Oleh: Ratna Purwitasari, Aktivis Muslimah
Sudah menjadi tugas kita meluruskan kembali bahwa perubahan hakiki bukan sekadar berpindah keadaan apalagi sekadar urusan individual, melainkan momentum menuju kebangkitan hakiki dengan jalan berjuang mencampakkan sistem sekuler menuju tegaknya syariat Allah di muka bumi. Dan tampak belakangan ini kata ‘perubahan’ kerap digaungkan parpol dan calon kontestan bahkan terus digemakan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat banyak, karena mereka memahami bahwa masyarakat begitu mendamba perubahan.
Realitas demokrasi menunjukkan, kontestasi dalam pemilihan kepemimpinan nyatanya memang tidak lebih dari basa basi politik. Melalui ajang pemilu, rakyat seakan diberi hak politik untuk memilih orang yang mereka anggap terbaik. Tapi, sejatinya tidak memberikan perubahan sebagaimana yang diinginkan. Maklum saat ini kondisi masyarakat masih dilingkupi banyak persoalan-persoalan baik di bidang politik, ekonomi dan sosial.
Persoalan di Berbagai Bidang
Persoalan-persoalan tersebut antara lain: Pertama, di bidang ekonomi. Dari tahun ke tahun kondisi umat belum membaik, bahkan semakin ke sini semakin sulit di sektor ekonomi. Banyak PR besar yang tidak bisa diselesaikan meskipun pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi terus membaik. Kenyataannya tidak membuat kehidupan mayoritas masyarakat bertambah sejahtera apalagi diliputi keberkahan.
Memang, pembangunan fisik terutama infrastruktur tampak jor-joran, tapi kemiskinan kian meluas di tengah masyarakat dan menimbulkan gap sosial yang kian menganga. Rakyat tidak dapat menikmati secara langsung hasil Pembangunan, hanya orang-orang kaya dan oligarki yang bisa menikmati hasil pembangunan ini. Penguasa telah gagal menyejahterakan rakyatnya. Biaya hidup yang kian mahal melahirkan kasus stunting, kelaparan akut dan sejenisnya yang bermunculan di mana-mana.
Kedua, di bidang sosial. Pada bidang sosial kondisinya kian memprihatinkan. Gaya hidup permisif dan liberal membuat kehidupan generasi kian bebas tanpa batas. Kerusakan moral tidak tabu dipertontonkan. Para pelaku maksiat dan para penyeru kekufuran kian jumawa. Kriminalitas pun kadarnya semakin mengerikan. Tidak ada suasana aman dan nyaman dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi. Institusi keluarga makin rapuh dengan maraknya perceraian karena alasan ekonomi dan perselingkuhan.
Mirisnya, penguasa tampak tidak peduli dengan moral generasi yang kian rusak lantaran teracuni paham bahwa urusan moral adalah ranah individual. Alih-alih menerapkan sistem aturan yang mengukuhkan kepribadian generasi, negara malah melahirkan aturan yang kontraproduktif bagi penyelamatan generasi yang berpotensi melegalkan kerusakan seperti pengesahan UU TPKS, pengarusderasan moderasi beragama dan proyek deradikalisasi, penerapan kurikulum merdeka dan lain sebagainya.
Ketiga, di bidang politik. Politik dalam negeri Indonesia pun tampak naif dan hipokrit. Ketidakhadiran negara sebagai pengurus dan penjaga umat serta dengan diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme justru menjadikan negara sebagai sumber penderitaan rakyat banyak. Kekuasaan politik hanya menjadi rebutan pemburu materi dan kedudukan. Terbukti lahir dari tangan penguasanya berbagai kebijakan yang anti rakyat, tetapi sangat pro dengan pemilik modal.
Biaya politik yang super mahal hanya membuat kekuasaan demokrasi rentan dengan korupsi dan praktik kolusi. Kebijakan yang muncul jadi ajang transaksi, dan supremasi hukum bisa dibeli tanpa memperhatikan halal haram, yang penting bisa berkuasa dan bisa balik modal saat berkampanye dan harus untung.
