronik berkat revisi UU ITE. Hal itu diatur dalam pasal 40A.


Ayat (2) pasal tersebut mengatur pemerintah berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan penyesuaian pada atau melakukan tindakan tertentu guna mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif. "Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)," bunyi pasal 40A ayat (3).



Penyelenggara sistem elektronik diancam sanksi administratif, teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, hingga pemutusan akses bila tidak taat.



Diungkapkan oleh Damar Juniarto, co-founder  SAFE-net dalam podcast nya Novel Baswedan  (NBW) januari 2024 yang bertajuk REVISI UU ITE SUDAH DISAHKAN, HATERS DI MEDSOS TERANCAM HUKUMAN 6 TAHUN PENJARA ATAU DENDA 1 M. Karena sama-sama pernah tersangkut kasus UU ITE, Damar melihat UU ini tampak cukup menakutkan untuk semua pihak. Terutama masyarakat karena yang tersangkut UU ITE ini tidak hanya mereka yang berprofesi seperti pengacara, guru, intelektual tapi juga Ibu Rumah tangga. Sehingga muncul kesan bahwa UU ITE ini lebih merupakan momok. Selain itu juga menjadi alat penguasa kepada orang/pihak yang lemah.



Malahan opini yang muncul bahwa UU ITE seharusnya dikenal sebagai alat untuk mengatur informasi dan transaksi elektronik di era digital justru yang nampak banyak kasus kriminalisasi karena ketidakadilan akibat penerapan UU ITE.



Senada dengan itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik revisi kedua Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada Selasa (5/12). Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya menilai isi UU tersebut masih memuat pasal karet dan berpotensi digunakan sebagai alat kriminalisasi. Apalagi, UU itu disahkan pada tahun politik (CNNIndonesia.com, 5/12/2023).



Sementara sebagai bentuk pembatasan kebebasan berpendapat, Analis Politik Exposit Strategy Arif Susanto mensinyalir wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengemuka hanya sebatas alat pencitraan pemerintah. Menurut Arif, gagasan revisi UU ITE mencuat di tengah terpaan pelbagai kritik dari dalam negeri dan internasional. Salah satu yang terbaru, survei The Economist Intelligence Unit (EIU) mendapati indeks demokrasi Indonesia menurun. Indonesia menempati peringkat 64 dari 167 negara dunia. Merosotnya indeks demokrasi tersebut bersamaan dengan bergulirnya pelbagai kritik mengenai kebebasan berpendapat (CNNIndonesia.com, 19/2/2021).



Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya konsisten untuk menjalankan proses demokratisasi di negeri ini, bukan malah terjadi pembungkaman masif dengan basis UU seperti yang terjadi sebelumnya. 


Akan tetapi, sangat tidak mengherankan jika Indonesia hari ini mengarah kepada pemerintahan otoritarianisme. Sinyalemen ini bukanlah isapan jempol belaka.



Majalah Tempo.co, 22/10/2023 menyebut KOMISI untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai watak otoritarianisme makin terlihat dalam tahun keempat pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.



Bahkan Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan ada tiga pola kebijakan yang menandakan pemerintahan Joko Widodo otoriter. Ketiga pola itu, menurutnya, menghambat kebebasan sipil, mengabaikan hukum yang berlaku, dan berwatak represif serta mengedepankan pendekatan keamanan (VOAIndonesia.com, 14/6/2020).



Bahkan Media Indonesia juga menulis di laman resminya mediaindonesia.com, 15/12/2023, bahwa KLAIM Presiden Joko Widodo yang mengatakan pemerintah tidak pernah melakukan pembatasan hak berbicara masyarakat, bahkan mencaci maki presiden, dimentahkan sejumlah pihak. Sejumlah fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda 180 derajat. Bahkan, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi disebut mengarah sebagai negara otoritarianisme. Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia (Pandekha) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona menjelaskan proses hukum terhadap aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti serta intimidasi kepada seniman Butet Kartaredjasa adalah bentuk dari pembatasan hak sipil politik masyarakat.



Padahal, dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, pemerintah harus bersikap pasif terhadap hak sipil politik masyarakat. Boleh jadi, lanjut Yance, tidak ada instruksi langsung secara tertulis dari pemerintah yang mengekang kebebasan hak sipil politik masyarakat, misalnya melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden.



Bahkan kompas.id, 8/3/2023, menuliskan Dunia Semakin Otoriter, Demikian Juga Indonesia. Kemunduran demokrasi telah terjadi secara global, dan semakin banyak orang yang hidup dalam otokrasi tertutup.



Begitulah fakta yang ada, demokrasi lambat laun akan berubah menjadi otoritarianisme tatkala ada kekhawatiran dari penguasa kehilangan jabatannya. Sehingga meniscayakan kritik harus dibungkam, terlebih suara-suara yang berbeda dari kebijakan pemerintah dianggap sebagai agitasi. Sehingga jika kita jujur dalam demokrasi bahwa yang berkuasa dia lah yang menang dan punya kebebasan wewenang, penguasa mudah membuat dan merevisi regulasi atau UU.



Maka UU bisa dibuat dan direvisi untuk memuluskan segala kepentingannya, itu sudah merupakan hal yang umum terjadi. Begitulah kelemahan hukum buatan manusia. Maka secara jelas sudah saatnya mencari sistem hukum dan aturan alternatif yang lebih bisa aware kepada hak-hak rakyat, dan memfungsikan sistem negara yang menjadikan penguasa bukan sewenang-wenang tetapi menjadi pelayan bagi rakyatnya, dan menetapkan aturan dengan keadilan dan kesamaan posisi didepan hukum karena rasa takutnya khalifah kepada RobbNya, yakni Allah SWT.



Posisi kritik yang diberikan kepada Khalifah adalah untuk menegakkan hukum Allah SWT semata. Jadi posisi Khalifah bukan priviledge akan tetapi amanah ri'ayatus syu'unil ummah (mengurusi urusan umat), mensejahterakannya, dan memberi rasa keadilan bukan menakut-nakuti, mengancam bahkan memberi rasa khawatir kepada rakyatnya. Sebab penerapan hukum ini harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sistem hidup  yang telah teruji melakukan itu hanya sistem hidup yang berasal dari Allah dengan menetapkan aturan Islam dan sistem  hukum yang bersumber dari Al Qur'an dan As Sunnah secara Kaffah (totalitas) dalam bingkai Khilafah. 



أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ



Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari

pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah:50).



Wallahu a'lam bisshawwab


Oleh Hanin Syahidah


Posting Komentar

0 Komentar