Utang Luar Negeri, Jebakan Ekonomi Ala Kapitalisme

 


Oleh: Titin Kartini

 

Selain disebut Kota Hujan, Bogor juga dikenal sebagai Kota Seribu Angkot. Angkutan kota atau angkot memang merupakan sarana transportasi publik yang paling banyak digunakan di kota ini. Sebagai kota berpenduduk padat dan memiliki banyak tujuan wisata, Bogor butuh moda transportasi yang efisien dan cepat untuk memfasilitasi pergerakan penduduk dan pengunjung. Tidak heran jika angkot, dengan kapasitas lebih kecil dan fleksibilitas lebih besar dibandingkan bus kota atau kereta, menjadi pilihan yang ideal.

Jumlah angkot di Kota Bogor sangat banyak hingga mencapai seribu lebih. Angkot-angkot ini menjadi ciri khas Kota Bogor dan berperan penting dalam sistem transportasi kota, memberikan aksesibilitas tinggi yang menopang berbagai destinasi di kota ini. Namun, banyaknya angkot ini juga menjadi tantangan dalam pengelolaan lalu lintas. Tidak jarang pula angkutan-angkutan kota ini menjadi penyebab kemacetan di beberapa titik.

Bima Arya selaku orang nomor satu di Kota Bogor, menargetkan untuk mengurangi angkutan kota (angkot) di pusat kota. Bima Arya telah menyiapkan tiga strategi yang akan dimaksimalkan di sisa kepemimpinannya. Adapun tiga strategi tersebut adalah: pertama, mengupayakan hadirnya subsudi yang menjadi kunci program konversi tiga angkot menjadi satu bis. Subsidi tersebut berasal dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi. Kedua, mengurangi jumlah angkot dengan membatasi usia maksimal angkot yakni 20 tahun. Ketiga, dengan memutar atau merombak trayek angkot yang menurutnya terlalu menumpuk, terutama di jalan Lawang Seketeng, Jalan Pedati, dan ruas Jalan Otista menuju Empang. (www.radarbogor.id,  1/1/2024)

Pilihan pertama membawa konsekuensi besarnya kebutuhan anggaran untuk menyediakan moda transportasi yang aman dan nyaman. Program ini membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga Bima Arya sangat mengharapkan adanya subsidi dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi. Sementara Pemerintah Pusat yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis menjadikan pendapatan utama negara berasal dari pajak. Nyatanya pendapatan dari sektor pajak ini pun sering kali tidak mencapai target. Banyaknya korupsi menjadi salah satu penyebab minimnya pendapatan negara dari sektor pajak. Lantas, minimnya pendapatan negara akan memunculkan defisit anggaran yang sudah tentu hal tersebut akan ditutupi dengan utang luar negeri. Alhasil utang Indonesia semakin membengkak dari tahun ke tahun.

Utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang menjadi salah satu sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terus melonjak sepanjang 2023. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan posisi utang Indonesia hingga akhir November 2023 sebesar Rp 8.041,01 triliun. (CNBC Indonesia, 19/12/2023)

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini mengingatkan terkait kenaikan utang pemerintah yang sangat signifikan. Posisi utang pemerintah selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melonjak hampir 200 persen. Posisi utang pemerintah terus mengalami kenaikan sejak 2014. Didik mengatakan lonjakan utang yang sangat tinggi akan berimplikasi pada pengelolaan keuangan negara atau APBN di masa depan. “Implikasinya pada APBN ke depan yang akan habis untuk membayar utang,” katanya dalam Diskusi Publik Indef. (Bisnis.com, 5/1/2023)

Jika hal ini terus dibiarkan, sudah tentu negeri ini akan mengalami kebangkrutan. Padahal sejatinya Indonesia adalah negeri dengan sumber daya alam yang sangat melimpah. Namun ironisnya kekayaan alam tersebut tidak dikelola oleh negara, tetapi diserahkan kepada para kapitalis baik lokal, asing maupun aseng.

Utang luar negeri sejatinya adalah jebakan ekonomi ala kapitalisme. Kejamnya sistem ekonomi kapitalisme di mana rakyat hanya dijadikan tumbal keserakahan para penguasa dengan semua aturannya. Bahkan menyediakan transportasi yang aman dan nyaman bagi masyarakat pun tak bisa terealisasi dengan sempurna tanpa embel-embel utang negara.

Hal ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi Islam, di mana semua sumber daya alam yang menguasai hajat hidup umat/rakyat sejatinya adalah milik umat/rakyat, dan pengelolaannya diserahkan kepada negara. Karena negara yang mengelola dan penguasa adalah raa'in (pengurus/pelayan) rakyat, maka tentu saja hasil pengelolaan kekayaan alam digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" (HR. Abu Dawud).

Sistem ekonomi Islam tentu saja berlandaskan akidah Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan hadis. Standar halal dan haram menjadi asas dalam setiap perbuatan tak terkecuali kebijakan negara pun harus sesuai dengan akidah Islam. Pemimpin dan negara menjadi garda terdepan untuk rakyatnya. Segala sesuatu yang menyangkut urusan rakyat menjadi prioritas utama negara. Hal ini adalah kemustahilan dalam sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini yang nyatanya telah memporak-porandakan tatanan kehidupan, termasuk dampak ekonomi yang semakin sulit untuk rakyat.

Alhasil, kembali kepada sistem Islam yang sempurna dan paripurna adalah pilihan yang hakiki untuk menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutan dan tentunya keselamatan di dunia maupun akhirat kelak.

Pada masa kejayaan Islam dengan sistemnya yang bernama khilafah, kondisi perekonomian kaum muslim begitu gemilang. Pemerintah mampu menyediakan transportasi yang aman dan nyaman tanpa membebankan biaya sedkit pun kepada rakyat, karena semua pembiayaan berasal dari sumber daya alam yang dikelola oleh negara. Bahkan pada masa khalifah Umar bin Abul Azis tak ditemukan satu masyarakat pun yang mau menerima zakat dari negara, karena semua masyarakat sudah tercukupi kebutuhannya baik sandang, pangan, maupun papan.

Tentunya kita merindukan hidup sejahtera dalam naungan Islam, yakni dengan penerapan syariat Islam secara kafah di semua lini kehudupan. Saatnya umat berjuang bersama mewujudkan kehidupan yang penuh berkah. Wallahu a'lam.

_________

Posting Komentar

0 Komentar