Oleh: dr. Alik Munfaidah, Aktivis Muslimah di Depok
#Depok - Menurut catatan amnesti International Indonesia sejak 14 November 2023 lalu, gelombang pengungsi Rohingya mulai berdatangan di Aceh. Sementara UNHCR melaporkan, kedatangan pengungsi Rohingya ini dalam rentang sebulan sejak awal kedatangannya akhir 2023 lalu, merupakan gelombang yang ke-10 dan tercatat jumlahnya telah mencapai 1.608 jiwa yang berada di Aceh.
Gelombang kedatangan Muslim Rohingya ke Aceh ini juga diwarnai penolakan oleh warganet Indonesia bahkan narasi kebencian dan hoaks soal Rohingya marak beredar di media sosial mulai dari alasan kecewa atas sikap buruk Muslim Rohingya hingga isu akan terjadinya penguasaan lahan oleh mereka seperti yang dilakukan oleh Zionis Yahudi terhadap tanah Palestina.
Menanggapi kedatangan gelombang pengungsi ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri menyampaikan bahwa Indonesia tak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya. Hal itu berdasarkan pada aturan Konvensi 1951 dan Indonesia tidak ikut meratifikasi, karena itu Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut. Terkesan pemerintah akan memberlakukan pushback-policy dengan alasan kekhawatiran adanya pihak yang akan memanfaatkan belas kasih kepada pengungsi untuk terjadinya tindak pidana perdagangan orang atau TPPO.
Sejatinya, permasalahan pengungsi hanya sebagai dampak, karena akar permasalahan mereka adalah apa penyebab terusirnya mereka dari negeri asalnya, sehingga opsi repatriasi menjadi tertutup. Hal ini sangat berkaitan dengan sejarah etnis Rohingnya, sehingga kejelasan identitas Rohingya ini akan dapat meluruskan tuduhan dan stigma negatif yang diarahkan kepada mereka, serta berimplikasi pada penolakan dan kebencian terhadap mereka.
Meluruskan Sejarah dan Mendudukkan Krisis Rohingya
Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (Arakan) di Myanmar. Sebelum Genosida Rohingya pada 2017, dulunya ada sekitar 1,4 juta Rohingya yang tinggal sebagai minoritas Muslim di Myanmar (Burma). Menurut sejarawan Nicko Pandawa, berdasarkan beberapa catatan sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan sumbernya, dimulai sejarah abad ke 15 pada 1446 di Arakan. Orang yang mengislamkan Arakan adalah Sultan Jalaluddin Muhammad Syah. Pada abad ke 15 tersebut Arakan menjelma menjadi kosmopolitan, yang melindungi agama yang heterogen dan penuh toleransi selama sekitar tiga setengah abad. Sejak 1430 hingga 1784 masyarakat Islam dan Buddha hidup harmonis. Kondisi berbalik ketika Arakan dikalahkan kembali oleh dinasti Burma tahun 1784 rezim Buddha radikal melakukan Burmanisasi termasuk wilayah Arakan. Dan ini adalah awal persekusi terhadap etnis Rohingya, saat sekitar 30.000 orang India dan Bengal dipaksa keluar dari Arakan.
Konflik semakin bergejolak ketika Dinasti Burma melakukan perlawanan terhadap penjajah Inggris. Perang Anglo-Burma yang terjadi antara 1824 hingga 1826 pun pecah. Penjajah Inggris yang telah menduduki India merangsek ke Burma dan berhasil menguasai Burma, sehingga Bengal-Arakan masuk wilayah Inggris. Selama zaman kolonial, Inggris memperlakukan negara jajahannya secara rasis, dan mendiskriminasi Buddha Arakan. Di sisi lain Inggris memperlakukan etnis Bengal-Rohingya secara istimewa, dan hal ini merupakan pemicu keretakan sosial antara masyarakat Burma yang memandang etnis Bengal-Rohingya sebagai pengkhianat karena mendukung Inggris. Propaganda inilah yang selalu digaungkan oleh kaum nasionalis Myanmar untuk menumbuhkan rasa kebencian terhadap etnis Rohingya.
Saat Burma merdeka, Kepemimpinan U Nu yang menjadi PM pertama Burma menghendaki Burma menjadi negara Buddha tapi tetap berkomitmen memberi etnis Rohingya hak kewarganegaraan. Namun U Nu menginisiasi relasi Burma dengan entitas Zionis yang juga merdeka tahun 1948. Bahkan 1949 Myanmar menjadi negara Asia Tenggara pertama yang mengakui kedaulatan negara Israel, dan terus melakukan hubungan politik yang erat dengan entitas Zionis Israel. Bahkan kerjasama berlanjut dalam bentuk penjualan alutsista Israel untuk operasi genosida Muslim Rohingya. Selama kudeta junta militer, drone dan spyware Israel digunakan untuk membantai sekitar 6.337 orang Rohingya.
Tahun 1982 pemerintah Myanmar menerapkan UU kewarganegaraan yang menentukan etnis atau Ras nasional. Dibuatlah daftar 135 etnis yang diakui sebagai "pribumi Myanmar" dan etnis Rohingya tidak masuk di dalamnya. Penindasan terhadap etnis Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan ini semakin nyata ketika didirikan kelompok ekstrim Buddha yang menyerukan Islamophobia dan xenophobic. Buddha Ashin Wirathu selalu memprovokasi dan mengeluarkan ujaran kebencian terhadap bangsa yang dianggap asing (xenophobia). Pembantaian pun dilakukan secara sistematis sejak 2012 hingga 2017. Genosida 2017 adalah yang paling mengerikan, dalam satu bulan lebih dari 6700 orang tewas dibantai Junta militer.
