Oleh Heni Ummufaiz
Ibu Pemerhati Umat
#Wacana - Bukan tanpa sebab kehidupan sehari-hari yang kian sulit berakibat memicu gangguan mental kian fatal. Stres tingkat tinggi, depresi hingga bunuh diri menjadi hal yang sering terjadi. Salah satu penyebab gangguan mental gagal jadi caleg ataupun himpitan ekonomi karena jeratan hutang.
Menurut Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ., mengatakan calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan yang jelas rentan mengalami gangguan mental.
Biasanya pasien yang gagal sebagai caleg dan terlilit utang akan kecewa berat hingga depresi dan mengakhiri hidupnya. (CNNIndonesia.com,12/12/2023).
Persoalan kehidupan yang dianggap berat pun nyata berakibat maraknya orang gantung diri seperti pada warga Johar Baru, Jakarta Pusat digegerkan dengan penemuan seorang pria yang ditemukan gantung diri di sebuah rumah pada Jumat, 26 Januari 2024, so hari.
Dalam video viral di dunia maya tampak disebutkan peristiwa itu terjadi di Jalan Kp. Rawa Sawah 1, Johar Baru. Warga di lokasi tampak ramai melihat korban yang sudah tak bernyawa dalam posisi tergantung. (POSKOTA.CO.ID, 26/01/2024).
Meningkatnya jumlah kasus bunuh diri di Indonesia terutama di kota metropolitan semacam Jakarta menjadi sinyal bahwa gangguan mental ini harus segera diakhiri.
REPUBLIKA.CO.ID melaporkan berdasarkan Data Bunuh Diri di Indonesia 2018-2023 berdasarkan Data Statistik Pusat Informasi Kriminal Nasional Kepolisian Republik Indonesia (Pusiknas Polri), angka kasus bunuh diri terus meningkat di berbagai daerah di Indonesia. Disinyalir, angka tersebut masih belum menunjukkan data riil di lapangan.
Berdasarkan hasil olah data Republika yang dicatat oleh Pusiknas Polri dalam rentang waktu lima tahun periode 2018-2023, setidaknya hingga Jumat (15/12/2023). Berikut data kasus bunuh diri dari tahun ke tahun:
Pada 2018, tercatat ada tiga kasus bunuh diri. Pada 2019 tercatat ada 230 kasus bunuh diri. Paling banyak, sebanyak 127 kasus ada di Polda Jawa Tengah, 36 kasus di Jawa Timur, 33 kasus di Polda Bali dan 11 kasus di Polda Jawa Barat. (Republika.co.id,15/12/2023).
Maraknya orang terkena gangguan mental seperti gangguan jiwa yang berujung bunuh diri sesungguhnya akibat tak mampu menanggung beban hidup. Berbagai masalah yang melingkupi dirinya seakan tak ada solusi. Terlebih di tahun politik 2024 ini gangguan mental justru kian masif terutama bagi para caleg. Kekhawatiran akan gagal dalam pemilu menjadi hal pertama. Bukan tanpa sebab uang yang didapat untuk nyalon adalah dari modal meminjam ke bank sehingga bisa dibayangkan jika gagal pasti terlilit hutang.
Misalnya, disampaikan oleh LPM FE UI, modal yang harus dikeluarkan untuk caleg DPR RI berkisar Rp1,15 miliar-Rp4,6 miliar. Ketua PKB, Cak Imin juga mengatakan, butuh Rp4,0 miliar untuk menjadi caleg RI dari DKI Jakarta. Fahri Hamzah mengatakan butuh dana setidaknya Rp5 miliar untuk menjadi capres. (KOMPAS.com,12/8/2023).
Di sisi lain faktor gengsi dan cinta akan kekuasaan menjadi tujuan utamanya. Jika tidak tercapai besar kemungkinan pengidap gangguan jiwa akan terus bertambah. Kehidupan yang serba liberalis dan hedonis menganggap bahwa banyak harta dan tingginya kekuasaan menjadi prestise di tengah masyarakat.
Cengkeraman sistem kapitalis sekuler akan menjadikan seseorang terjangkiti gangguan mental akan semakin masif. Semakin kuat keinginan untuk berkuasa semakin tinggi pula dorongan menghalalkan segala cara. Gaya hidup hedonis menjadikan seseorang silau mata dalam memandang jika tak tercapai depresi kian mengintimidasi diri.
Selain itu, gangguan mental ini terjadi karena para caleg telah salah memaknai tujuan hidupnya, dari awal mereka mencalonkan diri adalah untuk mendapat kekuasaan dan materi, sehingga jabatan pun mereka jadikan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan fasilitas hidup.
Faktanya jargon demokrasi yang selama ini digaungkan, slogan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanya mimpi semata. Buktinya setelah menjabat lupa akan janji-janjinya bahkan menguras uang rakyat.
Terlihat semenjak sistem sekuler kapitalis menguasai, banyak rakyat justru hidupnya tidak sejahtera, karena para penguasa sibuk bercengkrama dengan para pengusaha untuk mendapat keuntungan, meskipun harus mengorbankan rakyatnya.
Karena pada dasarnya, asas sistem yang mereka (para penguasa) terapkan hari ini adalah sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Maka menjadi hal yang wajar ketika gangguan mental rawan terjadi, karena agama tidak dijadikan pijakan dalam kehidupan sehingga tidak ada tempat untuk bersandar kepada solusi yang tepat, yaitu Islam.
Islam Menihilkan Gangguan Mental
Berkaca dari sejarah Islam, kita akan menemukan jiwa-jiwa yang kuat dan tangguh dalam menghadapi berbagai masalah. Fondasi takwa dan malu menjadi hal utama dalam bersikap dan bertingkah laku. Tujuan menggapai rida Allah menjadi fokus utama bukan yang lain. Orang-orang yang hidup dalam naungan sistem Islam (Khilafah) tidak mudah menyerah, putus asa, apalagi gila jabatan.
Kita akan menemukan sosok yang qana'ah, rida, dermawan seperti Abu Bakar As-shidiq ra., Mushab bin Umair, Salman al Farisi ra., dan lainnya. Dalam benak mereka, harta dan jabatan merupakan sebuah ujian akan keimanan dan sesuatu yang berat yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sistem Islam menjadikan seorang pemimpin bukanlah yang harus disanjung-sanjung apalagi mendapatkan fasilitas yang serba mewah. Namun dalam Islam rakyat justru harus dilayani, diayomi, dan dilindungi.
Semua ini lahir dari sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Output yang dihasilkan mampu mencetak calon pemimpin hebat yang kuat secara iman, pemikiran, kepribadian, dan bermental baja. Bukan mental yang rapuh, baperan, dan keropos akidahnya.
Alhasil, jika menginginkan kesehatan mental terjaga, hanya akan terwujud dalam sistem Islam kafah. Orang-orang yang bermental kuat akan senantiasa hadir dari penerapan sistem yang mulia ini. Wallahualam bissawab.
0 Komentar