Bangun Tempat Ibadah Berdekatan, Benarkah Demi Kerukunan?



Oleh Mia Annisa


Setelah di Kampung Sawah Kecamatan Pondok Melati, sukses menjadi kawasan percontohan sebagai wilayah yang dianggap tingkat toleransinya tinggi di daerah Bekasi. Nampaknya pembangunan kampung moderasi mulai menyasar wilayah-wilayah lain di Bekasi. 


Terbaru di Desa Cibatu, Cikarang Selatan akan dibangun gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang yang sudah memasuki tahapan pemasangan tiang pancang setelah melalui proses penerbitan izin pembangunan gedung dan peletakan batu pertama. 


Diharapkan pembangunan bisa berlangsung secara cepat dan bisa dipergunakan dengan sebaik-baiknya seiring berjalannya rencana pembangunan Masjid Al Muhajirin Lippo Cikarang.


Dikutip dari beritacikarang.com, menurut PJ Bupati Bekasi, Dani Rhamdan pembangunan rumah ibadah umat katolik ini diharapkan menjadi sebuah paradigma baru di Kabupaten Bekasi, yakni jika telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, pembangunan rumah ibadah harus didukung dan dipercepat agar setiap warga negara bisa mendapatkan haknya dalam menjalankan ibadah sesuai ajaram agamanya masing-masing.

“Pembangunan rumah ibadah sepanjang ketentuan peraturan dipenuhi maka harus didukung dan dipercepat agar hak konstitusi warga negara dalam menjalankan dan membangun rumah ibadah bisa terpenuhi,” ungkapnya. 


Selain membangun gereja paroki Ibu Teresa di kawasan Lippo Cikarang pihaknya juga mengungkapkan untuk bisa menyelesaikan pembangunan masjid Al Muhajirin di dekat gereja paroki Ibu Teresa Lippo Cikarang segera diselesaikan di tahun 2024. Dimana proses pembangunan masjid Al Muhajirin sepenuhnya dibantu oleh PT Lippo Cikarang.


Pasca Bekasi dinobatkan sebagai kota paling toleran nomor 3 se-indonesia di tahun 2023 harapannya pada tahun 2024 Bekasi kembali bisa menjadi kota paling toleran nomor 1 se-Indonesia. 


Tidak bisa dinafikan jika pembangunan gereja dan masjid secara bersamaan dan berdekatan di desa Cibatu, Cikarang Selatan, merupakan serangkaian fakta sebagai bentuk upaya menguatkan narasi moderasi dan kerukunan antar umat beragama dengan menanamkan nilai-nilai toleransi untuk mempengaruhi wilayah tersebut.


Dikutip dari nu.or.id/amp, memaparkan fakta di lapangan jika pembangunan gereja di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jauh lebih besar dibandingkan dengan pembangunan masjid yakni mengalami kenaikan sebesar 50% sedangkan masjid hanya 30% saja dalam rentang waktu yang sama.


Melihat data perbandingan pembangunan gereja yang jauh lebih besar apakah layak dikatakan jika kaum muslimin sebagai mayoritas tidak toleran, radikal, dsb? Sehingga perlu membangun rumah ibadah secara berdekatan agar tercipta toleransi dan kerukunan. Hal ini tentu sudah salah kaprah, sebab toleransi dan kerukunan yang dibangun oleh sekulerisme adalah dusta yang akan menjerumuskan umat pada pendangkalan aqidah, menjauhkan umat dari nilai-nilai syariat yang sampai kapan pun tidak akan pernah bisa terhapuskan. 

Inilah yang diinginkan oleh Barat lewat proyek globalnya, Rand Corporation melalui Kementerian Luar Negeri AS dengan gelontoran dana Triliunan Rupiah menginginkan Indonesia menjadi negara moderat dalam menumpas ekstrimisme dan terorisme. 


Bekerjasama dengan Kementerian Agama sebagai leading sektor serta dengan beberapa ormas (Nahdlatul Ulama) menjadikan kaum muslimin lebih inklusif, yakni terbuka dalam menyikapi  perbedaan. 


Berbeda dengan Islam dalam menetapkan batasan yang shahih terkait dengan heterogenitas antar umat beragama. Negara yaitu Khilafah Islam tidak memaksa warga negaranya yang non muslim untuk beragama Islam. 


Sebagaimana yang disampaikan dalam firman Allah SWT;"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. 

Siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqaroh: 256)


Islam juga memberikan hak dan kebebasan bagi non muslim sesuai dengan firman Allah SWT; "...Tuhan kami adalah Allah ."Seandainya Allah tidak menolak  (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah." (QS. Al-Hajj: 40) 


Dari ayat tersebut bahwa dalam pemerintahan Islam rumah ibadah tetap diperbolehkan berdiri selama mengikuti mekanisme yang berlaku. 


Pertama, rumah ibadah berdiri di atas tanah dengan status kepemilikan tanah yang jelas dan harus ada ijin serta keridhaan si pemilik tanah. Jika tidak ada keridhaan maka pendirian rumah ibadah harus dihentikan. 


Kedua, jika rumah ibadah ini bagi non muslim maka tidak boleh didirikan di wilayah yang di dalamnya terdapat mayoritas muslim. 


Harus di pemukiman mereka sendiri. Sebab, kewajiban negara dalam Islam untuk menjaga aqidah kaum muslimin dan tidak boleh ada syiar di dalamnya selain mensyiarkan Islam. 


Hanya dalam sistem kepemimpinan Islam pembangunan rumah ibadah dilakukan secara benar, tidak asal-asalan seperti dalam sistem demokrasi. 


Mengadakannya merupakan sebuah kewajiban agar heterogenitas tercipta sebagaimana pada masa pemerintahan Islam di Andalusia yang mampu memanifestasikan kerukunan antar umat beragama Yahudi, Kristen dan Islam hidup berdampingan. Wallahu'alam.

Posting Komentar

0 Komentar