Sejatinya, kekejian terhadap etnis Rohingya berpangkal dari tidak adanya pengakuan sebagai warga negara. Baik pemerintah demokratis maupun rezim Junta militer keduanya tidak mengakui etnis Rohingya sebagai bagian warga negara Burma. Sehingga opsi repatriasi menjadi tertolak. Akhirnya etnis Rohingya terlunta-lunta, mereka menghadapi penganiayaan yang kejam di Myanmar, dan juga di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga seperti Bangladesh dan Thailand. Belakangan di Malaysia dan Indonesiapun mereka mendapatkan perlakuan tidak bersahabat. Rohingya dideskripsikan oleh jurnalis dan media sebagai salah satu etnis yang paling terpresekusi di dunia.
Human Right Watch menggambarkan penganiayaan yang dilakukan Myanmar terhadap Rohingya sebagai pembersihan etnis. Sebenarnya bukti kejahatan terhadap etnis Rohingya pun sudah dikantongi oleh PBB, baik yang dilakukan oleh kelompok Buddha ultra-nasionalis maupun junta militer Myanmar. Anehnya, tidak ada hukuman apapun yang dijatuhkan atas kekejian yang telah menimpa ratusan ribu etnis Rohingya ini.
Solusi Tuntas terhadap Rohingya
Kondisi kaum Muslimin Rohingya yang sedemikian menderita ini ternyata belum mampu menggerakkan negara-negara tetangganya sekalipun itu negeri-negeri kaum Muslimin untuk memberikan pertolongan. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya, “Seorang Musim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, dan tidak membiarkan saudaranya itu untuk disakiti. Siapa saja yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya dan siapa saja yang menghilangkan satu kesusahan seorang Muslim maka Allah akan menghilangkan kesusahan-kesusahannya di hari kiamat dan siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat” (Hadits riwayat Muslim).
Hadits ini merupakan perintah yang sifatnya umum kepada kaum Muslim tanpa membedakan adanya ras atau suku untuk tidak membiarkan saudaranya disakiti oleh orang lain maka haram hukumnya provokasi untuk menolak atau memboikot bantuan kepada sama Muslim apalagi menebar kebencian kepada mereka. Sebaliknya, umat Islam di mana pun berada wajib menolong saudaranya, melapangkan bantuan serta menciptakan rasa aman dan ketenangan.
Faktanya, kini pertolongan ini sulit dilakukan karena kaum Muslim saat ini tersandera oleh sekat-sekat nasionalisme. Hans Kohn dalam Nationalism: It’s Meaning and History menjelaskan bahwa nasionalisme bermakna sikap pandang individu bahwa kesetiaan kemuliaan dan pengabdian tertinggi diberikan kepada negara. Akibat paham ini menimbulkan sikap ashabiyah yang menghalangi ukhuwah Islamiah antar kaum Muslim. Sekat nasionalisme telah menghalangi negeri-negeri Muslim menerima Muslim Rohingya di negaranya akibat nasionalisme Muslim Rohingya hanya diposisikan sebagai orang-orang di kamp-kamp pengungsian.
Lebih dari itu kepemimpinan global yang dikendalikan oleh mindset kapitalisme semakin menambah enggannya negara-negara tetangga menolong kaum Muslim Rohingya. Kapitalisme adalah paham yang berorientasi pada untung dan rugi, sehingga filantropi yang diberikan hanya bantuan seadanya yang tentu tidak mencakup kebutuhan seluruh pengungsi Rohingnya, bahkan sekadar kebutuhan paling mendasar mereka sebagai manusia sekalipun. Seringkali yang diberikan hanya berupa perlindungan melalui undang-undang Konvensi yang nihil penerapannya.
Kondisi pengungsi Rohingya akan sangat berbeda ketika mereka berada di kepemimpinan Islam yakni negara Khilafah, mereka akan mendapatkan jaminan keamanan dan perhatian. Rasulullah dalam sabdanya pernah menegaskan bahwa fungsi Khilafah itu ibarat perisai. Imam An Nawawi menjelaskan makna Khilafah sebagai perisai, maksudnya mencegah musuh menyerang atau menyakiti kaum Muslim, mencegah masyarakat satu dengan yang lain dari serangan, melindungi keutuhan Islam dia disegani masyarakat dan mereka pun takut terhadap kekuatannya.
Dalam Khilafah, kaum Muslim tidak akan tersekat-ekat dengan batas-batas nation state, mereka merupakan satu kesatuan di bawah akidah Islam dan negara Islam sehingga khilafah pun tidak segan-segan untuk membela kaum Muslim dan memerangi pihak-pihak yang melakukan kezaliman kepada kaum Muslim, tindakan ini dilakukan sebagai bentuk penjagaan kemuliaan dan darah kaum Muslim.
Sejarah telah mencatat bahwa keberadaan Khilafah tidak hanya melindungi kaum Muslim tetapi juga melindungi umat agama yang lain tanpa memandang ras, suku ataupun etnisnya. Sebagaimana dulu Sultan Bayazid II, salah satu penguasa Khilafah Utsmaniyah yang pernah memberikan suaka untuk kaum Yahudi yang terusir dari Spanyol oleh para penguasa Kristen, mereka hidup aman dalam naungan Khilafah. Khilafahlah role model sistem politik yang akan mampu menyolusi persoalan semacam krisis Rohingya, yang telah terbukti belum ada yang menyaingi perannya baik oleh negara bahkan oleh lembaga-lembaga dunia sekalipun hingga pada era modern detik ini. Wallahu a’lam [].
0 Komentar