Oleh Fatimah Azzahrah Hanifah, Aktivis Back to Muslim Identity Chapter Depok
Pemilu (Pemilihan Umum) 2024 kini mungkin akan tercatat dalam buku-buku sejarah Indonesia mendatang. Bagaimana tidak, sebelumnya sejarah telah mencatat bahwa perjuangan politik Indonesia selalu diwarnai oleh mahasiswa. Namun, ada yang berbeda dari tahun ini, para civitas akademika meliputi mahasiswa, dosen, bahkan guru besar dari sejumlah kampus tanah air merapatkan barisan menyerukan penyelamatan atas demokrasi di Indonesia yang dinilai telah cacat karena adanya ragam aktivitas intimidasi dan amoral yang dijalankan oleh rezim saat ini. Para civitas akademika lantang menyuarakan Indonesia telah masuk ke dalam darurat demokrasi.
Tidak berhenti sampai di sini, film dokumenter yang sempat terkena shadow banned, ‘Dirty Vote’ juga turut mengungkapkan berbagai intrik dan kecurangan jelang pesta demokrasi akbar yang diadakan 5 tahun sekali. Melihat berbagai kecurangan, terdapat dorongan kepada mahasiswa untuk turut mengawal dan menyelamatkan demokrasi. Namun, benarkan demokrasi bisa diselamatkan? Dan tepatkah peran mahasiswa sebagai agen perubahan melakukan pengawalan dan penyelamatan demokrasi?
Demokrasi antara Teori dan Praktik
Demokrasi secara teoritis dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Teori ‘kedaulatan rakyat’ adalah jantung dari demokrasi yang menegaskan bahwa Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara tuhan). Namun, pada faktanya di berbagai negara penganut demokrasi, nyaris tidak ada kedaulatan di tangan rakyat. Justru para pemilik modal dan oligarki lah yang berdaulat dalam negara demokrasi. Hal tersebut tidak lepas karena tidak bisa dipisahkannya demokrasi dari tiga pemikiran lainnya, yaitu sekulerisme, kapitalisme, dan liberalisme yang menyuburkan kecurangan, perilaku amoral, dan oligarki.
Demokrasi dibangun atas empat pilar kebebasan yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku, kebebasan beragama, dan kebebasan kepemilikan. Prinsip kebebasan pertama dan kedua telah membuat manusia terbebas dari standar nilai-nilai tertentu (halal-haram) dan menciptakan standar nilainya sendiri. Kedua prinsip pertama, sejatinya menampung nilai liberalisme yang menjadi awal mula berbagai sikap amoral saat ini. Selanjutnya, pada prinsip kebebasan ketiga sama saja dengan mengatakan agama adalah urusan individu sehingga tidak boleh mengintervensi kehidupan publik termasuk politik. Kebebasan ini menampung nilai sekularisme yang menyebabkan semakin jauhnya nilai halal-haram di kehidupan masyarakat termasuk politik.
Sementara itu, prinsip kebebasan keempat sejatinya membiarkan individu maupun sekelompok individu untuk menguasai apa pun termasuk sumber daya alam, sumber mata air, bahkan pulau. Kebebasan inilah yang akan berpihak pada kapitalisme yaitu para pemilik modal yang nantinya menjadi invisible hand dalam negara demokrasi. Mengapa demikian? Besarnya ongkos dalam pemilu baik perebutan bangku legislatif ataupun bangku presiden dan wakil presiden menyebabkan hanya bisa diikuti oleh mereka yang memiliki modal besar. Apakah para pemilik modal itu sendiri atau disokong oleh para pemilik modal. Mekanisme ini tentu menyuburkan praktik money politics, kolusi, ‘serangan fajar’, dan tindak kecurangan lainnya.
Ketika mereka berhasil duduk di bangku kekuasaan, para pemilik modal akan membuat jaringan pemerintahan oligarki. Akibatnya, negara demokrasi selalu dijalankan oleh mereka yang pro pada pemilik modal, bukan pro pada rakyat. Tidak heran jika banyak bermunculan kebijakan kontroversial yang jauh dari kata mensejahterakan rakyat misalkan saja UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN dan sebagainya.
Maka sejatinya demokrasi bukan hanya sekadar urusan pemilu, HAM dan kebebasan berpendapat. Kemunculan dan suburnya oligarki sebagai invisible hand di negara-negara penganut demokrasi juga buah dari prinsip demokrasi itu sendiri. Jika, sejak kelahirannya demokrasi telah cacat bawaan lantas penyelamatan apa yang diharapkan dari sistem ini?
Perubahan Bukan Lewat Pemilu
Jalan perubahan yang perlu ditempuh memang haruslah lebih paradigmatis dan mengakar. Sayangnya, pemilu jelas bukan pilihan, sebab pemilu hanyalah alat untuk memilih pemimpin yang sedari awal sudah disetujui oleh elit politik dan oligarki. Suara rakyat nyaris tidak ada harganya, selain untuk memvalidasi bahwa pemimpin yang lahir adalah hasil dari suara mayoritas. Karena itu, sekaranglah saatnya untuk meninggalkan sistem yang rusak ini.
Sesungguhnya dosa besar demokrasi terletak pada diberikannya kedaulatan di tangan rakyat yang keberadaanya diwakilkan oleh para wakil rakyat yang merupakan jelmaan dari kumpulan elit politik, pemilik modal, dan oligarki. Karena kelemahan dan keterbatasan manusia dalam membuat peraturan tentu UU dan kebijakan yang dibuat akan sarat dengan kepentingan dan hawa nafsu kekuasaan yang jelas jauh dari standar halal-haram. Sementara itu, Allah SWT telah memperingatkan kerusakan yang dibuat oleh manusia karena meninggalkan syariat Islam, Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan-Nya)” (TQS ar-Rum [30]: 41).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm mengenai makna “karena perbuatan tangan manusia” yaitu: “Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah SWT di bumi maka ia telah merusak bumi. Ini karena memperbaiki langit dan bumi adalah dengan ketaatan (kepada Allah SWT)” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, 6/287).
Oleh karena itu, perubahan hakiki adalah perubahan yang dapat menghantarkan kepada kehidupan yang sejahtera dan bahagia dunia maupun akhirat yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Upaya gonta-ganti pemimpin tidak akan pernah mewujudkan perubahan hakiki malah hanya akan terus melanggengkan sistem demokrasi yang rusak.
Mendorong mahasiswa untuk turut dalam misi penyelamatan demokrasi tentu merupakan pembajakan potensi mereka sebagai aktor perubahan. Mahasiswa haruslah menjadi sosok yang paling paham akan kebobrokan Demokrasi dan menjadi yang terdepan untuk mengedukasi masyarakat dalam upaya membongkar topeng manis demokrasi.[]
0 Komentar