Adakah Pemilu dalam Sistem Pemerintahan Islam?


#Tarikh - Pemilu 2024 baru saja usai. Berdasarckan hasil Quick Count yang ditayangkan berbagai media massa, pasangan calon 02, Prabowo-Gibran, berhasil menang telak dengan persentase kemenangan mencapai angka 59%. Sebuah angka yang cukup untuk memenangkan pemilu dalam satu putaran sebagaimana ketentuan undang-undang.

Kemenangan ini tentu saja mengundang banyak tanya bahkan mengarah pada kecurigaan kecurangan dari sebagian pihak. Terlebih, saat masa tenang, tersiar sebuah film dokumenter berjudul ‘Dirty Vote’ yang menggambarkan berbagai kecurangan dan keganjalan beberapa proses menuju pemilu. Tak ayal, film dokumenter ini banyak menyoroti kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di tubuh Paslon 02. Terlepas dari film dokumenter tersebut, catatan kecurangan pemilu dalam pesta demokrasi negeri ini, sudah banyak terekam jelas dalam setiap prosesnya.

Satu yang paling melekat adalah money politic dalam bentuk serangan fajar misalnya. Dengan demikian, apakah sejatinya kecurangan merupakan napas dari proses pemilu itu sendiri? Lantas, bagaimana dalam sistem Islam, yakni Khilafah, adakah proses pemilu di dalamnya saat menentukan seorang Khalifah yang akan menerima tampuk kekuasaan?

Bila kita menyelami tarikh atau sejarah penerapan sistem pemerintahan Islam, maka kita akan menemukan bahwa pada masa era Khulafaur Rasyidin, pernah ada proses pemilu saat itu yang dilakukan umat muslim untuk menentukan siapa yang akan dibaiat ummat sebagai Khalifah atau pemimpin selanjutnya. Hal itu terjadi saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra. berakhir dan digantikan oleh salah satu sahabat lainnya yakni Khalifah Utsman bin Affan ra. 

Menurut buku Kitab Sejarah Lengkap Khulafaur Rasyidin tulisan Ibnu Katsir, kala itu Umar bin Khattab menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah Majelis Syura yang anggotanya berjumlah 6 orang. Mereka terdiri atas Utsman bin Affan, Ali bin Abi thalib, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin Awwam Rhodiyallahu 'anhum.

Umar merasa sangat berat menentukan salah seorang di antara mereka yang menjadi khalifah setelahnya. Ia berkata,

"Aku tidak sanggup untuk bertanggung jawab tentang perkara ini, baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap kalian, maka Dia akan membuat kalian bersepakat untuk menunjuk seorang yang terbaik di antara kalian sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang yang terbaik setelah Nabi kalian."

Akhirnya, dilakukan musyawarah usai Umar bin Khattab wafat. Terpilihlah tiga kandidat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf ra.

Dari keenam anggota Majelis Syura, tidak ada satu pun yang mengajukan diri untuk dibaiat. Begitu pun dengan Ali dan Utsman, sehingga musyawarah ditunda.

Kemudian, di hari kedua Abdurrahman bin Auf berkeliling Madinah untuk menjumpai para sahabat. Ia meminta pendapat kepada mereka. Di sinilah, proses pemilu sebagaimana yang kita tahu, pernah dipraktikkan di zaman Khulafaur Rasyidin.

Di malam hari ketiganya, Abdurrahman bin Auf memanggil Zubair bin al-Awwam dan Sa'ad bin Abi Waqqash, mereka lalu bermusyawarah. Abdurrahman memandang Ali dan membacakan syahdatain sambil berkata memegang tangannya, "Engkau punya hubungan dekat dengan Rasulullah, dan sebagaimana diketahui engkau pun lebih dulu masuk Islam. Demi Allah, jika aku memilihmu engkau harus berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau harus patuh dan taat. Wahai Ali, aku telah berkeliling menghimpun pendapat dari berbagai kalangan dan ternyata mereka lebih memilih Utsman. Aku berharap engkau menerima ketetapan ini."

Ali bin Abi Thalib lantas menjadi orang kedua yang berkata sama kepada Utsman untuk membaiatnya sebagai khalifah menggantikan Umar bin Khattab. Kala itu, kaum muslimin yang hadir serempak membaiat Utsman sebagai khalifah.

Utsman diangkat menjadi khalifah ketiga dan disebut sebagai yang tertua. Pada saat pembaiatan, ia berusia 70 tahun.

Dari kisah di atas, praktik pemilu ternyata pernah juga dilakukan dalam sistem pemerintahan Islam. Hanya saja, titik jelas perbedaannya dengan sistem demokrasi adalah bahwa hasil pemilu tidak otomatis menjadikan yang terpilih sebagai pemimpin. Yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin adalah baiat yang diberikan ummat muslim kepadanya secara langsung. 

Perbedaan lainnya, adalah bahwa tidak ada kampanye dalam pemilu yang dilakukan oleh para kandidat dalam sistem Islam. Bahkan dari keseluruhan kandidat, merasa berat untuk dibaiat oleh ummat. Ya, Mereka semua tahu bahwa tanggungjawab sebagai seorang pemimpin begitu sangat besar di hadapan Allah SWT. Maka tak jarang kita mendengar kisah para Khalifah setelah mereka dibaiat, bukan ucapan hamdalah yang mereka lafadzkan, melainkan ucapan, "innalilahi wa innailaihi rooji'un". Sebuah ucapan yang dibaca sebagaimana mereka terkena musibah. 

Dengan demikian, jika kampanye saja tidak ada, jika masing-masing dari kandidat begitu teramat berhati-hati menerima amanah kekuasaan, bagaimana mungkin mereka melakukan kecurangan semisal risywa atau suap sebagaimana serangan fajar yang lazim terjadi dalam sistem demokrasi? Wallahu a'lam wa ahlam.

Posting Komentar

0 Komentar