Oleh Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik
#Depok - Mayoritas publik beranggapan bahwa demokrasi memiliki gagasan dasar yang bagus. Namun, jika dianalisa lebih jauh ternyata gagasan dasar inilah yang justru menjadi cacat akut sistem itu. Bahkan kecacatan ini telah ada sejak lahirnya demokrasi itu sendiri. Manusia mengira bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat, yang merupakan salah satu gagasan dasar demokrasi adalah pemikiran brilian. Kebanyakan manusia di dunia juga berasumsi bahwa penetapan keputusan peraturan berdasarkan suara terbanyak dalam demokrasi adalah sesuatu yang spektakuler. Padahal sejatinya kedua gagasan dasar tersebut justru membuka peluang bagi absurditas demokrasi sendiri di tataran penerapannya.
Dalam sejarahnya seusai Abad Pertengahan, demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang dipenuhi oleh semangat mengeliminasi peran agama dalam kehidupan bernegara. Pada kehidupan masyarakat Barat, demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi aturan agama Kristen dan gereja. Jadi demokrasi adalah pemikiran/ide yang anti agama. Hal ini karena ide demokrasi tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan aturan agama sebagai acuan kaidah-kaidah bernegara. Orang beragama tentu boleh hidup di negara demokrasi. Namun, jangan harap peraturan agamanya bisa diterapkan dalam negara.
Sepanjang lintasan sejarah lahirnya dan penerapan demokrasi, ia dipenuhi oleh para pemikir Barat yang anti agama (Kristen). Awalnya yakni sejak abad ke 5, Gereja katolik Roma memang menjadi pusat aktifitas politik dan budaya Kekristenan di Eropa. Kemudian pada era Renaissance, para filsuf barat mulai menentang otoritas tinggi Gereja Katolik yang tanpa batas. Lahirlah Reformasi Gereja pada abad 14 di Italia sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi gereja. Sejak itu lahir pula pandangan-pandangan baru seperti sekulerisme, individualisme dan humanisme yang kemudian menyebar ke seluruh dunia pada abad-abad berikutnya.
Sebenarnya, ide demokrasi diyakini muncul pertama kali pada zaman Yunani kuno di Athena. Muncul nama tokoh-tokoh filsuf demokrasi pada masa itu seperti Plato, Socrates dan Thucydides dengan pemikiran demokrasi menurut mereka. Namun, pada beberapa abad kemudian Abraham Lincoln (1809-1865) mendefinisikan demokrasi secara berbeda lagi. Lincoln memaknai demokrasi dengan jargon terkenal yaitu: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Makna demokrasi ala Lincoln ini menunjukkan bahwa demokrasi adalah ide anti agama yang meniadakan hukum agama diberlakukan di ruang publik, tetapi memberlakukan hukum manusia.
Ternyata kalau diteliti, ditemukan banyak sekali interpretasi yang berbeda-beda terhadap ide demokrasi. Rentang waktunya sejak zaman Yunani dan Romawi kuno (500 SM-476 M), kemudian abad pertengahan (476 M-1500 M) dan zaman modern (1500 M-sekarang). Jadi demokrasi bisa didefinisikan dan diterapkan berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi yang ada di zaman yang berbeda. Maka wajar jika kemudian lahir ide demokrasi parlementer, demokrasi presidential, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi proletar, demokrasi Pancasila dan lain-lain.
Tidak ada yang tetap dan baku dalam ide demokrasi. Karenanya setiap pemimpin negara bisa saja memaknai demokrasi sesuai dengan kepentingan kekuasaannya. Hal ini bisa terjadi karena ide demokrasi tidak menafikan kebolehan menetapkan hukum dan peraturan di tangan manusia. Di sinilah letak cacatnya demokrasi, sehingga penerapannya terbukti menjadi mesin penghancur bagi peradaban manusia.
Faktanya adalah para penguasa di negara demokrasi menjadikan hawa nafsu kepentingannya dan kepentingan golongannya menjadi acuan mengatur negara. Sementara rakyat yang berotak pragmatis sibuk menjilat penguasa, meski harus mengorbankan idealisme ajaran agamanya. Semua dilakukan demi mengais jabatan dan cuan semata. Mirisnya begitu banyak orang yang masih terbutakan sehingga begitu tingginya mengagung-agungkan demokrasi. Walaupun mereka menderita hidup dalam penerapan demokrasi, tetapi anehnya mereka masih berharap padanya.
Padahal sejatinya yang berhak membuat peraturan hidup hanyalah Allah SWT semata, manusia sama sekali tidak berhak (al-Qur’an Surat al-An’am ayat 57). Sementara itu, pemuja hawa nafsu dalam membuat peraturan begitu Allah hinakan. “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Surat al-Furqon ayat 43-44). []
0 Komentar