Dalam konstelasi politik internasional, bangsa ini pun tampak kian tak berdaya, bahkan terus didikte kepentingan asing, sehingga SDA-nya pun dirampok, potensi generasi mudanya pun dibajak. Sempurnalah keadannya sebagai negara pengekor, bahkan jajahan bagi negara-negara besar. Benar-benar tidak berdaya dan minus kedaulatan.
Mengapa perubahan gagal? Karena tetapnya kezaliman, masih menyeruaknya ketidakadilan, masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, merupakan potret nyata dari kegagalan suatu perubahan. Faktor dari kegagalan tersebut karena perubahan yang terjadi tidak pada persoalan pokok, bukan pada akar permasalahan. Ditambah pula penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal yang menafikkan peran Sang Khaliq oleh negara. Pada saat yang sama sistem ini memberikan hak membuat hukum pada akal manusia yang lemah dan terbatas, bahkan sangat sarat dengan kepetingan segelintir orang.
Kedurhakaan inilah yang disinyalir memicu kesempitan hidup, dan melewati batas, hukum Allah dicampakan. Para ulama bahkan pengemban dakwahnya dilecehkan, agama dipermainkan dan ayat-ayat Al-Quran dijual demi membenarkan pendapat mereka dan demi memperoleh jabatan. Umat pada akhirnya dijauhkan dari hakikat ajaran Islam melalui makar pengarusan ide-ide islam moderat yang pada hakikatnya adalah deidiologisasi dan liberalisasi Islam melalui berbagai program.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah al-Araf ayat 96 yang artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Bukan Perubahan Parsial yang Diharapkan
Semua realitas buruk ini tentu harus memicu keinginan kuat melakukan perubahan, khususnya di 2024 hingga ke depan. Perubahan yang dimaksud bukan sekadar perubahan parsial berupa pergantian rezim semata, tapi harus mengarah pada perubahan sistem. Yakni perubahan dari sistem sekuler demokrasi yang jahiliyah menuju sistem Islam yang dinaungi wahyu ilahiyah.
Keinginan umat untuk berubah merupakan modal penting bagi perubahan itu sendiri. Artinya umat sudah menyadari fakta buruk yang ditimbulkan kebijakan penguasa dan ingin menggantinya agar lebih baik. Hanya saja, perubahan apakah yang diinginkan umat?
Jika yang diinginkan adalah perubahan kepada penerapan hukum Islam oleh negara, dengan pemimpinnya seorang Muslim yang saleh dan kapabel, memang itulah yang dikehendaki Islam. Namun jika yang diinginkan itu adalah sosok pemimpin dengan Muslim yang saleh saja, sementara format negara tetap seperti yang ada saat ini, maka tidak akan mengantarkan pada perubahan hakiki.
Bukankah fakta selama ini menunjukkan bahwa pergantian orang atau rezim yang sudah dilakukan beberapa kali namun tanpa mengubah sistem, terbukti kondisi tak pernah membaik.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem batil dicampakkan dan mengambil sistem Islam untuk diterapkan yang pasti membawa keberkahan. Yakni dengan berjuang menegakkan institusi penerap syariat Islam, yang tidak lain adalah sistem Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum Muslimin yang akan menerapkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam.
Agar sistem Islam dalam institusi Khilafah terwujud, diperlukan upaya-upaya dakwah yang targetnya membangun kesadaran. Yakni dengan dakwah pemikiran yang dilakukan secara berjamaah sebagaimana yang dicontohkan baginda Rasulullah SAW. Bukan dakwah fisik apalagi kekerasan. Dan bukan dakwah fardhiyah yang tak fokus arah.
Dengan dakwah fikriyah dan jamaiyyah inilah, umat dipahamkan tentang hukum-hukum Islam sebagai solusi pemecah permasalahan kehidupan. Sehingga akan tergambar pada diri umat, tak ada yang bisa membawa mereka pada kesejahteraan hakiki dan hidup berkah selain dengan penerapan syariat Islam dalam kehidupan. Sehingga terwujud hidup sejahtera, minim kriminalitas, pendapatan merata, keadilan didapatkan, generasi hidup dalam jaminan keamanan, pendidikan yang baik dan benar dalam melahirkan manusia baik dan bermanfaat, merasakan layanan kesehatan yang baik dan gratis dan lainnya.[]
0 Komentar